SURAH AL MULK

  بِسْــــــــــــــــــــــم اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

🍂"YUK BACA SURAH AL-MULK SETIAP MALAM

Ada salah satu surah di dalam Al-qur'an yang bisa kita amalkan setiap malamnya, surah ini adalah surah Al-Mulk. Riwayat yang menyebutkan keutamaan tersebut sebagaimana riwayat yang kami nukil dalam gambar.

Perlu diketahui bahwa riwayat di atas mauquf, (artinya) bukan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi hanya perkataan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Secara rentet, perawinya adalah sebagai 

berikut: Telah menceritakan pada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdil Karim, ia berkata, telah menceritakan pada kami Muhammad bin ‘Ubaidillah Abu Tsabit Al Madini, ia berkata, telah menceritakan pada kami 

Ibnu Abi Hazim, dari Suhail bin Abi Sholih, dari ‘Arfajah bin ‘Abdul Wahid, dari ‘Ashim bin Abin Nujud, dari Zarr, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu.

Keutamaan membaca surah Al-Mulk tiap malamnya juga tercermin dari hadis berikut:

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan pada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qotadah, dari ‘Abbas Al Jusyamiy, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

beliau bersabda, “Ada suatu surah dari Alquran yang terdiri dari 30 ayat dan dapat memberi syafaat bagi yang membacanya, sampai dia diampuni, yaitu: “Tabaarakalladzii biyadihil mulku… (surah Al Mulk).” (HR. Tirmidzi no. 2891, Abu Daud no. 1400, Ibnu Majah no. 3786, dan Ahmad 2/299).

Catatan penting yang mesti diperhatikan:

Keutamaan surah ini bisa diperoleh jika seseorang rajin membaca setiap malamnya, mengamalkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, dan mengimani berbagai berita yang disampaikan di dalamnya.

Semoga bermanfaat

Sumber : IG Rumaysho

Share:

JIKA BERAGAMA MENGIKUTI KEBANYAKAN ORANG

Facebook

Oleh:Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA

Dalam beragama,ukuran kebenaran bukan dilihat dari banyaknya manusia/banyaknya pengikut.
Ukuran kebenaran dalam beragama adalah engkau mengikuti DALIL (AL QUR'AN DAN SUNNAH DENGAN PEMAHAMAN SALAFUSSHOLEH)
Allah dalam Al Qur'an tidak pernah MEMUJI banyaknya manusia,,yang ada malah CELAAN.

Allah berfirman:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ﴿١١٦﴾إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

 Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. [Al-An’am/6:116-117].

✒️TAFSIR RINGKAS

Ketahuilah wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya “jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh,” maksudnya seandainya kamu (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) mendengarkan, mengambil dan mengikuti pendapat atau saran-saran mereka, maka mereka akan menyesatkanmu secara nyata dari jalan Allâh Azza wa Jalla . Penyebabnya adalah sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengetahuan dan ilmu yang haq. Seluruh apa yang mereka ucapkan berasal dari hawa nafsu dan bisikan syaitan.

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja.” Sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti perkataan-perkataan yang berasal dari prasangka-prasangka mereka. Tidaklah mereka berbicara kecuali hanya dengan mengira-ngira saja dan berdusta.

“Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.” Cukuplah bagimu pengetahuan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka dan Dia-lah yang Maha Mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapatkan petunjuk.[1]

✒️PENJABARAN AYAT

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh.

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memberikan perintah kepada Nabi-Nya dan perintah ini berlaku juga kepada seluruh pengikutnya. Yaitu perintah agar tidak mengikuti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini. Karena kebanyakan mereka berada dalam kesesatan. Jika seseorang tetap mengikuti mereka, maka ini akan menyebabkannya tersesat dari jalan Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memberitahukan tentang keadaan sebagian besar penduduk bumi dari anak keturunan Adam yang berada dalam kesesatan.”[2].

Kebanyakan manusia tidak mengikuti ajaran yang murni dari Allâh Azza wa Jalla . Ajaran yang mereka anut adalah ajaran-ajaran yang menyimpang, amalan-amalan mereka bercampur dengan hal-hal baru yang mereka ada-adakan sendiri tanpa petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya sebagian besar dari mereka telah menyimpang dalam agama, amalan-amalan dan ilmu-ilmu mereka. Agama-agama mereka telah rusak, amalan-amalan mereka mengikuti hawa nafsu mereka; dan ilmu-ilmu mereka tidak didasarkan atas penelitian untuk mencari kebenaran dan tidak bisa mendapatkan jalan yang lurus.”[3].

Kita tidak bisa menjadikan apa yang dipegang oleh kebanyakan manusia sebagai suatu kebenaran jika mereka berada dalam kesesatan. Gaya hidup menyimpang yang terus berkembang, kemaksiatan dan kesesatan yang terus merajalela, jangan sampai membuat kita tergiur dan terpengaruh. Sebagian kaum Muslimin merasa tidak enak jika menyelisihi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di dunia ini, padahal kebiasaan itu salah. Sebagai seorang Muslim kita harus berpegang kepada kebenaran yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya jumlah yang banyak bisa menjadi suatu kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya), “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh.” Dan di sisi lain, dengan jumlah yang banyak, seseorang bisa tertipu dengannya dan dia menyangka bahwa dia tidak akan terkalahkan dan pasti menang. Ini juga termasuk sebab dari kesesatan. Dan jumlah yang banyak jika kita lihat kepada sebagian besar penduduk bumi, maka kebanyakan mereka sesat dan janganlah kamu tertipu dengan mereka. Janganlah kamu katakan, ‘Sesungguhnya manusia telah berpegang pada ini, bagaimana mungkin saya menyelisihi mereka?”[4]

Pesan yang sangat indah disampaikan oleh Imam al-Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah,, beliau pernah mengatakan, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan sedikitnya orang yang mengikutinya tidak akan berbahaya bagimu. Jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya jumlah orang yang binasa (terjerumus di sana).”[5].

✒️AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN LAFAZ DI ATAS

Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi ini, di antaranya adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya- [Yûsuf/12:103]

Begitu juga firman Allâh:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allâh, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allâh (dengan sembahan-sembahan lain). [Yûsuf/12:106]

Dan juga firman-Nya:

وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَىٰ أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا

Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (nya) [Al-Isra’/17:89].

Dan juga firman-Nya:

وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ ۖ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik [Al-A’râf/7:102].

Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa Allâh Azza wa Jalla mensifati sebagian besar manusia di muka bumi ini dengan sifat: sesat, kafir (ingkar), syirik dan fasik, serta tidak beriman kepada Allâh Azza wa Jalla.

✒️TIDAK BOLEH TERTIPU DENGAN JUMLAH YANG BANYAK

Di antara para Nabi ada yang memiliki pengikut hanya satu atau dua orang, karena kebanyakan manusia pada saat itu berada dalam kesesatan. Pengikut nabi tersebut meskipun hanya sedikit jumlahnya,  mereka tidak tertipu dengan banyaknya manusia yang berada dalam kesesatan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَجَعَلَ يَمُرُّ النَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلُ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ

Ditunjukkan kepadaku umat-umat. Kemudian lewatlah seorang nabi bersama satu orang (pengikut), seorang Nabi bersama dua orang (pengikut) dan seorang Nabi bersama beberapa orang dan seorang Nabi yang lewat tidak bersama siapa pun …. [6].

Firman Allâh ta’ala:

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Bahkan tujuan mereka adalah mengikuti prasangka yang tidak mengandung kebenaran. Mereka hanya mengira-ngira dalam berbicara tentang Allâh Azza wa Jalla dalam masalah yang tidak mereka ketahui. Jika seperti ini keadaannya, maka sangat wajar, jika Allâh Azza wa Jalla memperingatkan para hamba-Nya dari keburukan tersebut dan menjelaskan keadaan mereka. Meskipun yang diajak bicara pada ayat ini adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (namun) sesungguhnya umatnya mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh hukum yang tidak dikekhususkan buat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[7].

Dengan demikian kita mengetahui bahwa orang-orang kafir berada dalam kesesatan karena dalam beragama mereka hanya mengikuti prasangka dan mengira-ngira akan suatu kebenaran sehingga mereka harus membuat kedustaan demi kedustaan atas nama Allâh Azza wa Jalla.

✒️AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN AYAT INI

Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa mereka hanya beragama dengan prasangka-prasangka saja. Diantaranya firman Allâh Azza wa Jalla :

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۚ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ ۚ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا

Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, ‘Isa putra Maryam, Rasul Allâh’. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang orang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa.” [An-Nisâ/4:157].

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

Orang-orang yang mempersekutukan Rabb akan mengatakan, ‘Jika Allâh menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kalian mengemukakannya kepada Kami?’ Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’âm/6:148].

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [Yûnus/10:36]

📝Dengan demikian kita dapat memahami bahwa mereka beragama hanya dengan prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja.

Firman Allâh Azza wa Jalla:

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “… Dan Allâh Azza wa Jalla yang memberi petunjuk dan wajib bagi kalian -wahai orang-orang yang beriman- untuk mengikuti semua nasihat juga perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Karena Allâh lebih tahu tentang hal-hal yang mendatangkan kebaikan buat kalian dan Allâh Azza wa Jalla lebih sayang kepada kalian daripada rasa sayang kalian terhadap diri kalian sendiri. Ayat ini menunjukkan agar seseorang tidak menjadikan banyaknya pengikut sebagai indikasi kebenaran, dan juga tidak mengidentikkan ketidakbenaran sesuatu dengan melihat jumlah pengikutnya yang sedikit. Bahkan kenyataannya berbeda dengan hal tersebut, justru para pengikut kebenaran itu jumlahnya lebih sedikit, namun mereka lebih besar kedudukan dan pahalanya di sisi Allâh.”[8].

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa di antara manusia yang sesat dari jalan-Nya. ‘Dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.’ Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Dia lebih mengetahui kelompok-kelompok sesat dan melampaui batas, dan Allâh akan membalas semuanya sesuai haknya.”[9].

✒️KEBENARAN HARUS MEMILIKI BUKTI

Kebenaran itu harus memiliki bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh tertipu dengan jumlah pengikut suatu agama, keyakinan atau aliran tertentu yang banyak. Yang menjadi timbangan kebenaran bukan banyak atau sedikitnya pengikut, namun yang menjadi timbangan adalah kebenaran.

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menghukumi orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang yang sesat dan mereka menyangka bahwa mereka akan masuk ke dalam surga. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.’ Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’ [Al-Baqarah/2:111]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyuruh mereka untuk mendatangkan burhân (bukti), dan mereka tidak bisa mendatangkan bukti itu selama-lamanya. Diantara alasannya adalah kitab-kitab suci mereka, yaitu Taurat dan Injil, telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman dan mereka pun meyakini akan terjadi perubahan tersebut.

📝Oleh karena itu, apabila kita mendapatkan suatu agama, kepercayaan, keyakinan atau aliran tidak bisa mendatangkan bukti akan kebenaran mereka, maka sudah sepantasnya kita tidak mengikuti mereka. Kebenaran adalah apa yang difirmankan oleh Allâh dalam al-Qur’an dan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan prasangka-prasangka dan pendapat-pendapat manusia.

✒️KEBENARAN AKAN MENJADI SUATU YANG ASING

Di zaman sekarang ini, banyak sekali kaum Muslimin yang mengikuti dan meniru-niru orang kafir dan tidak mau mempelajari agama Islam. Akibatnya, banyak sekali kaum Muslimin yang tidak mengenal agama mereka sendiri. Bahkan ketika ada seseorang yang menjalankan ibadah atau berpenampilan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , banyak orang yang mengaku Muslim yang mengejek mereka, bahkan dengan lancang berani mengatakan bahwa orang tersebut adalah orang yang sesat.

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana dia datang, maka beruntunglah orang-orang yang asing tersebut.[10].

Di dalam riwayat lain ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapakah orang-orang asing tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَوْمٌ صَالِحُونَ قَلِيلٌ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ

Mereka adalah orang-orang shalih yang jumlahnya sedikit di antara orang-orang buruk yang jumlahnya banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang menuruti mereka[11]

Mubârak bin Fadhâlah t meriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah , beliau mengatakan, “Seandainya ada seseorang yang mendapati kaum salaf generasi pertama kemudian dia dibangkitkan pada hari ini, maka dia tidak mengenal Islam sedikit pun.” Kemudian beliau meletakkan tangannya di pipinya dan berkata, “Kecuali shalat ini.”[12]

Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari ‘Isa bin Yunus dari Al-Auza’i dari Hibban bin Abi Jabalah dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Seandainya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar kepada kalian pada saat ini, maka beliau tidak mengenal apa-apa yang dulu dikerjakan oleh beliau dan para Sahabatnya kecuali shalat.”

Kemudian al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Bagaimana jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada saat ini?”

‘Isa bin Yunus berkata, “Bagaimana seandainya al-Auza’i mendapatkan zaman sekarang ini?”[13].

Ini adalah perkataan beliau-beliau pada zaman dimana mereka hidup, Bagaimana jika para Ulama itu melihat manusia pada zaman kita sekarang ini?

✒️JIKA DI ANTARA KAUM MUSLIMIN TERSEBAR KEBATILAN DAN KESESATAN

Jika di antara kaum Muslimin tersebar kebatilan dan kesesatan, maka kita tidak boleh mengikuti mereka meskipun jumlah mereka sangat banyak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa kebanyakan kaum Muslimin berada dalam kesesatan sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, ” Orang-orang Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok, orang-orang Nasrani berpecah-belah menjadi 72 kelompok dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 kelompok.”

Dan dalam riwayat Ibnu Majah terdapat tambahan, “Satu kelompok berada di surga dan 72 kelompok berada di neraka.” Beliau pun ditanya, “Siapakah mereka?” Beliau menjawab, “al-Jama’ah.”[14].

📝Ini menunjukkan bahwa kelompok yang sesat jumlahnya banyak sementara kelompok yang benar hanya satu. Akan tetapi, perlu penulis garis bawahi bahwa yang ketujuh puluh dua kelompok yang diancam untuk masuk neraka masih dikategorikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai umatnya. Jika tergolong sebagai umatnya, maka di akhirat mereka tetap berada di bawah kehendak Allâh Azza wa Jalla . Artinya, jika Allâh Azza wa Jalla berkehendak untuk mengadzabnya maka Allâh akan adzab mereka, jika Allâh Azza wa Jalla berkehendak untuk mengampuni mereka, maka mereka akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla .

📝Hal penting yang harus diperhatikan juga adalah kelompok-kelompok menyimpang yang keluar dari agama Islam dan memang bukan Islam tidak dikategorikan sebagai umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut, tetapi dikategorikan sebagai orang-orang kafir.

✒️TIDAK BOLEH MENYELISIHI AL-JAMA’AH?

Sebagian kaum Muslimin menganggap bahwa kita tidak boleh menyelisihi kebanyakan jamaah kaum Muslimin atau sebagian besar kaum Muslimin, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut satu kelompok yang selamat tersebut dengan nama al-jamâ’ah. Maka kita katakan perkataan tersebut tidak benar, karena yang dinamakan dengan al-jamâ’ah yang dimaksud pada hadits tersebut adalah Jamaah kaum Muslimin yang pertama, sebelum terjadi banyak peyimpangan. Adapun setelah kaum Muslimin menyimpang, maka kita tetap harus mengikuti jamaah kaum Muslimin yang pertama dan tidak mengikuti jamaah kaum Muslimin yang menyimpang, meskipun jumlah mereka sangat banyak.

’Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu pernah mengatakan, “Sesungguhnya yang dinamakan al-jamâ’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allâh meskipun engkau sendirian.”[15].

Abu Syâmah rahimahullah mengatakan, “Telah datang perintah untuk berpegang teguh kepada al-jamâ’ah. Yang dimaksud dengannya adalah berpegang teguh dengan kebenaran dan mengikutinya, meskipun orang yang berpegang dengan kebenaran sedikit sementara orang yang menyelisinya banyak. Karena kebenaran adalah yang pernah ditempuh oleh jamaah pertama yang terdiri dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya g dan kita tidak melihat kepada banyaknya jumlah orang-orang yang berada dalam kebatilan setelah mereka.”[16].

✒️KESIMPULAN

Berdasar uraian di atas maka kita bisa simpulkan beberapa hal sebagai berikut:

Kebanyakan manusia di atas muka bumi adalah orang-orang yang menyimpang, sehingga kita tidak boleh mengikuti penyimpangan mereka atau jangan sampai kita tertipu dengan jumlah mereka yang banyak.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan orang-orang yang menyimpang hanya mengikuti prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja dalam beragama dan mereka tidak memiliki burhân (bukti) atas apa yang mereka lakukan.

Kebenaran harus bisa dibuktikan dan dia harus berasal dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sangat sedikit di akhir zaman orang-orang yang memahami kebenaran dan kebenaran tersebut akan terlihat asing oleh orang-orang Islam sendiri.

Kaum Muslimin akan senantiasa mendapatkan petunjuk di jalan yang lurus selama mereka berpegang teguh dengan jamaah kaum Muslimin yang pertama, yaitu jamaah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla senantiasa menunjuki kita ke jalan yang lurus. Amin.

📚DAFTAR PUSTAKA

Aisarut-Tafaasiir li kalaam ‘Aliyil-Kabiir wa bihaamisyihi Nahril-Kahir ‘Ala Aisarit-Tafaasiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Baa’its ‘Ala Inkaaril-Bida’ Wal-Hawaadits. ‘Abdurrahman bin Ismaa’iil Abu Syaamah. Kairo: Darul-Huda.
Al-Intishaar lihizbillaah Al-Muwahhidiin War-Raddu ‘Ala Al-Mujaadil ‘Anil-Musyrikin. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdil-’Aziiz Abaa Bathiin. Tahqiiq: Al-Waliid bin ‘Abdirrahman Al=Furayyaan. Ar-Riyaadh: Dar Thaibah.
Al-I’tishaam. Abu Ishaaq Asy-Syaathibi. Mesir: Al-Maktabah At-Tijaariyah Al-Kubra.
Ma’aalimut-tanziil. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.
Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adzhiim. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
___
📚Footnote
[1] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 415-416

[2] Tafsîr Ibni Katsîr, III/322

[3] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42

[4] Lihat al-Qaulul-Mufîd, I/110

[5] Al-I’tishâm lisy-Syâthibi, I/83

[6] HR. Al-Bukhâri, no. 5752

[7] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42

[8] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42

[9] Tafsir Al-Baghawi III/181

[10] HR. Muslim no. 145/232

[11] HR. ‘Abdullah bin al-Mubârak dalam Musnad Ibni al-Mubârak, no. 23 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 1457. Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih di dalam ash-Shahîhah, no. 1619

[12] Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 92

[13] Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 94

[14] HR. Abu Dâwud, no. 4598 dan Ibnu Majah no. 3992.  Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih dalam ash-Shahîhah, no. 203

[15] HR. Al-Lâlikâ-i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal-jamaah no. 160

[16] Al-Bâ’its ‘Ala Inkâril-Bida’ Wal-Hawâdits.

📗📖.................✍🏻

Share:

RENUNGAN SURAT AL AN 'AM AYAT 116-117

 JIKA BERAGAMA MENGIKUTI KEBANYAKAN ORANG

Oleh: Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA

Dalam beragama,ukuran kebenaran bukan dilihat dari banyaknya manusia/banyaknya pengikut.
Ukuran kebenaran dalam beragama adalah engkau mengikuti DALIL (AL QUR'AN DAN SUNNAH DENGAN PEMAHAMAN SALAFUSSHOLEH)
Allah dalam Al Qur'an tidak pernah MEMUJI banyaknya manusia,,yang ada malah CELAAN.

Allah berfirman:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ﴿١١٦﴾إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

 Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. [Al-An’am/6:116-117].

✒️TAFSIR RINGKAS

Ketahuilah wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya “jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh,” maksudnya seandainya kamu (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) mendengarkan, mengambil dan mengikuti pendapat atau saran-saran mereka, maka mereka akan menyesatkanmu secara nyata dari jalan Allâh Azza wa Jalla . Penyebabnya adalah sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengetahuan dan ilmu yang haq. Seluruh apa yang mereka ucapkan berasal dari hawa nafsu dan bisikan syaitan.

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja.” Sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti perkataan-perkataan yang berasal dari prasangka-prasangka mereka. Tidaklah mereka berbicara kecuali hanya dengan mengira-ngira saja dan berdusta.

“Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.” Cukuplah bagimu pengetahuan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka dan Dia-lah yang Maha Mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapatkan petunjuk.[1]

✒️PENJABARAN AYAT

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh.

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memberikan perintah kepada Nabi-Nya dan perintah ini berlaku juga kepada seluruh pengikutnya. Yaitu perintah agar tidak mengikuti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini. Karena kebanyakan mereka berada dalam kesesatan. Jika seseorang tetap mengikuti mereka, maka ini akan menyebabkannya tersesat dari jalan Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memberitahukan tentang keadaan sebagian besar penduduk bumi dari anak keturunan Adam yang berada dalam kesesatan.”[2].

Kebanyakan manusia tidak mengikuti ajaran yang murni dari Allâh Azza wa Jalla . Ajaran yang mereka anut adalah ajaran-ajaran yang menyimpang, amalan-amalan mereka bercampur dengan hal-hal baru yang mereka ada-adakan sendiri tanpa petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya sebagian besar dari mereka telah menyimpang dalam agama, amalan-amalan dan ilmu-ilmu mereka. Agama-agama mereka telah rusak, amalan-amalan mereka mengikuti hawa nafsu mereka; dan ilmu-ilmu mereka tidak didasarkan atas penelitian untuk mencari kebenaran dan tidak bisa mendapatkan jalan yang lurus.”[3].

Kita tidak bisa menjadikan apa yang dipegang oleh kebanyakan manusia sebagai suatu kebenaran jika mereka berada dalam kesesatan. Gaya hidup menyimpang yang terus berkembang, kemaksiatan dan kesesatan yang terus merajalela, jangan sampai membuat kita tergiur dan terpengaruh. Sebagian kaum Muslimin merasa tidak enak jika menyelisihi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di dunia ini, padahal kebiasaan itu salah. Sebagai seorang Muslim kita harus berpegang kepada kebenaran yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya jumlah yang banyak bisa menjadi suatu kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya), “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh.” Dan di sisi lain, dengan jumlah yang banyak, seseorang bisa tertipu dengannya dan dia menyangka bahwa dia tidak akan terkalahkan dan pasti menang. Ini juga termasuk sebab dari kesesatan. Dan jumlah yang banyak jika kita lihat kepada sebagian besar penduduk bumi, maka kebanyakan mereka sesat dan janganlah kamu tertipu dengan mereka. Janganlah kamu katakan, ‘Sesungguhnya manusia telah berpegang pada ini, bagaimana mungkin saya menyelisihi mereka?”[4]

Pesan yang sangat indah disampaikan oleh Imam al-Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah,, beliau pernah mengatakan, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan sedikitnya orang yang mengikutinya tidak akan berbahaya bagimu. Jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya jumlah orang yang binasa (terjerumus di sana).”[5].

✒️AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN LAFAZ DI ATAS

Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi ini, di antaranya adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya- [Yûsuf/12:103]

Begitu juga firman Allâh:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allâh, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allâh (dengan sembahan-sembahan lain). [Yûsuf/12:106]

Dan juga firman-Nya:

وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَىٰ أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا

Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (nya) [Al-Isra’/17:89].

Dan juga firman-Nya:

وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ ۖ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik [Al-A’râf/7:102].

Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa Allâh Azza wa Jalla mensifati sebagian besar manusia di muka bumi ini dengan sifat: sesat, kafir (ingkar), syirik dan fasik, serta tidak beriman kepada Allâh Azza wa Jalla.

✒️TIDAK BOLEH TERTIPU DENGAN JUMLAH YANG BANYAK

Di antara para Nabi ada yang memiliki pengikut hanya satu atau dua orang, karena kebanyakan manusia pada saat itu berada dalam kesesatan. Pengikut nabi tersebut meskipun hanya sedikit jumlahnya,  mereka tidak tertipu dengan banyaknya manusia yang berada dalam kesesatan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَجَعَلَ يَمُرُّ النَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلُ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ

Ditunjukkan kepadaku umat-umat. Kemudian lewatlah seorang nabi bersama satu orang (pengikut), seorang Nabi bersama dua orang (pengikut) dan seorang Nabi bersama beberapa orang dan seorang Nabi yang lewat tidak bersama siapa pun …. [6].

Firman Allâh ta’ala:

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Bahkan tujuan mereka adalah mengikuti prasangka yang tidak mengandung kebenaran. Mereka hanya mengira-ngira dalam berbicara tentang Allâh Azza wa Jalla dalam masalah yang tidak mereka ketahui. Jika seperti ini keadaannya, maka sangat wajar, jika Allâh Azza wa Jalla memperingatkan para hamba-Nya dari keburukan tersebut dan menjelaskan keadaan mereka. Meskipun yang diajak bicara pada ayat ini adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (namun) sesungguhnya umatnya mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh hukum yang tidak dikekhususkan buat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[7].

Dengan demikian kita mengetahui bahwa orang-orang kafir berada dalam kesesatan karena dalam beragama mereka hanya mengikuti prasangka dan mengira-ngira akan suatu kebenaran sehingga mereka harus membuat kedustaan demi kedustaan atas nama Allâh Azza wa Jalla.

✒️AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN AYAT INI

Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa mereka hanya beragama dengan prasangka-prasangka saja. Diantaranya firman Allâh Azza wa Jalla :

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۚ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ ۚ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا

Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, ‘Isa putra Maryam, Rasul Allâh’. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang orang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa.” [An-Nisâ/4:157].

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

Orang-orang yang mempersekutukan Rabb akan mengatakan, ‘Jika Allâh menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kalian mengemukakannya kepada Kami?’ Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’âm/6:148].

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [Yûnus/10:36]

📝Dengan demikian kita dapat memahami bahwa mereka beragama hanya dengan prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja.

Firman Allâh Azza wa Jalla:

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “… Dan Allâh Azza wa Jalla yang memberi petunjuk dan wajib bagi kalian -wahai orang-orang yang beriman- untuk mengikuti semua nasihat juga perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Karena Allâh lebih tahu tentang hal-hal yang mendatangkan kebaikan buat kalian dan Allâh Azza wa Jalla lebih sayang kepada kalian daripada rasa sayang kalian terhadap diri kalian sendiri. Ayat ini menunjukkan agar seseorang tidak menjadikan banyaknya pengikut sebagai indikasi kebenaran, dan juga tidak mengidentikkan ketidakbenaran sesuatu dengan melihat jumlah pengikutnya yang sedikit. Bahkan kenyataannya berbeda dengan hal tersebut, justru para pengikut kebenaran itu jumlahnya lebih sedikit, namun mereka lebih besar kedudukan dan pahalanya di sisi Allâh.”[8].

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa di antara manusia yang sesat dari jalan-Nya. ‘Dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.’ Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Dia lebih mengetahui kelompok-kelompok sesat dan melampaui batas, dan Allâh akan membalas semuanya sesuai haknya.”[9].

✒️KEBENARAN HARUS MEMILIKI BUKTI

Kebenaran itu harus memiliki bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh tertipu dengan jumlah pengikut suatu agama, keyakinan atau aliran tertentu yang banyak. Yang menjadi timbangan kebenaran bukan banyak atau sedikitnya pengikut, namun yang menjadi timbangan adalah kebenaran.

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menghukumi orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang yang sesat dan mereka menyangka bahwa mereka akan masuk ke dalam surga. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.’ Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’ [Al-Baqarah/2:111]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyuruh mereka untuk mendatangkan burhân (bukti), dan mereka tidak bisa mendatangkan bukti itu selama-lamanya. Diantara alasannya adalah kitab-kitab suci mereka, yaitu Taurat dan Injil, telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman dan mereka pun meyakini akan terjadi perubahan tersebut.

📝Oleh karena itu, apabila kita mendapatkan suatu agama, kepercayaan, keyakinan atau aliran tidak bisa mendatangkan bukti akan kebenaran mereka, maka sudah sepantasnya kita tidak mengikuti mereka. Kebenaran adalah apa yang difirmankan oleh Allâh dalam al-Qur’an dan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan prasangka-prasangka dan pendapat-pendapat manusia.

✒️KEBENARAN AKAN MENJADI SUATU YANG ASING

Di zaman sekarang ini, banyak sekali kaum Muslimin yang mengikuti dan meniru-niru orang kafir dan tidak mau mempelajari agama Islam. Akibatnya, banyak sekali kaum Muslimin yang tidak mengenal agama mereka sendiri. Bahkan ketika ada seseorang yang menjalankan ibadah atau berpenampilan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , banyak orang yang mengaku Muslim yang mengejek mereka, bahkan dengan lancang berani mengatakan bahwa orang tersebut adalah orang yang sesat.

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana dia datang, maka beruntunglah orang-orang yang asing tersebut.[10].

Di dalam riwayat lain ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapakah orang-orang asing tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَوْمٌ صَالِحُونَ قَلِيلٌ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ

Mereka adalah orang-orang shalih yang jumlahnya sedikit di antara orang-orang buruk yang jumlahnya banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang menuruti mereka[11]

Mubârak bin Fadhâlah t meriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah , beliau mengatakan, “Seandainya ada seseorang yang mendapati kaum salaf generasi pertama kemudian dia dibangkitkan pada hari ini, maka dia tidak mengenal Islam sedikit pun.” Kemudian beliau meletakkan tangannya di pipinya dan berkata, “Kecuali shalat ini.”[12]

Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari ‘Isa bin Yunus dari Al-Auza’i dari Hibban bin Abi Jabalah dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Seandainya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar kepada kalian pada saat ini, maka beliau tidak mengenal apa-apa yang dulu dikerjakan oleh beliau dan para Sahabatnya kecuali shalat.”

Kemudian al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Bagaimana jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada saat ini?”

‘Isa bin Yunus berkata, “Bagaimana seandainya al-Auza’i mendapatkan zaman sekarang ini?”[13].

Ini adalah perkataan beliau-beliau pada zaman dimana mereka hidup, Bagaimana jika para Ulama itu melihat manusia pada zaman kita sekarang ini?

✒️JIKA DI ANTARA KAUM MUSLIMIN TERSEBAR KEBATILAN DAN KESESATAN

Jika di antara kaum Muslimin tersebar kebatilan dan kesesatan, maka kita tidak boleh mengikuti mereka meskipun jumlah mereka sangat banyak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa kebanyakan kaum Muslimin berada dalam kesesatan sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, ” Orang-orang Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok, orang-orang Nasrani berpecah-belah menjadi 72 kelompok dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 kelompok.”

Dan dalam riwayat Ibnu Majah terdapat tambahan, “Satu kelompok berada di surga dan 72 kelompok berada di neraka.” Beliau pun ditanya, “Siapakah mereka?” Beliau menjawab, “al-Jama’ah.”[14].

📝Ini menunjukkan bahwa kelompok yang sesat jumlahnya banyak sementara kelompok yang benar hanya satu. Akan tetapi, perlu penulis garis bawahi bahwa yang ketujuh puluh dua kelompok yang diancam untuk masuk neraka masih dikategorikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai umatnya. Jika tergolong sebagai umatnya, maka di akhirat mereka tetap berada di bawah kehendak Allâh Azza wa Jalla . Artinya, jika Allâh Azza wa Jalla berkehendak untuk mengadzabnya maka Allâh akan adzab mereka, jika Allâh Azza wa Jalla berkehendak untuk mengampuni mereka, maka mereka akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla .

📝Hal penting yang harus diperhatikan juga adalah kelompok-kelompok menyimpang yang keluar dari agama Islam dan memang bukan Islam tidak dikategorikan sebagai umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut, tetapi dikategorikan sebagai orang-orang kafir.

✒️TIDAK BOLEH MENYELISIHI AL-JAMA’AH?

Sebagian kaum Muslimin menganggap bahwa kita tidak boleh menyelisihi kebanyakan jamaah kaum Muslimin atau sebagian besar kaum Muslimin, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut satu kelompok yang selamat tersebut dengan nama al-jamâ’ah. Maka kita katakan perkataan tersebut tidak benar, karena yang dinamakan dengan al-jamâ’ah yang dimaksud pada hadits tersebut adalah Jamaah kaum Muslimin yang pertama, sebelum terjadi banyak peyimpangan. Adapun setelah kaum Muslimin menyimpang, maka kita tetap harus mengikuti jamaah kaum Muslimin yang pertama dan tidak mengikuti jamaah kaum Muslimin yang menyimpang, meskipun jumlah mereka sangat banyak.

’Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu pernah mengatakan, “Sesungguhnya yang dinamakan al-jamâ’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allâh meskipun engkau sendirian.”[15].

Abu Syâmah rahimahullah mengatakan, “Telah datang perintah untuk berpegang teguh kepada al-jamâ’ah. Yang dimaksud dengannya adalah berpegang teguh dengan kebenaran dan mengikutinya, meskipun orang yang berpegang dengan kebenaran sedikit sementara orang yang menyelisinya banyak. Karena kebenaran adalah yang pernah ditempuh oleh jamaah pertama yang terdiri dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya g dan kita tidak melihat kepada banyaknya jumlah orang-orang yang berada dalam kebatilan setelah mereka.”[16].

✒️KESIMPULAN

Berdasar uraian di atas maka kita bisa simpulkan beberapa hal sebagai berikut:

Kebanyakan manusia di atas muka bumi adalah orang-orang yang menyimpang, sehingga kita tidak boleh mengikuti penyimpangan mereka atau jangan sampai kita tertipu dengan jumlah mereka yang banyak.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan orang-orang yang menyimpang hanya mengikuti prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja dalam beragama dan mereka tidak memiliki burhân (bukti) atas apa yang mereka lakukan.

Kebenaran harus bisa dibuktikan dan dia harus berasal dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sangat sedikit di akhir zaman orang-orang yang memahami kebenaran dan kebenaran tersebut akan terlihat asing oleh orang-orang Islam sendiri.

Kaum Muslimin akan senantiasa mendapatkan petunjuk di jalan yang lurus selama mereka berpegang teguh dengan jamaah kaum Muslimin yang pertama, yaitu jamaah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla senantiasa menunjuki kita ke jalan yang lurus. Amin.

📚DAFTAR PUSTAKA

Aisarut-Tafaasiir li kalaam ‘Aliyil-Kabiir wa bihaamisyihi Nahril-Kahir ‘Ala Aisarit-Tafaasiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
Al-Baa’its ‘Ala Inkaaril-Bida’ Wal-Hawaadits. ‘Abdurrahman bin Ismaa’iil Abu Syaamah. Kairo: Darul-Huda.
Al-Intishaar lihizbillaah Al-Muwahhidiin War-Raddu ‘Ala Al-Mujaadil ‘Anil-Musyrikin. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdil-’Aziiz Abaa Bathiin. Tahqiiq: Al-Waliid bin ‘Abdirrahman Al=Furayyaan. Ar-Riyaadh: Dar Thaibah.
Al-I’tishaam. Abu Ishaaq Asy-Syaathibi. Mesir: Al-Maktabah At-Tijaariyah Al-Kubra.
Ma’aalimut-tanziil. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.
Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adzhiim. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
___
📚Footnote
[1] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 415-416

[2] Tafsîr Ibni Katsîr, III/322

[3] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42

[4] Lihat al-Qaulul-Mufîd, I/110

[5] Al-I’tishâm lisy-Syâthibi, I/83

[6] HR. Al-Bukhâri, no. 5752

[7] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42

[8] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42

[9] Tafsir Al-Baghawi III/181

[10] HR. Muslim no. 145/232

[11] HR. ‘Abdullah bin al-Mubârak dalam Musnad Ibni al-Mubârak, no. 23 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 1457. Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih di dalam ash-Shahîhah, no. 1619

[12] Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 92

[13] Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 94

[14] HR. Abu Dâwud, no. 4598 dan Ibnu Majah no. 3992.  Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih dalam ash-Shahîhah, no. 203

[15] HR. Al-Lâlikâ-i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal-jamaah no. 160

[16] Al-Bâ’its ‘Ala Inkâril-Bida’ Wal-Hawâdits.

📗📖.................✍🏻

Share:

Keutamaan Membaca Dua Ayat Terakhir Surat Al Baqarah pada Waktu Malam

 10 Fakta Aneh Tentang Padang Pasir Yang Mesti Lo Tau - Cerpin
 
Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada waktu malam, maka ia akan diberi kecukupan. Sebagian ulama ada yang mengatakan, ia dijauhkan dari gangguan setan. Ada juga yang mengatakan, ia dijauhkan dari penyakit. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa dua ayat tersebut sudah mencukupi dari shalat malam. Benarkah?

Dua ayat tersebut,

Allah Ta’ala berfirman,

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)

Disebutkan dalam hadits dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِى لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ

“Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka ia akan diberi kecukupan.” (HR. Bukhari no. 5009 dan Muslim no. 808)

Hadits di atas menunjukkan tentang keutamaan dua ayat terakhir surat Al-Baqarah.

Para ulama menyebutkan bahwa siapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, maka Allah akan memberikan kecukupan baginya untuk urusan dunia dan akhiratnya, juga ia akan dijauhkan dari kejelekan. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa dengan membaca ayat tersebut imannya akan diperbaharui karena di dalam ayat tersebut ada sikap pasrah kepada Allah Ta’ala. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ayat tersebut bisa sebagai pengganti dari berbagai dzikir karena di dalamnya sudah terdapat do’a untuk meminta kebaikan dunia dan akhirat. Lihat bahasan Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dalam Nuzhah Al-Muttaqin, hal. 400-401.

Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Al-Qur’an. Atau bisa pula maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan pada Allah dan berisi pula do’a kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Mu’allim, 3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83).

Imam Nawawi sendiri menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya –menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit. Semua makna tersebut kata Imam Nawawi bisa memaknai maksud hadits. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 83-84.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan dua ayat tersebut ketika dibaca di malam hari, “Ketahuilah para ikhwan sekalian, kedua ayat ini jika dibaca di malam hari, maka akan diberi kecukupan. Yang dimaksud diberi kecukupan di sini adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam do’a karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.” (Ahkam Al-Qur’an Al-Karim, 2: 540-541).

Semoga bisa mengamalkan untuk membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah ini mulai dari malam ini. Semoga kita meraih kebaikan dan keberkahan. Semoga Allah memberi taufik.

 
Referensi:

Ahkam Al-Qur’an Al Karim. Cetakan pertama tahun 1428 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan.

Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Kunuz Riyadhis Sholihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Prof. Dr. Hamad bin Nashir bin ‘Abdurrahman Al-‘Ammar. Penerbit Dar Kunuz Isybiliyya.

Nuzhah Al-Muttaqin. Cetakan pertama tahun 1432 H. Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dkk. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.



Selesai disusun 17:00 di Darush Sholihin Girisekar Panggang Gunungkidul, 2 Sya’ban 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Sumber https://rumaysho.com/11085-keutamaan-membaca-dua-ayat-terakhir-surat-al-baqarah-pada-waktu-malam.html

Share:

TAFSIR AYAT KURSI

Bacaan Ayat Kursi beserta terjemahannya, bisa jadi pengusir setan

Keutamaan Ayat Kursi:
Semua surat dalam Al-Qur’an adalah surat yang agung dan mulia. Demikian juga seluruh ayat yang dikandungnya. Namun, Allah ta’ala dengan kehendak dan kebijaksanaanNya menjadikan sebagian surat dan ayat lebih agung dari sebagian yang lain. Surat yang paling agung adalah surat al-Fatihah, sedangkan ayat yang paling agung adalah ayat kursi, yaitu di surat Al-Baqarah, ayat 255. Yang akan kita pelajari bersama dalam kesempatan ini adalah ayat kursi.

Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

“Wahai Abul Mundzir (gelar kunyah Ubay), tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Beliau berkata, “Wahai Abul Mundzir, Tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”

Aku pun menjawab,

اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ

Maka beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah, selamat atas ilmu (yang diberikan Allah kepadamu) wahai Abul Mundzir.” (HR. Muslim no. 810).
.
Dalam kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, disebutkan bahwa setan tersebut berkata,

“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”

Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,

“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)

Dalam kisah lain yang mirip dengan kisah di atas dan diriwayatkan Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa si jin mengatakan:

مَنْ قَالَهَا حِينَ يُمْسِي أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُصْبِحَ ، وَمَنْ قَالَهَا حِينَ يُصْبِحُ أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُمْسِيَ

“Barangsiapa membacanya ketika sore, ia akan dilindungi dari kami sampai pagi. Barangsiapa membacanya ketika pagi, ia akan dilindungi sampai sore.” (HR. ath-Thabrani no. 541, dan al-Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus).

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ، إِلا الْمَوْتُ

“Barangsiapa membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib, tidak ada yang menghalanginya dari masuk surga selain kematian.” (HR. ath-Thabrani no. 7532, dihukumi shahih oleh al-Albani).

Disunnahkan membaca ayat ini setiap (1) selesai shalat wajib, (2) pada dzikir pagi dan sore, (3) juga sebelum tidur.

Tafsir Ayat Kursi :

اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ

“Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia Yang hidup kekal serta terus menerus mengurus (makhluk).”

Allah adalah nama yang paling agung milik Allah ta’ala. Allah mengawali ayat ini dengan menegaskan kalimat tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam dan seluruh syariat sebelumnya. Maknanya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Konsekuensinya tidak boleh memberikan ibadah apapun kepada selain Allah.

Al-Hayyu dan al-Qayyum adalah dua di antara al-Asma’ al-Husna yang Allah miliki. Al-Hayyu artinya Yang hidup dengan sendirinya dan selamanya. Al-Qayyum berarti bahwa semua membutuhkan-Nya dan semua tidak bisa berdiri tanpa Dia. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan bahwa kedua nama ini menunjukkan seluruh al-Asma’ al-Husna yang lain.

Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Hayyul Qayyum adalah nama yang paling agung. Pendapat ini dan yang sebelumnya adalah yang terkuat dalam masalah apakah nama Allah yang paling agung, dan semua nama ini ada di ayat kursi.

لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ

“Dia Tidak mengantuk dan tidak tidur.”

Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Dia selalu menyaksikan dan mengawasi segala sesuatu. Tidak ada yang tersembunyi darinya, dan Dia tidak lalai terhadap hamba-hamba-Nya.

Allah mendahulukan penyebutan kantuk, karena biasanya kantuk terjadi sebelum tidur.

Barangkali ada yang mengatakan, “Menafikan kantuk saja sudah cukup sehingga tidak perlu menyebut tidak tidur; karena jika mengantuk saja tidak, apalagi tidur.”

Akan tetapi, Allah menyebut keduanya, karena bisa jadi (1) orang tidur tanpa mengantuk terlebih dahulu, dan (2) orang bisa menahan kantuk, tetapi tidak bisa menahan tidur. Jadi, menafikan kantuk tidak berarti otomatis menafikan tidur.

لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ

“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”

Semesta alam ini adalah hamba dan kepunyaan Allah, serta di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang bisa menjalankan suatu kehendak kecuali dengan kehendak Allah.

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”

Memberi syafaat maksudnya menjadi perantara bagi orang lain dalam mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya. Inti syafaat di sisi Allah adalah doa. Orang yang mengharapkan syafaat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berarti mengharapkan agar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendoakannya di sisi Allah. Ada syafaat yang khusus untuk Nabi Muhammad, seperti syafaat untuk dimulainya hisab di akhirat, dan syafaat bagi penghuni surga agar pintu surga dibukakan untuk mereka. Ada yang tidak khusus untuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seperti syafaat bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak dimasukkan ke dalamnya, dan syafaat agar terangkat ke derajat yang lebih tinggi di surga.

Jadi, seorang muslim bisa memberikan syafaat untuk orang tua, anak, saudara atau sahabatnya di akhirat. Akan tetapi, syafaat hanya diberikan kepada orang yang beriman dan meninggal dalam keadaan iman. Disyaratkan dua hal untuk mendapatkannya, yaitu:

1. Izin Allah untuk orang yang memberi syafaat.
2. Ridha Allah untuk orang yang diberi syafaat.

Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meminta syafaat kecuali kepada Allah. Selain berdoa, hendaknya kita mewujudkan syarat mendapat syafaat; dengan meraih ridha Allah. Tentunya dengan menaatiNya menjalankan perintahNya semampu kita, dan meninggalkan semua laranganNya.

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ


“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”
Ini adalah dalil bahwa ilmu Allah meliputi seluruh makhluk, baik yang ada pada masa lampau, sekarang maupun yang akan datang. Allah mengetahui apa yang telah, sedang, dan yang akan terjadi, bahkan hal yang ditakdirkan tidak ada, bagaimana wujudnya seandainya ada. Ilmu Allah sangat sempurna.

وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ

“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang dikehendaki-Nya.”

Tidak ada yang mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah ajarkan. Demikian pula ilmu tentang dzat dan sifat-sifat Allah. Kita tidak punya jalan untuk menetapkan suatu nama atau sifat, kecuali yang Dia kehendaki untuk ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadits.

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:

الكُرْسيُّ مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ

“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim no. 3116, di hukumi shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)

Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat seperti ini sebagaimana ditetapkan Allah dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sesuai dengan kegungan dan kemuliaan Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk.

Ayat ini menunjukkan besarnya kursi Allah dan besarnya Allah. Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْع مَعَ الكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْض فَلاَةٍ

“Tidaklah langit yang tujuh dibanding kursi kecuali laksana lingkaran anting yang diletakkan di tanah lapang.” (HR. Ibnu Hibban no.361, dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)

وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا

“Dan Allah tidak terberati  pemeliharaan keduanya.”

Seorang ibu, tentu merasakan betapa lelahnya mengurus rumah sendirian. Demikian juga seorang kepala desa, camat, bupati, gubernur atau presiden dalam mengurus wilayah yang mereka pimpin. Namun, tidak demikian dengan Allah yang Maha Kuat. Pemeliharaan langit dan bumi beserta isinya sangat ringan bagi-Nya. Segala sesuatu menjadi kerdil dan sederhana di depan Allah.

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Allah memiliki kedudukan yang tinggi, dan dzat-Nya berada di ketinggian, yaitu di atas langit (di atas singgasana). Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan: “Di mana Allah?”

Ia menjawab, “Di langit.”

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapa saya?”

Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”

Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada majikannya (majikan budak perempuan tersebut -ed), “Bebaskanlah ia, karena sungguh dia beriman!” (HR. Muslim no. 537)

Jelaslah bahwa keyakinan sebagian orang bahwa Allah ada dimana-mana bertentangan dengan Al-Qur’an dan al-Hadits.

Demikian pula Allah memiliki kedudukan yang agung dan dzatnya juga agung sebagaimana ditunjukkan oleh keagungan kursiNya dalam ayat ini.

Kesimpulan:
1. Semua ayat Al-Qur’an agung. Adapun ayat yang paling agung adalah ayat kursi.
2. Disunnahkan untuk membaca ayat ini setiap selesai shalat wajib, pada dzikir pagi dan sore, dan sebelum tidur.
3. Penegasan kalimat tauhid.
4. Arti al-Hayyu dan al-Qayyum yang menunjukkan seluruh nama Allah yang lain.
5. Semua bentuk kekurangan harus dinafikan dari Allah.
6. Arti syafaat dan syarat memperolehnya.
7. Ilmu Allah sangat sempurna.
8. Kita hanya menetapkan untuk Allah nama dan sifat yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya sesuai dengan keagungan dan kemuliaanNya, tanpa menyerupakannya dengan nama dan sifat makhluk.
9. Arti dan keagungan kursi Allah.
10. Ketinggian dan keagungan Allah dalam dzat dan kedudukan.
11. Kesalahan orang yang mengatakan Allah ada di mana-mana.
12. Penetapan banyak nama dan sifat Allah yang menunjukkan kemuliaan dan kesempurnaan-Nya.

Wallahu a’lam.

Referensi:
1. Al-Quran dan  Terjemahnya
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Fathul Qadir, asy-Syaukani
4. Taysirul Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’di
5. Shahih al-Bukhari
6. Shahih Muslim
7. Al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabrani
8. al-Mustadrak, al-Hakim.
9. Shahih Ibnu Hibban
10. Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani
11. Silsilah Ahadits Shahihah, al-Albani
12. Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan
13. Fiqhul Asma’il Husna, Abdurrazzaq al-Badr
14. Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuzabadi

Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata: “…tiada kehidupan untuk hati, tidak ada kesenangan dan ketenangan baginya, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintai-Nya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya tanpa yang lain…” (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah).

*

Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.
Disalin dari https://muslim.or.id/1303-tafsir-ayat-kursi.html

Wallahu a’lam

Share:

TAFSIR SURAT AL AHZAB AYAT 66

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا * وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا * رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا *

Hasil gambar untuk penyesalan orang kafir“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: ‘Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul’. Dan mereka berkata: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). ‘Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar’.”
.
Tafsir Ayat :
Imam Ath-Thabari –rahimahullahu Ta’ala- berkata, “Orang-orang kafir ketika disiksa dalam neraka Jahannam pada hari kiamat akan berkata, ‘Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin kami dalam kesesatan dan kami juga telah mentaati pembesar-pembesar kami dalam kesyirikan, maka mereka menyesatkan kami dari jalan-Mu yang lurus. Yakni mereka telah menyimpangkan kami dari jalan hidayah, dan jalan keimanan kepada-Mu, yakni menyesatkan kami dari mengakui ke Esaan-Mu, dan mengikhlaskan diri kami dalam mentaati-Mu di dunia. Karena mereka telah menyesatkan kami, maka kami memohon kepada-Mu ya Allah, untuk memberikan adzab dua kali lipat kepada mereka, dan laknatlah mereka dengan sebesar-besar laknat.” (Tafsir Ath-Thabari : 5/427)
.
Imam Ibnu Katsir –rahimahullahu Ta’ala- berkata, “Ayat ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, ‘Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya (yakni menyesali perbuatannya), seraya berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul’. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang kepadaku dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia’.” (QS. Al-Furqan : 27-29). Yang dimaksud dengan ‘si fulan’ dalam ayat ini adalah syaitan atau para pemimpin mereka yang telah menyesatkan mereka. Yakni mereka akan berkata, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya kami lebih memilih untuk mentaati para pemimpin dan pembesar kami dalam kesesatan ketimbang memilih untuk mentaati para Rasul-Mu dalam jalan hidayah dan keselamatan’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/427)
.
Banyak kaum muslimin yang telah lupa dengan ayat ini. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa ayat ini khusus untuk orang-orang kafir. Padahal tidak sebagaimana mereka sangkakan. Ayat diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai pelajaran dan renungan bagi umatnya, agar jangan sampai mereka keliru dalam memilih seorang pemimpin dan keliru dalam mentaatinya. Karena orang-orang kuffar akan dimasukkan oleh Allah Subahanahu wa Ta’ala ke dalam neraka, lantaran mereka telah mentaati para pemimpin dan ahli-ahli agama mereka dalam rangka mengkufuri Allah dan Rasul-Nya. Dan sekali-kali para pemimpin dan pemuka agama mereka tidak akan bisa menyelamatkan diri mereka sedikitpun dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat. Dan tidak ada gunanya penyesalan di hari kiamat. Wal Iyadzu billah.
.
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan :
Dari shahabat Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengirim sebuah pasukan, dan mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai komandan. (Di pertengahan jalan) komandan pasukan tersebut menyalakan api, kemudian memerintahkan pasukannya untuk masuk ke dalam api tersebut. Maka sebagian pasukan ingin masuk ke dalam api tersebut dalam rangka mentaati perintah sang komandan, namun sebagian yang lain mengatakan, mari kita melarikan diri. Kemudian peristiwa tersebut diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau bersabda kepada pasukan yang ingin masuk ke dalam api tersebut, ‘Sekiranya mereka masuk ke dalam api tersebut, maka mereka akan terus-menerus dalam kobaran api tersebut hingga hari kiamat.’ Dan beliau bersabda kepada pasukan yang melarikan diri, ‘Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sesungguhnya ketaatan hanya pada hal-hal yang ma’ruf’.” (HR. Al-Bukhari : 7257)
.
Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan umatnya, bahwa mentaati pemimpin dan pembesar kaum dalam rangka bermaksiat kepada Allah, akan menggiring mereka ke dalam neraka-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala, wal ‘iyadzu billah. Sehingga Rasulullah menegaskan bahwa ketaatan kepada makhluk hanya boleh dalam hal-hal yang ma’ruf.
.

Diposting oleh Jamaah As-Sunnah Buntok di Kamis, Agustus 07, 2014 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Tafsir QS. Al-Ahzab : 66-68

 

Share:

MAKA BERTASBIHLAH

 Bismillaah

Ensiklopedia Islam – Alam Pun Bertasbih

↪ Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِيْ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

Barangsiapa yang membaca: SUBHÂNALLÂH WABIHAMDIH   “Maha Suci Allah dan aku” dalam sehari seratus kali, maka kesalahannya dihapus sekalipun seperti buih air laut.” (HR. Muslim, no. 2691).

↪ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ زَادَ عَلَيْهِ

“Barang siapa yang ketika pagi dan sore membaca: SUBHÂNALLÂHI WABIHAMDIH (Maha suci Allah dan dengan segala pujian hanya untuk-Nya) sebanyak 100 (seratus) kali, maka pada hari kiamat tidak ada seorangpun yang
akan mendatangkan amalan yang lebih utama daripada apa yang dia datangkan. Kecuali orang yang juga mengucapkan bacaan seperti itu atau lebih dari itu” (HR. Muslim no. 2692).

↪ Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيْلَتَانِ فِي الْمِيْزَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَـانِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ

“Dua kalimat yang ringan di lidah, pahalanya berat di timbangan (hari Kiamat) dan disenangi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih, adalah: Subhaanallaah wabi-hamdih, subhaanallaahil ‘azhiim” (HR. Muslim, no. 2694).

↪ Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لأَنْ أَقُوْلَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ

“Sungguh, apabila aku membaca: ‘Subhaanallah walhamdulillaah walaa ilaaha illallaah wallaahu akbar’. Adalah lebih senang bagiku dari apa yang disinari oleh matahari terbit” (HR. Muslim, no. 2695).

↪ Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh Radhiallahu’anhu, beliau berkata: “Kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu beliau bertanya:

أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكْسِبَ، كُلَّ يَوْمٍ أَلْفَ حَسَنَةٍ؟» فَسَأَلَهُ سَائِلٌ مِنْ جُلَسَائِهِ: كَيْفَ يَكْسِبُ أَحَدُنَا أَلْفَ حَسَنَةٍ؟ قَالَ: «يُسَبِّحُ مِائَةَ تَسْبِيحَةٍ، فَيُكْتَبُ لَهُ أَلْفُ حَسَنَةٍ، أَوْ يُحَطُّ عَنْهُ أَلْفُ خَطِيئَةٍ

“Apakah seseorang di antara kamu tidak mampu mendapatkan seribu kebaikan tiap hari?”. Salah seorang di antara yang duduk bertanya: “Bagaimana di antara kita bisa memperoleh seribu kebaikan (dalam sehari)?” Rasul bersabda: “Hendaklah dia membaca seratus tasbih, maka ditulis seribu kebaikan baginya atau seribu kejelekannya dihapus” (HR. Muslim, no. 2698).

↪ Dari Jabir Radhiallahu’anhu, Nabi Sholallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang membaca: Subhaanallaahi ‘azhiim wabihamdih, maka ditanam untuknya sebatang pohon kurma di Surga” (HR. At-Tirmidzi, no. 3464).

✔ Semoga Alloh ta’aala memudahkan kita untuk selalu istiqomah dalam mengamalkan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Baarokallohufiikum…

sumber: https://www.alquran-sunnah.com/artikel/buku-islam/270-my-islam/media-sosial/950-maka-bertasbihlah.html

Via HijrahApp

Share:

RENUNGAN SURAT AL AN'AAM AYAT 82

 Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah, Apa Perbedaannya? | kumparan.com

TAUHID SEBAB HIDAYAH DAN RASA AMAN

Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82).

Ketika turun ayat tersebut, para sahabat pun menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata,

أَيُّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ

“Siapa yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata,

لَيْسَ هُوَ كَمَا تَظُنُّونَ إِنَّمَا هُوَ كَمَا قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ يَا بُنَىَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Itu bukan seperti yang kalian sangkakan. Yang dimaksud dengan zalim di situ adalah seperti perkataan Lukman kepada anaknya, “Wahai anakku, janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah karena syirik adalah kezaliman yang amat besar.“ (HR. Bukhari, no. 4776 dan Muslim, no. 124).

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan tentang surah Al-An’am ayat 82, “Mereka adalah orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah, tidak berbuat syirik kepada-Nya. Mereka tidak berbuat syirik sedikit pun. Balasannya, mereka mendapatkan rasa aman pada hari kiamat dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:569)

Sumber https://rumaysho.com/18082-tsalatsatul-ushul-pentingnya-belajar-tauhid.html

Semoga bermanfaat

Share:

RENUNGAN SURAT FAATHIR AYAT 14 DAN 22

 SalamDakwah | Aktual : Hal-Hal Yang Menakutkan Di Alam Kubur

Apakah Mayit bisa mendengar seruan Manusia ??

Jawabnya, TIDAK‼️

Karena pada dasarnya mayit baik yang shalih atau yang tidak shalih, mereka tidak mendengar perkataan atau seruan manusia, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu ; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang maha Mengetahui”. [QS. Fathir : 14]

Begitu juga firmanNya Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” [Fathir : 22]

Dan masih banyak lagi ayat dan hadits lainnya yang senada.

Namun demikian, terkadang Allah memperdengarkan kepada mayit suara dari salah satu RasulNya untuk suatu hikmah tertentu, seperti Allah memperdengarkan suara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang kafir yang terbunuh di perang Badar, sebagai penghinaan dan penistaan untuk mereka serta kemuliaan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada para sahabatnya ketika sebagian mereka mengingkari hal tersebut.

“Tidaklah kalian lebih mendengar apa yang aku katakan daripada mereka, akan tetapi mereka tidak mampu menjawab”.[Hadits Riwayat Ahmad dan ini lafalnya- (I/27 : III/104, 182, 263 dan 287), Bukhari II/101 dan Nasa-i IV/110]

[Lihat pembahasan ini di kitab An-Nubuwat, kitab At-Tawassul Wa-al-Wasilah dan kitab Al-Furqan, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Maka kitab-kitab tersebut cukup memadai dalam mengupas pembahasan ini]

Begitu juga mayat yang mendengar suara langkah orang yang mengantarnya (ketika berjalan meninggalkan kuburnya) setelah dia dikubur, maka itu adalah pendengaran khusus yang ditetapkan oleh nash (dalil), tidak lebih dari itu (tidak lebih dari sekedar mendengar suara terompah mereka), karena hal itu diperkecualikan dari dalil-dalil yang umum yang menunjukkan bahwa orang yang meninggal tidak bisa mendengar (suara orang yang masih hidup), sebagaimana yang telah lalu.[Referensi : Majalah Fatawa edisi 7/I/ 1424H].

Selain itu, mati itu seperti tidur. Bahkan para ulama mengatakan bahwa tidur adalah Al Wafaat Ash Shughra (kematian kecil) sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Dan Allah-lah yang mewafatkan (menidurkan) kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari” (QS. Al An’am: 60)

Dan kita tahu bahwa orang yang tidur tidak bisa mendengar orang berbicara padanya, maka orang mati tentu lebih tidak bisa lagi‼️

Belum lagi banyak dalil larangan & celaan meminta pada mayit ataupun beribadah di kuburan, sebagaimana juga orang-orang musyrik jaman jahiliyyah yang menjadikan kuburan-kuburan orang shalih sebagai berhala.

Firman Allah Ta'ala,
"Beritahukan kepadaku (hai orang-orang musyrik) tentang al-Lata dan al-Uzza, dan Manat yang ketiga, yang lain itu?" [An-Najm/53: 19-20]

Ketiga nama dalam ayat tsb adalah Tuhan-Tuhan atau berhala yang disembah oleh orang-orang Arab jahiliyah. Dan ternyata berhala-berhala tsb adalah kuburan.

Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma tentang firman Allâh Azza wa Jalla “al-Lâta dan al-Uzza” (An-Najm/53:19), beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Dahulu al-Lâta adalah seorang laki-laki yang membuat adonan tepung untuk orang yang berhaji”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4859].

Beribadah & ataupun menjadikan mayit/kuburan sebagian perantara do'a tidak hanya dicela oleh Allah dan RasulNya, amalan tanpa tuntunan dari Rasulullah juga adalah hal yang sia sia, sudah berletih dan susah payah namun tak ada manfaatnya, jangankan pahala, bahkan justru menyebabkan siksa dan celaka.

Ibnul Qoyyim rahimahullah (dalam al Fawaid) berkata :
"Amalan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya MEMBERATKAN, namun tidak membawa manfaat apa-apa"

Jelaslah sudah bahwa mayit tak bisa mendengar para penyerunya. Lantas bagaimana mereka yang bertawassul pada penghuni kuburan?? Bahkan sampe ada yang ngobrol dengan kuburan. Subhanallah..

Darimana keyakinan bahwa permintaan mereka akan sampai, sedangkan mayit yang dijadikan PERANTARA saja tak bisa mendengar permintaan mereka??

Dan andaikan bisa mendengar pun, mereka tak bisa berbuat apa apa‼️

◾ Seandainya mayit dapat dipanggil (diseru), maka panggillah arwah para Nabi dan semua para syuhada serta panglima-panglima perang Islam yang telah wafat untuk datang membantu menumpas orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin

◾ Seandainya orang yang sudah wafat bisa membantu, maka pastilah arwah orang tua kita yang sudah meninggal akan membantu kita dalam kesulitan, mereka pasti akan berusaha sekuat tenaga keluar dari alam barzakh, tidaklah mungkin mereka tega melihat anak cucunya menderita


Wallahu Ta'ala A'lam Bish-showaab..
Semoga bermanfaat

Share:

BALASAN BAGI PARA PELAKU BID’AH

Waspada... !! Akibat Bid'ah Menurut Pandangan Islam | kumparan.com
Sungguh rugi di dunia dan di akhirat bagi para pelaku bid’ah. Di dunia rugi karena mereka melakukan amalan-amalan bid’ahnya tidak terlepas dari pengorbanan waktu dan tenaga bahkan biaya yang tidak sedikit yang mereka keluarkan untuk membiayai acara-acara bid’ah mereka. Padahal apabila biaya yang mereka keluarkan digunakan untuk membiayai syi’ar Islam yang di syari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka tentu saja mereka akan mendapatkan keuntungan berupa balasan pahala. Selain rugi di dunia, mereka juga akan mengalami kerugian di akhirat kelak, karena mereka telah melakukan kesesatan dalam agama. Mereka mendekatkan diri (taqorrub ilallah) dengan cara-cara yang tidak di syari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
.
Manusia yang berakal ketika beribadah kepada Allah Ta’ala yang di harapkan tentu saja adalah balasan pahala yang melimpah. Tidak ada orang yang beribadah menghendaki kesia-sia’an. Oleh karena itu hendaklah manusia beribadah sesuai dengan yang di syari’atkan. Tidak membuat-buat syari’at baru yang tidak di ajarkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Karena apabila beribadah dengan cara-cara yang tidak di syari’atkan, maka bukan pahala yang akan di peroleh tapi justru akan mendapatkan kerugian. Amalan mereka para pelaku bid’ah akan tertolak. Sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan :
.
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
.
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak“. (H.R al-Bukhari dan Muslim).
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak”. (H.R Muslim).
.
Dan lebih dari itu, selain amalan mereka di tolak juga akan mendapatkan adzab neraka sebagai akibat dari kesesatannya.
.
• Akibat Buruk dari Bid’ah
.
Dalam beberapa kesempatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya untuk tidak berbuat bid’ah. Karena bid’ah adalah kesesatan.
.
Diantara peringatannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
.
“Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat”. (HR. Muslim no. 867).
.
Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dan melarang suatu perkara, kalau bukan perkara tersebut mendatangkan banyak keburukan. Dan berikut ini beberapa akibat buruk dari prilaku bid’ah berdasarkan keterangan dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya,
.
1. Pelaku bid’ah akan mendapatkan laknat Allah Ta’ala.
.
Pelaku bid’ah yang dimaksud adalah mereka yang gemar melakukan kebid’ahan, bukan mereka yang tidak sengaja berbuat bid’ah. Maka balasan bagi mereka adalah laknat dari Allah Ta’ala. Sebagaimana yang di sabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
.
مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
.
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah atau melindungi/membantu pelaku bid’ah, maka baginya laknat Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia”. (HR Bukhary,1870 dan Muslim, 1370).
.
Sungguh rugi para pelaku bid’ah, padahal mereka beribadah mengharapkan pahala, akan tetapi malah justru mendapatkan laknat.
.
2. Pelaku bid’ah akan semakin jauh dari Allah Ta’ala.
.
Tujuan dari ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala (taqorrub ilallah). Namun dengan berbuat bid’ah justru malah sebaliknya akan menjadikan jauh dari Allah Ta’ala.
.
Sebagaimana yang di riwayatkan dari Ayyub As-Sikhtiyani, salah seorang tokoh tabi’in, bahwa beliau mengatakan :
.
مَا ازْدَادَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اِجْتِهَاداً، إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْداً – (حلية الأولياء، ج 1/ص 392).
.
“Semakin giat pelaku bid’ah dalam beribadah, semakin jauh pula ia dari Allah”. (Hilyatul Auliya’, 1/392).
.
3. Pelaku bid’ah terhalang untuk mendapatkan syafa’at.
.
Pada sa’at menghadapi beratnya keada’an di hari kiamat nanti, semua manusia membutuhkan syafa’at untuk menghilangkan penderita’an. Namun celaka bagi para pelaku bid’ah, mereka justru akan di usir dan tidak akan mendapatkan syafa’at.
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
أَلَا وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلَائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام أَلَا وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ – (متفق عليه).
.
“Sesungguhnya manusia pertama yang diberi pakaian pada hari kiamat ialah Ibrahim ‘alaihissalam. Ingatlah, bahwa nanti akan ada sekelompok umatku yang dihalau ke sebelah kiri, maka kutanyakan : Ya Rabbi, mereka adalah sahabatku ? Akan tetapi jawabannya ialah : Kamu tidak tahu yang mereka ada-adakan sepeninggalmu”. (Muttafaq ‘Alaih).
.
4. Pelaku bid’ah akan menanggung dosa orang yang mengikutinya.
.
Kecelaka’an lainnya dari para pelaku bid’ah adalah di bebankannya kepada mereka sebagian dari dosa-dosa orang-orang yang di sesatkannya.
.
– Allah Ta’ala berfirman :
.
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
.
“(ucapan mereka) Menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan)”. (QS. An-Nahl: 25).
.
– Allah Ta’ala juga berfirman :
.
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالا مَعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ
.
“Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan”. (QS. Al-Ankabut: 13).
.
Imam Mujahid berkata : “Mereka memikul beban-beban dosa mereka, dan dosa-dosa orang yang menta’ati mereka, dan hal itu tidak meringankan siksa terhadap orang yang menta’ati mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Ankabut: 13).
.
Ayat-ayat di atas di tujukan kepada orang-orang kafir namun hakekatnya di tujukan kepada siapapun secara umum. Yaitu mereka yang menyesatkan manusia, maka akan menanggung sebagian dari dosa-dosa orang-orang yang di sesatkannya.
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مثلُ آثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ من آثامهم شيئًا
.
“Dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, dia akan mendapatkan dosanya semisal dengan dosa orang-orang yang mengikuti jejaknya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun”. (HR. Muslim no 1017).
.
5. Pelaku bid’ah sangat sulit untuk bertaubat.
.
Masih beruntung bagi setiap manusia ketika melakukan perbuatan dosa kemudian menyadari dan bertaubat lalu meninggalkan perbuatan-perbuatan dosanya. Namun ternyata para pelaku bid’ah mereka akan sangat sulit untuk bertaubat.
.
– Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
إِنَّ اللهَ حَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ – (رواه أبو الشيخ والطبراني والبيهقي وغيرهم).
.
“Sesungguhnya Allah mencegah setiap pelaku bid’ah dari taubat”. (H.R. Abu Syaikh dalam Tarikh Ashbahan, At Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath, Al Baihaqy dalam Syu’abul Iman dan lainnya).
.
– Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ وَاللَّهِ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ لَئِنْ لَمْ تَقُومُوا بِمَا جَاءَ بِهِ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَغَيْرُكُمْ مِنْ النَّاسِ أَحْرَى أَنْ لَا يَقُومَ بِهِ – (رواه أبو داود وأحمد وغيرهما بسند حسن).
.
“Nanti akan muncul pada umatku sekelompok orang yang kerasukan bid’ah dan hawa nafsu sebagaimana anjing kerasukan rabies, tak tersisa satu pun dari urat dan sendinya melainkan telah kerasukan”. (H.R. Abu Dawud no 4597).
.
Para pelaku bid’ah di gambarkan dalam hadits di atas seperti anjing yang terkena penyakit rabies. Maksudnya sangat sulit anjing yang terkena penyakit rabies tersebut untuk di sembuhkan.
.
– Imam Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah (w. 161 H) berkata :
.
اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ وَالْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا
.
“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan. Dan pelaku kemaksiatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiatannya, sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya”. (Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, no. 238).
.
Sulitnya para pelaku bid’ah untuk bertaubat, dan kemudian meninggalkan amalan-amalan atau acara-acara bid’ahnya, karena mereka meyakini bahwa bid’ah-bid’ah yang di lakukannya sebagai amal ibadah.
.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata : “Ahlul bid’ah tidak akan bertaubat selama ia menilai bahwa itu merupakan amalan yang baik. Karena taubat berpijak dari adanya kesadaran bahwa perbuatan yang dilakukan itu buruk. Sehingga dengan itu ia bisa bertaubat darinya. Jadi, selama perbuatan itu dianggap baik padahal pada hakikatnya jelek, maka ia tidak akan bertaubat dari perbuatan tersebut. Akan tetapi taubat adalah sesuatu yang mungkin (dilakukan) dan terjadi, yaitu jika Allah Subhanahu wata’ala memberikan hidayah dan bimbingan kepadanya hingga ia dapat mengetahui kebenaran”. (At Tuhfatul Iraqiyyah, Syaikhul Islam ibnu Taimiyah).
.
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata : ”Rujuknya ahli bid’ah dari kesesatannya adalah hal yang paling sulit bagi mereka, karena mereka menganggap bahwa bid’ah yang mereka lakukan adalah bagian dari agama, mereka bertaqarrub kepada Allah dengan bid’ah tersebut. Ini yang mendorong mereka sulit bertaubat, menentang dan bahkan sombong”. (Fadhilatus Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali-Twit Ulama).
.
Bagaimana para pelaku bid’ah punya keinginan untuk bertaubat, sementara bid’ah-bid’ah yang di lakukannya di yakini sebagai ibadah.
.
Bukankah taubat itu berawal dari kesadaran, bahwa apa yang dilakukannya sebagai perbuatan dosa ?, sementara para pelaku bid’ah memandang segala rupa bid’ah yang di lakukannya sebagai amal saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
.
6. Pelaku bid’ah akan di usir dari telaga Al-Haud pada hari kiamat.
.
Pada hari kiamat manusia akan di giring dan di kumpulkan di Mauqif (Padang mahsyar). Sa’at itu manusia mengalami penderita’an yang berat sesuai dengan amal buruk yang mereka lakukan di dunia. Pada sa’at itu Allah Ta’ala menyediakan telaga (Al-Haudh) kepada setiap para Nabi supaya umatnya bisa minum dari setia telaga tersebut untuk menghilangkan penderita’an mereka.
.
Telaga yang diperuntukkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam airnya lebih putih daripada susu, lebih manis dari madu, lebih harum daripada minyak kesturi, panjang dan lebarnya sejauh perjalanan sebulan, bejana-bejananya seindah dan sebanyak bintang di langit. Maka kaum Mukminin dari ummat beliau akan meminum seteguk air dari Al-Haudh (telaga) ini, maka ia tidak akan merasa haus lagi setelah itu selamanya.
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَوْضِي مَسِيرَةُ شَهْرٍ مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ وَرِيحُهُ أَطْيَبُ مِنَ الْمِسْكِ وَكِيزَانُهُ كَنُجُومِ السَّمَاءِ مَنْ شَرِبَ مِنْهَا فَلاَ يَظْمَأُ أَبَدًا
.
“Airnya lebih putih dari susu, aromanya lebih harum dibandingkan minyak misik. Bejananya bagaikan bintang-bintang di langit. Barang siapa minum darinya; niscaya ia tidak akan pernah merasa dahaga selamanya”. (HR. Bukhari no: 7579 dan Muslim no: 2292).
.
Itulah telaga (Al-Haud) yang di peruntukkan untuk umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ternyata tidak semua umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat minum di telaga tersebut. Ada sebagian dari umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang justru akan di usir supaya menjauh. Diantara mereka yang di usir adalah para pelaku bid’ah.
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
أَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا – (رواه مسلم وابن ماجه وأحمد)
.
“Aku akan mendahului kalian menuju telaga. Sungguh, akan ada beberapa orang yang dihalau dari telagaku sebagaimana dihalaunya onta yang kesasar. Aku memanggil mereka : “Hai datanglah kemari…!” namun dikatakan kepadaku : “Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu”. Maka kataku : “Menjauhlah kesana… menjauhlah kesana (kalau begitu)”. (HR. Muslim no 249, Ibnu Majah no 4306).
.
Begitulah keada’an mereka para pelaku bid’ah di Padang Mahsyar. Sa’at mereka menderita menahan dahaga dan ketika hendak minum dari Telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka di halau seperti unta.
.
7. Pelaku bid’ah dikhawatirkan akan mati dalam keada’an Suu’ul Khatimah.
.
Ketika seorang manusia tutup usia, sangat penting baginya mati dalam keada’an baik (khusnul khotimah). Dan apabila sebaliknya, yaitu mati dalam keada’an buruk, sedang bermaksiat kepada Allah Ta’ala (suu’ul khotimah) maka kecelaka’an yang akan menimpa baginya.
.
Para pelaku bid’ah adalah orang-orang yang bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Mereka seolah-olah merasa tidak puas dengan syari’at yang sudah di tetapkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, padahal agama Islam sudah sempurna. Sehingga mereka membuat cara-cara baru dalam ibadah yang tidak pernah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ajarkan. Dan mereka menganggap segala macam yang mereka ada-adakannya sebagai bentuk sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala (taqorrub ilallah). Maka sangat dikhawatirkan bagi mereka mati dalam keada’an sedang bermaksiat (suu’ul khotimah) yaitu menyelisihi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
.
8. Wajah pelaku bid’ah akan menghitam di hari kiamat.
.
Wajah umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kelak di hari kiamat akan putih berseri-seri. Namun tidak demikian dengan wajah para pelaku bid’ah, wajah mereka hitam legam.
.
Allah Ta’ala berfirman :
.
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
.
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula yang hitam muram”. (QS. Ali ‘Imran: 106).
.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,
.
يَعْنِي: يَوْمَ الْقِيَامَةَ، حِيْنَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلِ الْبِدْعَةِ وَالُفُرُقَة -ِ {تفسير ابن كثير – (ج 2 / ص 92)}.
.
“Yaitu : hari kiamat, ketika wajah ahlussunnah wal jama’ah putih berseri, sedangkan wajah ahlul bid’ah wal furqah hitam legam”. (Tafsir Ibnu Katsier, 2/92. Oleh Abul Fida’ Ibnu Katsier, tahqiq: DR. Sami Muhammad Salamah, cet.2, th. 1420/1999, Daarut Taybah).
.
9. Pelaku bid’ah dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekafiran
.
Para ulama dari dahulu sampai sa’at ini berbeda pendapat tentang kafir tidaknya sejumlah firqah ahlul bid’ah, seperti khawarij, qadariyyah dan yang lainnya. Hal ini didukung oleh dhahir ayat yang berbunyi :
.
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
.
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”. (QS. Al An’am: 159).
.
Diantara mereka ada yang jelas-jelas mengkafirkan firqah bid’ah tertentu seperti batiniyyah dan yang lainnya. Jika ada ulama yang berselisih tentang suatu perkara, apakah ia dihukumi kafir atau tidak ? Tentunya setiap orang yang berakal akan merinding untuk ditempatkan di persimpangan yang sarat marabahaya seperti ini. Siapa yang rela kalau ada orang yang mengatakan kepadanya : “Sesungguhnya para ulama berselisih pendapat mengenaimu; apakah kamu telah kafir, atau sekedar sesat ?” Atau yang mengatakan : “Sesungguhnya ada sebagian ulama yang mengkafirkan kamu dan menganggap darahmu halal…?!” tentunya tak seorang pun mau dikatakan seperti itu. (Mukhtasar Al I’tisham, hal 38).
.
Itulah beberapa akibat buruk dari melakukan kebid’ahan. Alangkah berat dan menghinakan balasan yang akan diperoleh oleh para pelaku bid’ah, sungguh sudah selayaknya mereka renungkan amalan dan acara-acara bid’ah yang selalu mereka kerjakan. Cukuplah dengan syari’at yang sudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Karena tidak ada satupun cara yang akan bisa menyampaikan menuju surga melainkan semuanya sudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada umatnya.
.
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :
.
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنْ الْجَنَّة وَيُبَاعِدُ مِنْ النَّار إِلَّا وَقْدٌ بَيْنَ لَكُمْ
.
“Tidak tersisa suatu (amalan) pun yang dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali sudah dijelaskan semuanya kepada kalian”. (HR. Thobroni dalam Al Mu’jamul Kabir 1647).
.
Semoga bermanfa’at.
.
.
با رك الله فيكم
.
By : Дδµ$ $@ŋţ$ą $๏๓ąŋţяί
.
.

Share:

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

LISTEN QURAN

Listen to Quran

Popular Posts

Blog Archive

Recent Posts

Pages