Kajian Surat Ali Imran ayat 110

  1.   *Indahnya nasehat dalam Islam ...*

  2. _*SALING MENASEHATI ADALAH NIKMAT ALLAH UNTUK PARA HAMBANYA...*_

  3. ✍ Allah berfirman,

  4. كُنتُمۡ خَیۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَـٰبِ لَكَانَ خَیۡرࣰا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ.
  5. "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."
  6. [Surat Ali 'Imran 110]

  7. Berkata Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,
  8. Kamu adalah umat yang dijadikan Allah sebagai umat yang terbaik, kalian telah menjadi ketetapan Allah atas hal ini. Umat Islam adalah umat terbaik secara mutlak. Mereka adalah umat yang telah dipilih sebab mereka diperintahkan untuk menyeru kepada yang ma’ruf ma’ruf: yaitu yang baik sesuai perintah syariat dan mencegah dari yang munkar: yaitu segala perkataan, perangai atau perbuatan yang bertentangan dengan syariat. Juga sebab bahwa mereka beriman kepada Allah dan meyakini bahwa Allah tidak mempunyai sekutu. Sekiranya orang-orang Yahudi dan Nasrani beriman dengan risalah Nabi Muhammad, tentulah iman mereka itu lebih baik dan bermanfaat bagi mereka di depan Tuhan mereka. Namun mereka tidak beriman, sebagian mereka beriman dan sebagian besar menyeleweng dari jalan kebenaran dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini turun kepada dua orang Yahudi yang berkata kepada kumpulan orang mukmin: sesungguhnya agama kami lebih baik dari pada agama yang kalian serukan kepada kami. Kami lebih baik dari kalian. Kemudian Allah menurunkan ayat ini.
  9. (Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar)

  10. Ciri khas ummat ini yang menjadikan mereka mulia adalah tegaknya Amar Makruf dan Nahi Munkar. Dengan hal itu terwujud lah perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk saling menasehati.
  11. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda،

  12. الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قلنا: لمن؟ قال: لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم. رواه مسلم
  13. “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim, 55)

  14. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله berkata:

  15. إن من نعمة الله على الأمة أن يكون بينهم وبين ولاة الأمور من العلماء والأمراء مودة واتصال ومناصحة، وعلى كل من تبين له الحق من هؤلاء وهؤلاء أن يرجع إليه؛ لأن الله يقول: { فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً } [النساء:59].
  16. Di antara kenikmatan Allah kepada umat ialah adanya kecintaan, hubungan, dan saling nasehat-menasehati di antara mereka dengan waliyul amr baik dari kalangan 'umara maupun 'ulama.
  17.  Dan wajib atas setiap mereka yang telah jelas kebenaran baginya baik dari yang ini maupun yang itu untuk segera kembali kepadanya. Karena Allah berfirman:

  18. { فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً } [النساء:59
  19. "BIla kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasulullah (sunnahnya), bila kalian beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya." [an-Nisa': 59]
  20. (Silsilah Liqo' Asy-Syahry 2, binothaimeen.net)

  21. Wallahu a'lam

  22. 🍃 Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

  23.           ✏📚✒.📒.. 

Share:

At Taubah ayat 100

 Mengikuti Islam yang Murni

Satu-satunya Islam yang hakiki adalah Islam yang mengikuti Al Qur’an dan Hadits berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum. Inilah pemahaman Islam yang masih murni yang mesti diikuti.

Dalil untuk berpegang teguh dengan Al Qur’an dan hadits disebutkan dalam Muwatho’ Imam Malik,

إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة نبيه الحديث

“Aku telah tinggalkan bagi kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selamanya jika berpegang teguh dengan keduanya yaitu: Al Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Al Hakim, sanadnya shahih kata Al Hakim).

Islam yang hakiki bukan hanya berpegang pada Al Qur’an dan Hadits, namun juga mesti ditambah dengan mengikuti para sahabat dalam beragama. Karena para sahabatlah yang mengetahui bagaimana wahyu itu turun. Dan mereka yang lebih tahu maksud Nabi daripada umat sesudahnya. Oleh karenanya mereka dipuji dalam ayat,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala memuji keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam firman-Nya,

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا

“Dan jika mereka beriman seperti keimanan kalian, maka sungguh mereka telah mendapatkan petunjuk (ke jalan yang benar).” (QS. Al Baqarah: 137)

Yang mengikuti para sahabat dalam beragama, itulah yang selamat (firqotun najiyah). Sebagaimana disebutkan dalam hadits perpecahan umat. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ بَنِى إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى

“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan. Sedangkan umatku terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, “Siapa golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yaitu yang mengikuti pemahamanku dan pemahaman sahabatku.” (HR. Tirmidzi no. 2641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Jadi, yang mengikuti pemahaman para sahabat, itulah yang selamat.

Mengapa kita mesti mengambil pemahaman salaf atau sahabat dalam beragama? Karena kalau memakai pikiran masing-masing dalam memahami Al Qur’an dan Hadits, maka tafsirannya bisa macam-macam, bahkan bisa rusak. Sehingga tidak cukup kita mengamalkan Al Qur’an dan Hadits saja, namun juga ditambah harus mengikuti pemahaman para sahabat.

Barakallah fii kum.. 
Share:

Renungan Surat Al Maidah ayat 3

 Penyempurna dari semua kenikmatan 

✍️ Keberadaan agama Islam adalah penyempuma seluruh kenikmatan Allah atas hamba-Nya sebagaimana firman Allah:

الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ، الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
"Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (Al Maaidah: 3).

Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata,
“Ayat ini menunjukkan nikmat Allah yang paling besar, yaitu ketika Allah menyempurnakan agama bagi manusia sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain islam, tidak membutuhkan seorang nabi pun selain nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah Allah ta’ala mengutus beliau sebagai nabi penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.” (Tafsir Al-Qur'an Al-Adhim, Ibnu Katsir)

Sebelum Nabi Sholallohu’alaihi wasallam wafat, beliau telah meninggalkan ajaran yang bersih dan putih cemerlang, malamnya laksana siangnya, dan siapa yang berpaling darinya maka ia pasti akan hancur dan binasa. Sebagaimana sabdanya,

تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ.
“Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.” (HR. Ibnu Majah, 43 dishahihkan Al-Albany)

Pada masa generasi pertama, Umat Islam menjadi umat rahmatan lil 'alamin karena mereka istiqamah di atas petunjuk dan memiliki ikatan batin   serta hati yang satu   dan terjaga dari hawa nafsu sehingga membuat mereka mampu istiqomah dalam rangka mentaati  Allah dan    Rasul-Nya, mereka itulah para sahabat Nabi  yang  tidak  mengenal kecuali hanya mentaati dan menjunjung tinggi sunnah dan ajaran beliau. Mereka tunduk dan patuh terhadap seluruh  petunjuk dan kebenaran yang datang dari beiiau tanpa disertai sanggahan dan bantahan terhadap seluruh putusan syariat.

Begitulah suasana kehidupan generasi teladan, begitu pula generasi setelah mereka baik dari kalangan Tabi'in dan para ulama sunnah yang telah mendapat hidayah. Semoga Allah Subahanahu wata’aala meridhai mereka semuanya.

Wallahu a'lam

🍃Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

         ✏📚✒️.🌹.. 
Share:

Mentadaburi Surat Ali Imron ayat 104

 *Menyelamatkan ummat dengan dakwah ...*


✍️Dakwah kepada Islam yang hak, harus terus menerus dilanjutkan dari generasi ke generasi berikutnya. Tidak boleh mandek atau terhenti estafet dakwah ini kapanpun dan dalam kondisi apapun. Karena tugas dakwah adalah tugas mulia yang harus ikut mengemban amanah ini setiap generasi muslim.
Allah memerintahkan yang demikian ini dalam firman-nya,

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةࣱ یَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَیۡرِ وَیَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَیَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (Ali Imran:104).

Imam Ath-Thobary رحمه الله berkata,
Perintah dalam ayat ini bersifat umum dan merupakan kewajiban atas setiap individu untuk melaksanakannya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Huruf (من) disitu berarti penjelas. Kalau menjadi penjelas maknanya jadilah kamu wahai kaum mukminin sebagai umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar (Jami’ul Bayan, Imam At-Thabary 4/26).

Imam Ibnu Katsir, رحمه الله berkata,
Maksud dari ayat ini adalah jadilah kamu sekelompok orang dari umat yang melaksanakan kewajiban dakwah. Kewajiban ini wajib atas setiap muslim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم,
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان.
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, kalau tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya, kalau tidak mampu hendaklah mengubah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” Dan pada riwayat lain, “Dan setelah itu tidak ada iman sedikitpun.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, Ibnu Katsir).

Dakwah mempunyai tujuan yang banyak sekali, namun pokoknya adalah tersebarnya kebenaran pada umat manusia khususnya kaum muslimin, lalu mereka bisa merubah pola pikir hidupnya dari jelek menjadi baik, dari beribadah kepada makhluk berubah menjadi beribadah kepada Khaliq. Lalu mereka membela Islam, mendakwahkan Islam semampunya hingga dengan usaha mereka setelah rahmat Allah manusia masuk Islam secara berbondong-bondong.
Alangkah bahayanya kalau dakwah itu sampai tidak berjalan, mandek total tanpa ada yang menjalankan, maka ketika itu adzab Allah akan turun ke bumi menimpa manusia semuanya. Apakah di dalamnya itu orang beriman atau bukan beriman.
Allah memberikan ancaman yang keras dengan azabnya manakala ummat ini meninggalkan dakwah dan amar makruf nahi munkar:

وَٱتَّقُوا۟ فِتۡنَةࣰ لَّا تُصِیبَنَّ ٱلَّذِینَ ظَلَمُوا۟ مِنكُمۡ خَاۤصَّةࣰۖ وَٱعۡلَمُوۤا۟ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعِقَابِ.
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang zhalim di antara kamu, dan ketahuilah Allah amat keras siksanya”. (Al-Anfal: 25).

Dan juga dengan dakwah akan menjadikan terhindarnya ummat dari kerusakan, kebinasaan serta terlepasnya tanggung jawab disisi Allah.

وَإِذۡ قَالَتۡ أُمَّةࣱ مِّنۡهُمۡ لِمَ تَعِظُونَ قَوۡمًا ٱللَّهُ مُهۡلِكُهُمۡ أَوۡ مُعَذِّبُهُمۡ عَذَابࣰا شَدِیدࣰاۖ قَالُوا۟ مَعۡذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَلَعَلَّهُمۡ یَتَّقُونَ.  فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦۤ أَنجَیۡنَا ٱلَّذِینَ یَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلسُّوۤءِ وَأَخَذۡنَا ٱلَّذِینَ ظَلَمُوا۟ بِعَذَابِۭ بَـِٔیسِۭ بِمَا كَانُوا۟ یَفۡسُقُونَ.
"Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik."
(Al-A'raf: 164 - 165)

Berkata Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,
Dan ingatlah juga wahai Nabi ketika suatu golongan dari penduduk negeri itu berkata kepada orang-orang shalih yang memberi nasehat bahwa mereka tidak dilarang untuk melaut: “Kenapa kalian menasehati kaum, sedangkan Allah akan membinasakan mereka di dunia, atau akan memberi mereka azab yang sangat berat di akhirat?” Para pemberi nasehat itu berkata: “Nasehat kami adalah suatu permohonan maaf yang kami mohonkan kepada Allah, agar kita leluasa meninggalkan sesuatu yang dilarang, yaitu supaya kita dimaafkan di sisi Allah dengan menunaikan kewajiban kita” dan supaya mereka bertakwa kepada Allah, lalu menghindari perbuatan maksiat yang bisa mereka kerjakan dan tidak melaut.
'Ikrimah menceritakan : "Pada suatu hari aku pernah datang kepada Ibnu Abbas. Saat itu Ibnu Abbas sedang menangis, dan ternyata ia sedang memegang mushaf di pangkuannya. Maka aku memberanikan diri untuk maju dan duduk di dekatnya, lalu aku bertanya, 'Hai Ibnu Abbas, apakah yang membuatmu menangis? Semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu.' Ibnu Abbas menjawab, 'Karena lembaran-lembaran ini'." Ternyata lembaran-lembaran yang dimaksud adalah surat Al-A'raf. Lalu Ibnu Abbas menceritakan kisah kaum Yahudi tatkala mereka kembali pada hari sabtu untuk mengambil ikan-ikan mereka, lalu Ibnu Abbas berkata : kemudian suatu golongan dari mereka melanggar aturan itu dan mengambil ikan-ika itu, dan orang-orang dari golongan kanan berlepas diri dan mengingkari perbutan golongan pelanggar itu, begitu juga dari golongan kiri berlepas diri dan mereka membiarkan golongan pelanggar itu berbuat.. Kemudian Ibnu Abbas membaca satu ayat :
{ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ }
"Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras" kemudian Ibnu Abbas melanjutkan : maka golongan yang telah melarang pelanggaran itu melihat bahwa diri mereka telah selamat dari ancaman ayat ini.
(Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar)

Akhir tujuan utama dakwah dan amar ma’ruf untuk mendapatkan predikat khairu ummah. Sebab seandainya umat ini tak mau berdakwah, maka akan mengalami kerugian dan kemunduran dalam pelbagai aspek kehidupan. Mulianya umat adalah dengan dakwah, dan kerugiannya juga akibat meninggalkan dakwah. Allah berfirman:

كُنتُمۡ خَیۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ.
”Kamu semua adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110).

Wallahu a'lam

🍃Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

         ✏📚✒️.💫.. 
Share:

Renungan Quran Surat Hud ayat 15-16

 🔥 *Al-Qur'an juru nasehat yang Haq ...*


✍️ Al-Qur'an merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru na­sihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang di­turunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.
Diantara nasehat penting Al-Qur'an yang harus dijadikan peringatan selama-lamanya adalah nasehat untuk menjadikan dunia, hanya sebagai titian bukan tujuan.
Allah berfirman,

مَن كَانَ یُرِیدُ ٱلۡحَیَوٰةَ ٱلدُّنۡیَا وَزِینَتَهَا نُوَفِّ إِلَیۡهِمۡ أَعۡمَـٰلَهُمۡ فِیهَا وَهُمۡ فِیهَا لَا یُبۡخَسُونَ ۝
أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ لَیۡسَ لَهُمۡ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِیهَا وَبَـٰطِلࣱ مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ.
“Siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan dirugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-­apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua amal per­buatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan” (Hud: 15-16).

Berkata Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili,
Allah berfirman “barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya” maksudnya segala keinginannya terbatas hanya pada kehidupan dunia berupa wanita, anak anak, emas, daan perak yang melimpah, kuda pilihan, ternak dan tanah pertanian maka sungguh dia telah memfokuskan keinginannya, usahanya dan pekerjaannya pada hal hal ini, dan tidak terbetik dalam keinginannya untuk alam akhirat sedikitpun, orang ini tidak lain melainkan orang kafir, karena jika dia adalah orang yang beriman, niscaya imannya menghalanginya untuk memberikan seluruh keinginannya kepada alam dunia, bahkan imannya itu sendiri dan amal perbuatan yang dilakukannya adalah salah satu tanda kalau dia itu menginginkan alam akhirat, akan tetapi orang yang sengsara ini yang sepertinya hanya diciptakan untuk dunia saja, ”niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna” maksudnya, kami memberi mereka sesuatu yang telah dibagikan kepada mereka di ummul kitab berupa balasan dunianya. ”dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan” tidak sedikit pun dari sesuatu yang ditakdirkan untuknya akan dikurangi, akan tetapi ini adalah puncak nikmat mereka.
. “itulah orang orang yang tidak memperoleh akhirat kecuali neraka” mereka kekal didalamnya selama lamanya, azabNya tidak terputus mereka tidak mendapatkan balasan yang mulia “dan lenyaplah diakhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dalamnya” yakni di dunia, maksudnya batal dan lenyap rencana mereka untuk membuat maka bagi kebenaran dan pengikutnya, begitu pula amal kebaikan yang tidak berdasar dan tidak terpenuhi syaratnya yaitu iman.
(Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili)

Allah mengancam neraka bagi yang menginginkan dunia dengan amalannya.
Dan segala sesuatu yang tak me­nyertai manusia setelah mati, adalah termasuk dunia.

Wahai jiwa yang tenang, yang mau mengambil ibroh ayat-ayat Allah .. !

Apakah engkau telah membersihkan diri dan keinginan dan cin­ta pada dunia?
Seandainya ada seorang dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiur­kan, niscaya engkau akan takut dan menghindarinya.
Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ke­timbang Allah ?
Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya engkau ini! Engkau membenarkan tapi tak mau mengam­bil pelajaran.
Bahkan engkau terus saja condong kepada dunia....?

Wallahu a'lam

🍃Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

       ✏📚✒️.💖.. 
Share:

Kitab-kitab Tafsir Ahlussunnah dan Keistimewaannya

 Dari uraian sebelumnya, jelas bagi kita bahwa secara umum, manhaj tafsir al-Qur’an terbagi dua; tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi (dirayah, ijtihad). Kedua manhaj tafsir ini mempunyai tokoh dengan kitab tafsir mereka masing-masing. Akan tetapi, yang akan dikemukakan di sini hanya tafsir yang disusun oleh ulama ahlis sunnah yang dikenal keilmuan dan ketakwaan mereka serta keteguhan mereka dalam mengamalkan ilmu yang mereka miliki.

Adapun kitab tafsir di luar ahlis sunnah, baik yang dibuat para pengikut hawa nafsu maupun kebid’ahan, tidak dipaparkan di sini. Sebab, ahli bid’ah dan para pengikut hawa nafsu tidak ada tujuan mereka selain menyelewengkan makna ayat dari yang haq untuk membela keyakinan mereka yang rusak.

Telah pula dijelaskan bahwa yang menjadi patokan benar tidaknya tafsir yang ada adalah sesuai atau tidaknya tafsir tersebut dengan manhaj salafus saleh g. Sebab, salaf kita yang saleh, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling tahu, sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kandungan al-Qur’an dan paling semangat mengamalkannya. Wallahu a’lam.

 

Kitab-kitab Tafsir Ahlis Sunnah

  1. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari, yang diberi judul Jami’ul Bayan fi Tafsiril Quran.

Tafsir ini ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib ath-Thabari yang lahir tahun 224 H di Thabristan.

Beliau adalah salah seorang imam kaum muslimin yang dijadikan rujukan karena keilmuannya. Dalam bidang tafsir, beliau dikatakan sebagai Bapak Tafsir al-Qur’an, demikian pula di bidang sejarah (tarikh).

Tafsir Ibnu Jarir adalah tafsir yang paling kokoh dan terkenal, bahkan menjadi rujukan pertama bagi mufasir yang menekuni tafsir bir riwayah. Namun, pada saat yang sama, tafsir ini juga merupakan rujukan bagi tafsir ‘aqli karena adanya upaya ijtihad di dalamnya.

Para ulama sepakat menilai tinggi kedudukan tafsir Ibnu Jarir ini.

As-Suyuthi menyebutkan bahwa Kitab Tafsir ath-Thabari adalah kitab tafsir yang paling besar dan paling utama. Sebab, Ibnu Jarir memberikan arahan bagi setiap pendapat, melakukan pentarjihan, menerangkan segi-segi i’rab (kedudukan kata dalam tata bahasa Arab), dan melakukan istinbath (pengambilan hukum dari dalil).

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa umat ini sepakat bahwa belum ada yang menyusun tafsir sehebat Tafsir ath-Thabari.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga memuji, “Adapun kitab tafsir yang ada di tangan manusia, yang paling sahih adalah Tafsir ath-Thabari. Beliau menyebutkan pendapat para salaf dengan sanad yang jelas dan tidak ada kebid’ahan di dalamnya; serta tidak menukil dari orangorang yang tertuduh seperti Muqatil bin Sulaiman dan al-Kalbi.”

Manhaj yang diikuti Ibnu Jarir dalam tafsirnya ialah, jika hendak menafsirkan ayat, beliau menyebutkan, “Pendapat mengenai takwil firman Allah ‘azza wa jalla ini adalah demikian dan demikian.”

Kemudian, beliau menafsirkan ayat itu dengan berpegang pada pendapat sahabat dan tabi’in dengan sanadnya. Beliau memaparkan sejumlah riwayat mengenai ayat yang dibahas, sekaligus membandingkannya satu sama lain dan mentarjih salah satunya.

Tidak jarang pula beliau mengoreksi beberapa sanad dari periwayatan tersebut. Rawi yang dipandang tsiqah, beliau nyatakan tsiqah, yang dha’if, beliau tolak riwayatnya.

Meskipun dalam tafsir ini tercantum juga berita Israiliyat, beliau sering menyusulkan pembahasan dan kritikan.

Dalam masalah akidah, beliau menyanggah pendapat ahli kalam dan menguatkan mazhab ahlis sunnah wal jama’ah.

Wallahu a’lam.

 

  1. Tafsir al-Qurthubi

Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, seorang imam yang menguasai berbagai disiplin ilmu.

Dikenal dengan Jami’ Ahkamil Quran. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kitab ini jauh lebih baik dari Tafsir az-Zamakhsyari, lebih dekat kepada jalan ahlil kitab was sunnah serta lebih jauh dari kebid’ahan.

Tafsir beliau boleh dikatakan sebagai sebuah ensiklopedi dengan berbagai disiplin ilmu di dalamnya.

Di antara keistimewaannya ialah tafsir dengan pembahasan fikih yang sangat luas, menyandarkan hadits kepada yang mengeluarkannya.

Di dalam tafsir ini, beliau sedikit menukil kisah Israiliyat dan hadits palsu tanpa mengomentarinya.

Akan tetapi, ketika riwayat seperti ini menodai kesucian malaikat dan kemaksuman seorang nabi, beliau menyanggahnya dan menyatakan kebatilannya atau kelemahan riwayat tersebut. Sebagaimana yang beliau terangkan tentang kisah Harut dan Marut.

Meskipun judul kitab beliau menitikberatkan pembahasan fikih, beliau juga menafsirkan al-Qur’an secara menyeluruh. Beliau menerangkan kata yang asing (gharib) dan menjelaskan macam-macam qira’at dan i’rab. Beliau juga mengutip pendapat ulama terdahulu yang tsiqah, khususnya para penulis kitab tentang hukum.

Dalam masalah akidah dan manhaj, beliau juga menyerang pemikiran Mu’tazilah, Qadariyah, Rafidhah, ahli filsafat, dan kaum tarekat sufiyah yang keterlaluan (melampaui batas). Akan tetapi, semua itu beliau tulis dengan bahasa yang halus, walaupun bernada kritik terhadap tokoh tertentu.

Di antara kekurangannya ialah menukil riwayat Israiliyat tanpa mengomentarinya, kemudian menukil dari beberapa sumber lain tanpa menyebutkan namanya.

Demikian pula riwayat yang lemah dan palsu, masih mengisi halaman kitab besar ini.

 

  1. Tafsir Ibnu Katsir

Beliau adalah ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir. Seorang hafizh dan imam kaum muslimin. Belajar dari Ibnu Taimiyah dan banyak mengadopsi pemikirannya.

Para ulama mengakui keluasan ilmu beliau baik dalam hadits, sejarah dan tafsir.

Kitab beliau al-Bidayah wan Nihayah adalah rujukan utama tentang sejarah Islam. Kitab tafsirnya, Tafsirul Quranil ‘Azhim adalah tafsir yang paling terkenal dari sejumlah kitab tafsir bil ma’tsur yang menjadi rujukan. Sebab, Ibnu Katsir sangat menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti tentang sunnah, sejarah orang-orang terdahulu dan yang kemudian.

Dalam tafsirnya ini, beliau selalu mencantumkan hadits yang marfu’, mengemukakan perkataan salafussaleh, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in dan imam-imam sesudah mereka yang mumpuni dalam bidang tafsir.

Di antara keistimewaannya ialah beliau sering memperingatkan akan riwayat Israiliyat yang munkar yang ada dalam sejumlah kitab tafsir bil ma’tsur. Kadang beliau juga mendiskusikan beberapa pendapat mazhab fikih dengan dalil masing-masing mazhab.

Di samping menyandarkan pendapat tentang tafsir yang beliau pilih kepada yang mengucapkannya, beliau juga melakukan kritik terhadap rawi yang menyampaikan. Karena itu, beliau menyatakan sahih yang beliau anggap kuat dan melemahkan yang cacat.

Termasuk keistimewaannya yang menonjol ialah perhatiannya terhadap apa yang dikenal sebagai tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an. Selain itu, beliau menjauhi pembahasan tentang i’rab dan ilmu lain yang tidak begitu diperlukan dalam menafsirkan al-Qur’an.

 

  1. Tafsir asy-Syinqithi

Yang dikenal dengan Adhwaul Bayan fi Idhahil Quran bil Qur’an. Penulisnya adalah asy-Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jakni asy-Syinqithi.

Dia menguasai ilmu-ilmu alat yang diperlukan seorang mufasir, seorang ahli usul fikih dari kalangan mazhab Maliki. Akan tetapi, beliau tidak terbelenggu oleh taklid buta.

Tafsir ini adalah kitab tafsir yang cukup lengkap, tidak hanya membahas tentang tafsir ayat al-Qur’an semata, tetapi juga sejumlah ilmu syariat lainnya, seperti ilmu usul fikih, hadits, akidah, bahasa Arab, dan balaghah.

Keistimewaannya, beliau menerangkan metode istinbath hukum fikih melalui suatu ayat kemudian menjelaskan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Beliau kemukakan dalil mereka dan mendiskusikannya lalu merajihkan pendapat yang paling kuat dalilnya tanpa fanatik terhadap mazhab tertentu.

Inilah yang beliau terangkan dalam mukadimah kitab beliau Adhwaul Bayan, yaitu memaparkan hukum yang terkait dengan ayat tertentu berikut dalilnya dari as-Sunnah dan pendapat para ulama. Kemudian merajihkan mana yang menurut beliau paling kuat dalilnya.

Hampir tidak ada satu pun ayat yang dilewati beliau kecuali beliau keluarkan dari ayat tersebut sebagian hukum fikihnya yang bermacam-macam.

Misalnya, dari firman Allah ‘azza wa jallaIngatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (al-Baqarah: 30)

Beliau mengeluarkan imamah dan hukumnya.

Ketika mendiskusikan beberapa masalah fikih, beliau sebutkan pendapatnya dan menerangkan apa yang beliau pilih dengan menyebut, “Yang tampak menurut saya adalah….” atau, “Inilah yang tampak, yang tidak boleh beralih kepada yang lain….” atau, “Yang benar dalam masalah ini ialah….” dsb.

Kitab ini tidak termasuk kitab tafsir bir ra’yi, tetapi merupakan istinbath dari al-Qur’an dengan berpegang pada kitab ulama terdahulu dan merajihkan yang beliau pandang kuat.

Hampir sebagian besar beliau mengambilnya dari tafsir al-Qurthubi.

Wallahu a’lam.

 

  1. Tafsir as-Sa’di

Beliau adalah asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashr Alu Sa’di, ulama dari ‘Unaizah.

Tafsir beliau yang berjudul Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalimil Mannan adalah kitab tafsir yang ringkas.

Meskipun kecil, kitab ini mencakup sebagian pembahasan yang pernah diterangkan ulama dalam tafsir mereka. Kitab ini sesuai dengan judulnya, ringkas dan mudah. Beliau memaparkannya dengan bahasa yang memikat dan jelas yang mencakup semua yang dimaksud oleh ayat yang sedang ditafsirkan baik makna maupun hukum, melalui teks (manthuq) maupun hal-hal yang tersirat (mafhum), tanpa memperluas atau istithrad (membakukan), menyebutkan kisah dan dongeng Israiliyat, serta hikayat sebuah perkataan, sehingga keluar dari tujuan sebenarnya.

Dalam tafsir ini, beliau hanya memfokuskan diri pada makna yang dimaksud oleh suatu ayat dengan ungkapan yang mudah dipahami oleh semua yang membacanya bagaimanapun status keilmuannya.

Beliau lebih memerhatikan pemantapan akidah salaf, mengarahkan kepada Allah ‘azza wa jalla, memetik kesimpulan hukum syar’i, kaidah usul fikih, faedah fikih dan faedah lainnya, yang tidak ditemukan pada tafsir lainnya. Di samping itu, beliau juga memerhatikan penafsiran ayat sifat sesuai dengan tuntutan akidah salaf, berbeda dengan penakwilan sebagian ahli tafsir.

Jauh dari keterangan yang bertele-tele dan panjang lebar yang tidak ada faedahnya, serta membuang-buang waktu dan mengeruhkan pikiran.

Menjauhi pemaparan tentang perselisihan kecuali yang sangat kuat dan perlu disebutkan. Keistimewaan ini penting bagi pembaca sehingga kokoh pemahamannya terhadap sesuatu.

Berjalan di atas manhaj salaf dalam ayat-ayat sifat, tanpa tahrif (menyelewengkan makna) dan takwil yang menyelisihi apa yang dikehendaki Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya, dan ini adalah pilar dalam membina akidah.

Tajamnya penarikan faedah, hukum, hikmah yang ditunjukkan oleh suatu ayat. Hal ini terlihat jelas dalam sebagian ayat, seperti ayat tentang wudhu pada surat al-Maidah, dengan menguraikan lima puluh hikmah, juga sebagaimana dalam kisah Nabi Dawud ‘alaihissalam dan Sulaiman pada surat Shad.

Kitab ini adalah kitab tafsir dan tarbiyah (pendidikan, pembinaan) akhlak yang mulia, sebagaimana terlihat ketika beliau menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat al-A’raf ayat 199,

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”

Masih banyak tafsir lainnya yang menjadi rujukan kaum muslimin.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

Share:

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

LISTEN QURAN

Listen to Quran

Popular Posts

Blog Archive

Recent Posts

Pages