SHALAT, SEBAB PENGGUGUR DOSA

Amalan Shalih 7 Golongan Ini Laksana Debu Beterbangan - Islampos

Salah satu buah (pahala) yang agung dari ibadah shalat adalah bahwa shalat tersebut adalah sebab dosa-dosa terampuni dan terhapusnya kesalahan -kesalahan kita.
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّلَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ

*“Shalat lima waktu dan shalat Jumat ke Jumat berikutnya adalah penghapus untuk dosa di antaranya selama tidak melakukan dosa besar.” (HR. Muslim no. 233).*

Juga diceritakan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ

*“Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu rumah salah seorang dari kalian, lalu dia mandi lima kali setiap hari? Apakah kalian menganggap masih akan ada kotoran (daki) yang tersisa padanya?”*

Para sahabat menjawab,

لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا

*“Tidak akan ada yang tersisa sedikit pun kotoran padanya.”*

Lalu beliau bersabda,

فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُواللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا

*“Seperti itu pula dengan shalat lima waktu, dengannya Allah akan menghapus semua kesalahan.”*
(HR. Bukhari no. 528 dan Muslim no. 283)

Memohon Ampunan dalam Semua Posisi Shalat:
Dalam semua posisi shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa memohon ampunan. Hadits-hadits yang semakna dengan dua hadits di atas sangatlah banyak.
Oleh karena itu, disyariatkan untuk memperbanyak doa memohon ampunan ketika shalat, baik dalam doa istiftah, ruku’, sujud, duduk antara dua sujud, dan juga sebelum dan sesudah salam.

Ketika ruku’ dan sujud, kita disyariatkan membaca,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

“Subhaanakallahumma rabbanaa wa bihamdika allahummagh firlii (Mahasuci Engkau wahai Tuhan kami, segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.)”
(HR. Bukhari no. 794 dan Muslim no. 484)

Hadits di atas diceritakan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Doa lain yang disyaritkan dibaca ketika sujud adalah,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ

*“Allahummaghfirli dzanbi kullahu, diqqahu wajullahu, wa awwalahu wa akhirahu, wa ‘alaniyatahu wa sirrahu (Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku, yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, dan yang terang-terangan, maupun yang sembunyi-sembunyi).” (HR. Muslim no. 483).*

Hadits di atas diceritakan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Saat duduk di antara dua sujud, kita pun disyariatkan untuk memperbanyak doa memohon ampunan.
Dari sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di antara dua sujud dan lamanya seperti ketika beliau sujud.
Dan dalam duduk di antara dua sujud, beliau mengucapkan,

رَبِّ اغْفِرْ لِي رَبِّ اغْفِرْ لِي

*“Rabbighfirlii, Rabbighfirlii. (Wahai Rabbku, ampunilah aku.*
Wahai Rabbku, ampunilah aku.)”
(HR. Abu Dawud no. 874, sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 818)

Begitu juga sebelum salam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa meminta ampunan. Diceritakan oleh ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa pada akhir tasyahud sebelum memberi salam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,

اللهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

“Allahummagh firlii maa qaddamtu wa maa akhkhartu wamaa asrartu wa maa a’lantu wa asraftu wa maa anta a’lamu bihi minnii antal muqaddimu wa antal mu`akhkhiru laa ilaaha illaa anta
*(Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang lama dan yang baru, yang tersembunyi dan yang terlihat, yang aku telah melampaui batas.*

*Dan Engkau lebih tahu daripadaku.
Engkaulah yang memajukan dan memundurkan.
Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau).” (HR. Muslim no. 771).*

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa meminta ampunan setelah salam. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Jika Rasulullah selesai shalat, beliau akan meminta ampunan tiga kali dan memanjatkan doa,

اللهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

“Allaahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaalil wal ikroom
*(Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang memberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan.
Maha Besar Engkau, wahai Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan.”*

Kata Walid, maka kukatakan kepada Auza’i, “Lalu bagaimana bila hendak meminta ampunan?”
Jawabnya, “Engkau ucapkan saja, ‘Astaghfirullah, Astaghfirullah.’”(HR. Muslim no. 591).

Demikianlah kondisi shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau memohon ampunan sejak awal shalat ketika membaca doa istiftah
[1], ketika ruku’, ketika mengangkat kepala dari ruku’
[2], ketika sujud, ketika duduk di antara dua sujud, ketika duduk tasyahhud sebelum salam, dan bahkan setelah salam.
Sebagian haditsnya telah kami sebutkan di atas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
“Maka tidaklah beliau berada dalam suatu keadaan (posisi) ketika shalat, juga ketika berada dalam salah satu rukun shalat, kecuali beliau akan meminta ampunan kepada Allah ketika itu.” (Jaami’ul Masaa’il, 6: 274-275) [3].

@Rumah Kasongan, 10 Shafar 1442/ 27 September 2020

Penulis: M. Saifudin Hakim
___________

Catatan kaki:
[1] HR. Muslim no. 201.
[2] HR. Muslim no. 771.

[3] Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat  hal. 111-114, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

Semoga bermanfaat

Share:

TAFSIR SURAT AL FURQON AYAT 23

 AMALAN BAGAIKAN DEBU BETERBANGAN
MyBabah.com: Bagai debu yang berterbangan...

Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23).

Tentang maksud “bagaikan debu yang beterbangan” Imam al-Baghawi rahimahullahmenjelaskan, “Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala. Karena mereka tidak melakukannya [ikhlas] karena Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 924).

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan. (lihat Zaa’dul Masir, hal. 1014).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridhai [Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/103]).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Sebab amalan yang diterima adalah amalan yang dilakukan oleh orang yang beriman lagi ikhlas, yang membenarkan para rasul dan mengikuti tuntunan mereka di dalam hal itu. (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [5/472]).

Semoga bermanfaat 🤲⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣

Jazakumullahu khairan.⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣

***
@ikhwan_subang_
#ikhwansubang

Share:

RENUNGAN SURAT AL LUQMAN AYAT 31

 TAQLID BUTA AKAN MENGGIRING KE JAHANAM.
Isyarat Larangan Taklid Buta: Tafsir Al-Baqarah Ayat 170

Fanatik terhadap guru atau tradisi nenek moyang, telah mendarah daging dalam tubuh umat ini. Yang menjadi masalah adalah ketika pendapat mereka tersebut jelas-jelas menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah tetapi dibela mati-matian. Yang penting kata mereka ‘ sami’na wa atho’na’ (apa yang dikatakan oleh guru kami, tetap kami dengar dan kami taat). Entah pendapat tersebut merupakan perbuatan menyelisihi dalil, yang penting kami tetap patuh kepada guru-guru kami.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَ اِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَا لُوْا بَلْ نَـتَّـبِـعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَآءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَا نَ الشَّيْطٰنُ يَدْعُوْهُمْ اِلٰى عَذَا بِ السَّعِيْرِ
 

Dan apabila dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang diturunkan Allah! Mereka menjawab, (Tidak), tetapi kami (hanya) mengikuti kebiasaan yang kami dapati dari nenek moyang kami. Apakah mereka (akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun sebenarnya setan menyeru mereka ke dalam azab api yang menyala-nyala (Neraka)?".
(QS. Luqman 31: Ayat 21)

Imam Abu Hanifah mengatakan,Haram bagi seorang berfatwa dengan pendapatku sedang dia tidak mengetahui dalilnya.”
 

Imam Malik bin Annas mengatakan,“Setiap orang sesudah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/91)
 

Imam Asy-Syafi’ mengatakan, apabila kalian menemukan pendapat di dalam kitabku yang berseberangan dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkan pendapatku.”
(Al-Majmu’ 1/63).
.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan,Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, tapi ikutilah dalil.”
(I’lam al-Muwaqqi’in 2/201;Asy-Syamilah,).

Allah Tidak Pernah Memerintahkan untuk Taqlid kepada guru, nenek moyang atau siapapun dia.
Yang Allah Perintahkan Agar kita *Ittiba kepada satu Orang. Yaitu Nabi-Nya Shalallahu 'alaihi wa sallam.

Semoga kita dapat berhati hati dalam memilih jalan yang haq seperti jalan yang ditempuh rosulullah bersama sahabatnya.

Baarakallah fikum, semoga bermanfaat.

Allahu a'lam

Share:

TAFSIR AL BAQARAH AYAT 214

 JALAN MENUJU SURGA PENUH DENGAN RINTANGAN


18. Antara Ketinggian & Kebersamaan Allah Serta Makna Ayat: “Kami Lebih  Dekat dari Urat Lehernya”(Bantahan Allah Menyatu Dengan Tubuh Manusia/Allah  Dimana-mana) – assunahsalafushshalih

Bismillah
Syaikh as-Sa'di rahimahullahu ta’ala menyebutkan dalam tafsir (surat al-Baqarah: 214):

"Sesungguhnya telah terjadi pada umat-umat terdahulu apa yang diceritakan oleh Allah tentang mereka, “mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan,” yakni, kemiskinan dan penyakit pada tubuh mereka, “serta digoncangkan (dengan bermacam macam cobaan),” dengan berbagai macam ketakutan seperti ancaman pembunuhan dan pengusiran, harta mereka diambil, pembunuhan orang-orang yang dicintai, dan macam-macam hal yang berbahaya hingga kondisi mereka memuncak dan goncangan itu membuat mereka merasa bahwa kedatangan pertolongan Allah itu lambat padahal mereka yakin akan kedatangannya. Akan tetapi karena situasi yang dahsyat dan kesulitan itu hingga berkatalah “Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’

Dan ketika datang pertolongan Allah pada kesusahan, dan setiap kali perkara telah terasa sulit kemudian menjadi lapang, Allah berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.”

Demikianlah setiap orang yang menegakkan kebenaran itu pasti akan diuji, dan ketika persoalannya semakin sulit dan susah lalu dia bersabar dan tegar menghadapinya, niscaya ujian tersebut akan berubah menjadi anugerah untuknya, dan segala kesulitan itu menjadi ketenangan.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”
(HR. Muslim no. 5178)

Al Imam an-Nawawi rahimahullahu ta’ala menjelaskan dalam syarah hadits tersebut:

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa seseorang itu tidak akan masuk surga sehingga mengamalkan perkara-perkara yang dibenci jiwa, begitupula sebaliknya seseorang itu tidak akan masuk neraka sehingga ia mengamalkan perkara-perkara yang disenangi oleh syahwat.

Diantara amalan-amalan yang dibenci jiwa, seperti halnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala serta menekuninya, bersabar disaat berat menjalankannya, menahan amarah, memaafkan orang lain, berlaku lemah lembut, bershadaqah, berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat salah, bersabar untuk tidak memperturutkan hawa nafsu dan yang lainnya. Sementara perkara yang menghiasi neraka adalah perkara-perkara yang disukai syahwat yang jelas keharamannya.

Waallahu a'lam

(Asy-Syamil.com)
📎Sunnah dijaga dengan kebenaran, kejujuran, dan keadilan bukan dengan kedustaan dan kedhaliman."
(Ibnu Taimiyyah rahimahullahu)

Share:

MEMAHAMI MAKNA SURAT QAAF AYAT 16

 MAKNA AYAT :
KAMI LEBIH DEKAT DARI URAT LEHERNYA

Allah Menguji Kita Tak Lain Hanya Karena Dia Ingin Kita Lebih Dekat  Kepada-Nya, Maka Bersabarlah! | humairoh.com

Terdapat ketidaktepatan pemahaman sebagian kaum muslimin ketika memaknai ayat yang berbunyi:

‎وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”
(Qaaf : 16).

Kesalahan tersebut mengartikan bahwa kata “kami” pada ayat tersebut adalah Allah, sehingga mereka memahami bahwa posisi Allah itu ada di tubuh manusia dan juga di dekat dengan tubuh manusia.

Mereka menyangka bahwa posisi Allah di dekat urat lehernya. Akibat dari kesalahan ini, mereka meyakini “Allah ada di mana-mana” termasuk tubuh manusia, atau keyakinan bahwa Allah menyatu dengan hambanya (aqidah manunggaling kaula gusti). Tentu ini aqidah yang tidak benar, yang benar adalah Allah berada di atas langit.

Mengenai ayat di atas ada dua penjelasan yang menunjukkan bahwa kata “kami” pada ayat tersebut bukan berarti Allah:

1. Tafsir ayat dari para ulama bahwa makna kata “kami” adalah malaikat, bukan berarti Allah.

2. Kata-kata “dekat” bukan berarti otomatis menunjukkan posisi dan letak.

1] Tafsir ayat dari para ulama bahwa makna kata “kami” adalah malaikat, bukan berarti Allah.

Jika kita membaca ayat secara lengkap dan lanjutan ayat, sangat jelas bahwa konteks ayat adalah membicarakan tentang malaikat. Berikut ayat lengkapnya:

‎وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”
(QS. Qaaf: 16-18).

Pertama: Kata (إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ)
Hal Ini menjelaskan tentang dua orang malaikat yang mencatat amal dan duduk di sebelah kanan dan sebelah kiri. Konteks ini menunjukkan bahwa malaikat yang dekat bukan Allah.
Kedua: Kata (الْإِنسَانَ) yaitu manusia secara umum
Manusia ini mencakup muslim dan kafir. Allah tidak dekat dengan orang kafir

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa pendapat ini yang dipilih oleh guru beliau yaitu syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata,

‎ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﻮﻻﻥ ﻟﻠﻨﺎﺱ، ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﺃﻧﻪ ﻗﺮﺑﻪ ﺑﻌﻠﻤﻪ، ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻗﺮﻧﻪ ﺑﻌﻠﻤﻪ ﺑﻮﺳﻮﺳﺔ ﻧﻔﺲ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ، ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺃﻧﻪ ﻗﺮﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺑﻤﻼﺋﻜﺘﻪ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﺇﻟﻰ ﻗﻠﺒﻪ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻌﺮﻕ، ﺍﺧﺘﺎﺭﻩ ﺷﻴﺨﻨﺎ

“Ayat ini terdapat dua pendapat:
Pertama:
Allah dekat ilmunya, oleh karena itu Allah menggandengkan ilmu (mengetahui) dengan apa yang dibisiki hati manusia.

Kedua:
Yang dimaksud dekat adalah malaikat Allah yang bershalawat pada hatinya sehingga lebih dekat dari urat lehernya. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami”
(Madarijus Salikin 2/290).

2] Kata-kata “dekat” bukan berarti otomatis menunjukkan posisi dan letak.

Jika ada yang mengatakan Allah lebih dekat dengan urat leher berdasarkan ayat ini, tentu tidak tepat, karena bukan berarti “dekat” itu menunjukkan posisi Allah dekat, akan tetapi menunjukkan dekat maknawi yaitu “kedekatan”.

Al-Quthubi menjelaskan tafsir bahwa ayat tersebut menunjukkan dekat secara penggambaran, bukan dekat secara jarak. Beliau berkata,

‎ﻭﻫﺬﺍ ﺗﻤﺜﻴﻞ ﻟﻠﻘﺮﺏ، ﺃﻱ ﻧﺤﻦ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺣﺒﻞ ﻭﺭﻳﺪﻩ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﻣﻨﻪ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﻗﺮﺏ ﺍﻟﻤﺴﺎﻓﺔ،
.
“Ini adalah penggambaran kedekatan, yaitu kami lebih dekat (kedekatannya) dari pada urat leher, bukan dekatnya jarak”
(Tafsir Al-Qurthubi).

Contohnya hadits yang menunjukkan kedekatan hamba dengan Allah ketika sujud. Bukan berarti Allah dekat posisi dan letaknya ketika hamba sujud.

‎أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu”
(HR. Muslim no. 482).

Demikian juga gambaran kedekatan Allah pada ayat yang berbunyi:

‎وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”
(QS. Al Baqarah: 186).

🔮Sumber:
dr. Raehanul Bahraen

Share:

DEMI ANAKMU

RENUNGAN SURAT AL KAHFI AYAT 82

Doa agar Anak Sholeh dan Sholehah Lengkap dengan Artinya | kumparan.com

Ketika rasa malas untuk melakukan ibadah menghampiri atau terbetik keinginan utk bermaksiat, ingatlah anak-anakmu.
Coba renungkan Firman Allah ta’ala :
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
Dahulu ibu bapaknya adalah orang-orang shalih… (QS. Al Kahfi : 82).

Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud, ketika beliau sholat malam, sementara putra beliau yang masih kecil terlelap tidur, serambi memandangi putranya beliau berkata,
من أجلك يا بني…
“Demi dirimu wahai anak ku..”

Lalu beliau sambil menangis membaca firman Allah ta’ala :
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
Dahulu ibu bapaknya adalah orang-orang shalih… (QS. Al Kahfi : 82).

Benar sekali, sesungguhnya ketakwaan orangtua sangat berpengaruh pada kesholihan anak-anaknya.
Apabila orang tuanya sholih, hubungannya dengan Allah kuat, maka Allah akan menjaga anak-anaknya bahkan sampai cucu-cucunya. Seperti dalam kisah dalam surat al Kahfi, Allah menjaga simpanan harta kedua anak yatim itu dikarenakan kesalehan kakek mereka yang ketujuh….!

====
Allah ‘Azza wajalla mengingatkan ,

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An Nisa : 9).

Pengaruh Keshalihan Orang Tua Pada Anak-Cucu

Selama ini kita percaya bahwa bentuk fisik dan beberapa sifat akan diturunkan kepada anak dan cucu. Karena ada pepatah

Buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya

Sehingga manusia selektif memilih pasangannya agar menghasilkan keturunan anak-cucu yang berkualitas baik fisik dan sifatnya.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa keshalihan juga bisa diturunkan.
Artinya karena keshalihan bapak-ibu atau kakek-nenek, Allah menjaga anak keturunan mereka dan menjadikan anak dan cucu mereka kelak juga menjadi orang yang shalih.

Bisa kita lihat gambaran contohnya dalam Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” (QS. Al Kahfi: 82)

Al-Qurthubi rahimahullahu menafsirkan,
ففيه ما يدل على أن الله تعالى يحفظ الصالح في نفسه وفي ولده وإن بعدوا عنه. وقد روي أن الله تعالى يحفظ الصالح في سبعة من ذريته

“Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menjaga keshalihan seseorang dan menjaga keshalihan anak keturunannya meskipun jauh darinya [beberapa generasi setelahnya –pent]. Diriwayatkan [dalam kisah pada ayat] bahwa Allah menjaga keshalihan pada generasi ketujuh dari keturunannya.”1

Bahkan ada beberapa ulama yang menjelaskan bahwa tidak mesti keshalihan orang tua atau kakek-nenek. Akan tetapi keshalihan kakek buyutnya beberapa generasi sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” [Ath Thuur: 21]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy menafsirkan,
ذريتهم الذين اتبعوهم بإيمان أي: الذين لحقوهم بالإيمان الصادر من آبائهم، فصارت الذرية تبعا لهم بالإيمان، ومن باب أولى إذا تبعتهم ذريتهم بإيمانهم الصادر منهم أنفسهم، فهؤلاء المذكورون، يلحقهم الله بمنازل آبائهم في الجنة وإن لم يبلغوها، جزاء لآبائهم، وزيادة في ثوابهم، ومع ذلك، لا ينقص الله الآباء من أعمالهم شيئا
“keturunan yang mengikuti mereka dalam keimanan maksudnya adalah mereka mengikuti keimanan yang muncul dari orang tua/kakek-buyut mereka.
maka keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan.
Maka lebih utama lagi jika keimanan muncul dari diri anak-keturunan itu sendiri.
Mereka yang disebut ini, maka Allah akan mengikutsertakan mereka dalam kedudukan orang tua/kakek-buyut mereka di surga walaupun mereka sebenarnya tidak mencapainya [kedudukan anak lebih rendah dari orang tua –pent], sebagai balasan bagi orang tua mereka dan tambahan bagi pahala mereka. akan tetapi dengan hal ini, Allah tidak mengurangi pahala orang tua mereka sedikitpun.”2

Karenanya perhatikan dan pilihlah pasangan yang shalih, ini adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Demikian semoga bermanfaat.

Share:

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

LISTEN QURAN

Listen to Quran

Popular Posts

Blog Archive

Recent Posts

Pages