Salah satu buah (pahala) yang agung
dari ibadah shalat adalah bahwa shalat tersebut adalah sebab dosa-dosa
terampuni dan terhapusnya kesalahan -kesalahan kita.
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
*“Shalat
lima waktu dan shalat Jumat ke Jumat berikutnya adalah penghapus untuk
dosa di antaranya selama tidak melakukan dosa besar.” (HR. Muslim no.
233).*
Juga diceritakan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرَأَيْتُمْ
لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ
خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ
*“Bagaimana
pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu rumah salah seorang
dari kalian, lalu dia mandi lima kali setiap hari? Apakah kalian
menganggap masih akan ada kotoran (daki) yang tersisa padanya?”*
Para sahabat menjawab,
لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا
*“Tidak akan ada yang tersisa sedikit pun kotoran padanya.”*
Lalu beliau bersabda,
فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُواللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا
*“Seperti itu pula dengan shalat lima waktu, dengannya Allah akan menghapus semua kesalahan.”*
(HR. Bukhari no. 528 dan Muslim no. 283)
Memohon Ampunan dalam Semua Posisi Shalat:
Dalam
semua posisi shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa memohon
ampunan. Hadits-hadits yang semakna dengan dua hadits di atas sangatlah
banyak.
Oleh karena itu, disyariatkan untuk memperbanyak doa memohon
ampunan ketika shalat, baik dalam doa istiftah, ruku’, sujud, duduk
antara dua sujud, dan juga sebelum dan sesudah salam.
Ketika ruku’ dan sujud, kita disyariatkan membaca,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Subhaanakallahumma
rabbanaa wa bihamdika allahummagh firlii (Mahasuci Engkau wahai Tuhan
kami, segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.)”
(HR. Bukhari no. 794 dan Muslim no. 484)
Hadits di atas diceritakan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Doa lain yang disyaritkan dibaca ketika sujud adalah,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ
*“Allahummaghfirli
dzanbi kullahu, diqqahu wajullahu, wa awwalahu wa akhirahu, wa
‘alaniyatahu wa sirrahu (Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku, yang
kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, dan yang
terang-terangan, maupun yang sembunyi-sembunyi).” (HR. Muslim no. 483).*
Hadits di atas diceritakan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Saat duduk di antara dua sujud, kita pun disyariatkan untuk memperbanyak doa memohon ampunan.
Dari
sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di antara dua sujud dan lamanya
seperti ketika beliau sujud.
Dan dalam duduk di antara dua sujud, beliau mengucapkan,
رَبِّ اغْفِرْ لِي رَبِّ اغْفِرْ لِي
*“Rabbighfirlii, Rabbighfirlii. (Wahai Rabbku, ampunilah aku.*
Wahai Rabbku, ampunilah aku.)”
(HR. Abu Dawud no. 874, sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 818)
Begitu
juga sebelum salam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa meminta
ampunan. Diceritakan oleh ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa pada akhir
tasyahud sebelum memberi salam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca,
اللهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ،
وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ، وَمَا أَنْتَ
أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لَا
إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
“Allahummagh firlii maa qaddamtu wa maa
akhkhartu wamaa asrartu wa maa a’lantu wa asraftu wa maa anta a’lamu
bihi minnii antal muqaddimu wa antal mu`akhkhiru laa ilaaha illaa anta
*(Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang lama dan yang baru, yang tersembunyi dan yang terlihat, yang aku telah melampaui batas.*
*Dan Engkau lebih tahu daripadaku.
Engkaulah yang memajukan dan memundurkan.
Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau).” (HR. Muslim no. 771).*
Demikian
pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa meminta ampunan setelah
salam. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Jika Rasulullah
selesai shalat, beliau akan meminta ampunan tiga kali dan memanjatkan
doa,
اللهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Allaahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaalil wal ikroom
*(Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang memberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan.
Maha Besar Engkau, wahai Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan.”*
Kata Walid, maka kukatakan kepada Auza’i, “Lalu bagaimana bila hendak meminta ampunan?”
Jawabnya, “Engkau ucapkan saja, ‘Astaghfirullah, Astaghfirullah.’”(HR. Muslim no. 591).
Demikianlah kondisi shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau memohon ampunan sejak awal shalat ketika membaca doa istiftah
[1], ketika ruku’, ketika mengangkat kepala dari ruku’
[2], ketika sujud, ketika duduk di antara dua sujud, ketika duduk tasyahhud sebelum salam, dan bahkan setelah salam.
Sebagian haditsnya telah kami sebutkan di atas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
“Maka
tidaklah beliau berada dalam suatu keadaan (posisi) ketika shalat, juga
ketika berada dalam salah satu rukun shalat, kecuali beliau akan
meminta ampunan kepada Allah ketika itu.” (Jaami’ul Masaa’il, 6:
274-275) [3].
@Rumah Kasongan, 10 Shafar 1442/ 27 September 2020
Penulis: M. Saifudin Hakim
___________
Catatan kaki:
[1] HR. Muslim no. 201.
[2] HR. Muslim no. 771.
[3]
Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 111-114, karya Syaikh
‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan
pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.
Semoga bermanfaat
SHALAT, SEBAB PENGGUGUR DOSA
TAFSIR SURAT AL FURQON AYAT 23
AMALAN BAGAIKAN DEBU BETERBANGAN
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan
Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan
ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23).
Tentang
maksud “bagaikan debu yang beterbangan” Imam al-Baghawi
rahimahullahmenjelaskan, “Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala. Karena
mereka tidak melakukannya [ikhlas] karena Allah ‘azza wa jalla.” (lihat
Ma’alim at-Tanzil, hal. 924).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah
menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa
amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu
yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan
tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan. (lihat Zaa’dul
Masir, hal. 1014).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran
syari’at yang diridhai [Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.” (lihat
Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/103]).
Syaikh as-Sa’di
rahimahullah menjelaskan, “Sebab amalan yang diterima adalah amalan yang
dilakukan oleh orang yang beriman lagi ikhlas, yang membenarkan para
rasul dan mengikuti tuntunan mereka di dalam hal itu. (lihat al-Majmu’ah
al-Kamilah [5/472]).
Semoga bermanfaat
Jazakumullahu khairan.
***
@ikhwan_subang_
#ikhwansubang
RENUNGAN SURAT AL LUQMAN AYAT 31
TAQLID BUTA AKAN MENGGIRING KE JAHANAM.
Fanatik terhadap guru
atau tradisi nenek moyang, telah mendarah daging dalam tubuh umat ini.
Yang menjadi masalah adalah ketika pendapat mereka tersebut jelas-jelas
menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah tetapi dibela mati-matian. Yang
penting kata mereka ‘ sami’na wa atho’na’ (apa yang dikatakan oleh guru
kami, tetap kami dengar dan kami taat). Entah pendapat tersebut
merupakan perbuatan menyelisihi dalil, yang penting kami tetap patuh
kepada guru-guru kami.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَ
اِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَا لُوْا بَلْ
نَـتَّـبِـعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَآءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَا نَ
الشَّيْطٰنُ يَدْعُوْهُمْ اِلٰى عَذَا بِ السَّعِيْرِ
Dan apabila
dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang diturunkan Allah! Mereka
menjawab, (Tidak), tetapi kami (hanya) mengikuti kebiasaan yang kami
dapati dari nenek moyang kami. Apakah mereka (akan mengikuti nenek
moyang mereka) walaupun sebenarnya setan menyeru mereka ke dalam azab
api yang menyala-nyala (Neraka)?".
(QS. Luqman 31: Ayat 21)
Imam Abu Hanifah mengatakan,Haram bagi seorang berfatwa dengan pendapatku sedang dia tidak mengetahui dalilnya.”
Imam
Malik bin Annas mengatakan,“Setiap orang sesudah nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali
perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/91)
Imam
Asy-Syafi’ mengatakan, apabila kalian menemukan pendapat di dalam
kitabku yang berseberangan dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkan pendapatku.”
(Al-Majmu’ 1/63).
.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan,Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, tapi ikutilah dalil.”
(I’lam al-Muwaqqi’in 2/201;Asy-Syamilah,).
Allah Tidak Pernah Memerintahkan untuk Taqlid kepada guru, nenek moyang atau siapapun dia.
Yang Allah Perintahkan Agar kita *Ittiba kepada satu Orang. Yaitu Nabi-Nya Shalallahu 'alaihi wa sallam.
Semoga kita dapat berhati hati dalam memilih jalan yang haq seperti jalan yang ditempuh rosulullah bersama sahabatnya.
Baarakallah fikum, semoga bermanfaat.
Allahu a'lam
TAFSIR AL BAQARAH AYAT 214
JALAN MENUJU SURGA PENUH DENGAN RINTANGAN
Bismillah
Syaikh as-Sa'di rahimahullahu ta’ala menyebutkan dalam tafsir (surat al-Baqarah: 214):
"Sesungguhnya
telah terjadi pada umat-umat terdahulu apa yang diceritakan oleh Allah
tentang mereka, “mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan,”
yakni, kemiskinan dan penyakit pada tubuh mereka, “serta digoncangkan
(dengan bermacam macam cobaan),” dengan berbagai macam ketakutan seperti
ancaman pembunuhan dan pengusiran, harta mereka diambil, pembunuhan
orang-orang yang dicintai, dan macam-macam hal yang berbahaya hingga
kondisi mereka memuncak dan goncangan itu membuat mereka merasa bahwa
kedatangan pertolongan Allah itu lambat padahal mereka yakin akan
kedatangannya. Akan tetapi karena situasi yang dahsyat dan kesulitan itu
hingga berkatalah “Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya,
‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’
Dan ketika datang
pertolongan Allah pada kesusahan, dan setiap kali perkara telah terasa
sulit kemudian menjadi lapang, Allah berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu dekat.”
Demikianlah setiap orang yang
menegakkan kebenaran itu pasti akan diuji, dan ketika persoalannya
semakin sulit dan susah lalu dia bersabar dan tegar menghadapinya,
niscaya ujian tersebut akan berubah menjadi anugerah untuknya, dan
segala kesulitan itu menjadi ketenangan.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”
(HR. Muslim no. 5178)
Al Imam an-Nawawi rahimahullahu ta’ala menjelaskan dalam syarah hadits tersebut:
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa seseorang itu tidak akan masuk
surga sehingga mengamalkan perkara-perkara yang dibenci jiwa,
begitupula sebaliknya seseorang itu tidak akan masuk neraka sehingga ia
mengamalkan perkara-perkara yang disenangi oleh syahwat.
Diantara
amalan-amalan yang dibenci jiwa, seperti halnya bersungguh-sungguh
dalam beribadah kepada Allah Ta’ala serta menekuninya, bersabar disaat
berat menjalankannya, menahan amarah, memaafkan orang lain, berlaku
lemah lembut, bershadaqah, berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat
salah, bersabar untuk tidak memperturutkan hawa nafsu dan yang lainnya.
Sementara perkara yang menghiasi neraka adalah perkara-perkara yang
disukai syahwat yang jelas keharamannya.
Waallahu a'lam
(Asy-Syamil.com)Sunnah dijaga dengan kebenaran, kejujuran, dan keadilan bukan dengan kedustaan dan kedhaliman."
(Ibnu Taimiyyah rahimahullahu)
MEMAHAMI MAKNA SURAT QAAF AYAT 16
MAKNA AYAT :
KAMI LEBIH DEKAT DARI URAT LEHERNYA
Terdapat ketidaktepatan pemahaman sebagian kaum muslimin ketika memaknai ayat yang berbunyi:
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”
(Qaaf : 16).
Kesalahan
tersebut mengartikan bahwa kata “kami” pada ayat tersebut adalah Allah,
sehingga mereka memahami bahwa posisi Allah itu ada di tubuh manusia
dan juga di dekat dengan tubuh manusia.
Mereka menyangka bahwa
posisi Allah di dekat urat lehernya. Akibat dari kesalahan ini, mereka
meyakini “Allah ada di mana-mana” termasuk tubuh manusia, atau keyakinan
bahwa Allah menyatu dengan hambanya (aqidah manunggaling kaula gusti).
Tentu ini aqidah yang tidak benar, yang benar adalah Allah berada di
atas langit.
Mengenai ayat di atas ada dua penjelasan yang menunjukkan bahwa kata “kami” pada ayat tersebut bukan berarti Allah:
1. Tafsir ayat dari para ulama bahwa makna kata “kami” adalah malaikat, bukan berarti Allah.
2. Kata-kata “dekat” bukan berarti otomatis menunjukkan posisi dan letak.
1] Tafsir ayat dari para ulama bahwa makna kata “kami” adalah malaikat, bukan berarti Allah.
Jika
kita membaca ayat secara lengkap dan lanjutan ayat, sangat jelas bahwa
konteks ayat adalah membicarakan tentang malaikat. Berikut ayat
lengkapnya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا
تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ
الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ
الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ
عَتِيدٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat
mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain
duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”
(QS. Qaaf: 16-18).
Pertama: Kata (إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ)
Hal
Ini menjelaskan tentang dua orang malaikat yang mencatat amal dan duduk
di sebelah kanan dan sebelah kiri. Konteks ini menunjukkan bahwa
malaikat yang dekat bukan Allah.
Kedua: Kata (الْإِنسَانَ) yaitu manusia secara umum
Manusia ini mencakup muslim dan kafir. Allah tidak dekat dengan orang kafir
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa pendapat ini yang dipilih oleh guru beliau yaitu syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata,
ﻫﺬﻩ
ﺍﻵﻳﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﻮﻻﻥ ﻟﻠﻨﺎﺱ، ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﺃﻧﻪ ﻗﺮﺑﻪ ﺑﻌﻠﻤﻪ، ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻗﺮﻧﻪ ﺑﻌﻠﻤﻪ ﺑﻮﺳﻮﺳﺔ
ﻧﻔﺲ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ، ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺃﻧﻪ ﻗﺮﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺑﻤﻼﺋﻜﺘﻪ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﺇﻟﻰ
ﻗﻠﺒﻪ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻌﺮﻕ، ﺍﺧﺘﺎﺭﻩ ﺷﻴﺨﻨﺎ
“Ayat ini terdapat dua pendapat:
Pertama:
Allah dekat ilmunya, oleh karena itu Allah menggandengkan ilmu (mengetahui) dengan apa yang dibisiki hati manusia.
Kedua:
Yang
dimaksud dekat adalah malaikat Allah yang bershalawat pada hatinya
sehingga lebih dekat dari urat lehernya. Inilah pendapat yang dipilih
oleh guru kami”
(Madarijus Salikin 2/290).
2] Kata-kata “dekat” bukan berarti otomatis menunjukkan posisi dan letak.
Jika
ada yang mengatakan Allah lebih dekat dengan urat leher berdasarkan
ayat ini, tentu tidak tepat, karena bukan berarti “dekat” itu
menunjukkan posisi Allah dekat, akan tetapi menunjukkan dekat maknawi
yaitu “kedekatan”.
Al-Quthubi menjelaskan tafsir bahwa ayat
tersebut menunjukkan dekat secara penggambaran, bukan dekat secara
jarak. Beliau berkata,
ﻭﻫﺬﺍ ﺗﻤﺜﻴﻞ ﻟﻠﻘﺮﺏ، ﺃﻱ ﻧﺤﻦ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺣﺒﻞ ﻭﺭﻳﺪﻩ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﻣﻨﻪ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﻗﺮﺏ ﺍﻟﻤﺴﺎﻓﺔ،
.
“Ini adalah penggambaran kedekatan, yaitu kami lebih dekat (kedekatannya) dari pada urat leher, bukan dekatnya jarak”
(Tafsir Al-Qurthubi).
Contohnya
hadits yang menunjukkan kedekatan hamba dengan Allah ketika sujud.
Bukan berarti Allah dekat posisi dan letaknya ketika hamba sujud.
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu”
(HR. Muslim no. 482).
Demikian juga gambaran kedekatan Allah pada ayat yang berbunyi:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ
إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ
يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku,
agar mereka selalu berada dalam kebenaran”
(QS. Al Baqarah: 186).Sumber:
dr. Raehanul Bahraen
DEMI ANAKMU
RENUNGAN SURAT AL KAHFI AYAT 82
Ketika rasa malas untuk melakukan ibadah menghampiri atau terbetik keinginan utk bermaksiat, ingatlah anak-anakmu.
Coba renungkan Firman Allah ta’ala :
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
Dahulu ibu bapaknya adalah orang-orang shalih… (QS. Al Kahfi : 82).
Sahabat
yang mulia Abdullah bin Mas’ud, ketika beliau sholat malam, sementara
putra beliau yang masih kecil terlelap tidur, serambi memandangi
putranya beliau berkata,
من أجلك يا بني…
“Demi dirimu wahai anak ku..”
Lalu beliau sambil menangis membaca firman Allah ta’ala :
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
Dahulu ibu bapaknya adalah orang-orang shalih… (QS. Al Kahfi : 82).
Benar sekali, sesungguhnya ketakwaan orangtua sangat berpengaruh pada kesholihan anak-anaknya.
Apabila
orang tuanya sholih, hubungannya dengan Allah kuat, maka Allah akan
menjaga anak-anaknya bahkan sampai cucu-cucunya. Seperti dalam kisah
dalam surat al Kahfi, Allah menjaga simpanan harta kedua anak yatim itu
dikarenakan kesalehan kakek mereka yang ketujuh….!
====
Allah ‘Azza wajalla mengingatkan ,
وَلْيَخْشَ
الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا
عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An
Nisa : 9).
Pengaruh Keshalihan Orang Tua Pada Anak-Cucu
Selama ini kita percaya bahwa bentuk fisik dan beberapa sifat akan diturunkan kepada anak dan cucu. Karena ada pepatah
Buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya
Sehingga manusia selektif memilih pasangannya agar menghasilkan keturunan anak-cucu yang berkualitas baik fisik dan sifatnya.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa keshalihan juga bisa diturunkan.
Artinya
karena keshalihan bapak-ibu atau kakek-nenek, Allah menjaga anak
keturunan mereka dan menjadikan anak dan cucu mereka kelak juga menjadi
orang yang shalih.
Bisa kita lihat gambaran contohnya dalam Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا
الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ
تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ
أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ
رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ
عَلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua
orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan
bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka
Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah
aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah
tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” (QS.
Al Kahfi: 82)
Al-Qurthubi rahimahullahu menafsirkan,
ففيه ما يدل على أن الله تعالى يحفظ الصالح في نفسه وفي ولده وإن بعدوا عنه. وقد روي أن الله تعالى يحفظ الصالح في سبعة من ذريته
“Ayat
ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menjaga keshalihan seseorang dan
menjaga keshalihan anak keturunannya meskipun jauh darinya [beberapa
generasi setelahnya –pent]. Diriwayatkan [dalam kisah pada ayat] bahwa
Allah menjaga keshalihan pada generasi ketujuh dari keturunannya.”1
Bahkan
ada beberapa ulama yang menjelaskan bahwa tidak mesti keshalihan orang
tua atau kakek-nenek. Akan tetapi keshalihan kakek buyutnya beberapa
generasi sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ
امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang
anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak
cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari
pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya” [Ath Thuur: 21]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy menafsirkan,
ذريتهم
الذين اتبعوهم بإيمان أي: الذين لحقوهم بالإيمان الصادر من آبائهم، فصارت
الذرية تبعا لهم بالإيمان، ومن باب أولى إذا تبعتهم ذريتهم بإيمانهم الصادر
منهم أنفسهم، فهؤلاء المذكورون، يلحقهم الله بمنازل آبائهم في الجنة وإن
لم يبلغوها، جزاء لآبائهم، وزيادة في ثوابهم، ومع ذلك، لا ينقص الله الآباء
من أعمالهم شيئا
“keturunan yang mengikuti mereka dalam keimanan
maksudnya adalah mereka mengikuti keimanan yang muncul dari orang
tua/kakek-buyut mereka.
maka keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan.
Maka lebih utama lagi jika keimanan muncul dari diri anak-keturunan itu sendiri.
Mereka
yang disebut ini, maka Allah akan mengikutsertakan mereka dalam
kedudukan orang tua/kakek-buyut mereka di surga walaupun mereka
sebenarnya tidak mencapainya [kedudukan anak lebih rendah dari orang tua
–pent], sebagai balasan bagi orang tua mereka dan tambahan bagi pahala
mereka. akan tetapi dengan hal ini, Allah tidak mengurangi pahala orang
tua mereka sedikitpun.”2
Karenanya perhatikan dan pilihlah pasangan yang shalih, ini adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Demikian semoga bermanfaat.