Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Mengajak manusia
menuju agama Allah merupakan salah satu ibadah yang agung, manfaatnya
menyangkut orang lain. Bahkan dakwah menuju agama Allah merupakan perkataan
yang paling baik. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً
مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ
وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ
الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat:33].
Dakwah mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para
nabi, maka cukuplah sebagai kemuliaan bahwa para da’i mengemban tugas para
nabi. Allah Azza wa Jalla memerintahkan RasulNya untuk mengatakan, dakwah
merupakan jalan Beliau, dengan firmanNya:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي
أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى
بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
وَسُبْحَانَ اللهِ وَ مَآ
أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ “
Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu
dan keyakinan). Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik”. [Yusuf:108].
Karena dakwah merupakan ibadah, maka harus dilakukan dengan
keikhlasan dan mengikuti Sunnah Nabi. Sebagaimana telah maklum, dua perkara ini
merupakan syarat diterimanya ibadah.
IKHLAS DALAM DAKWAH
Seorang da’i harus
memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama Allah, semata-mata mencari
ridhaNya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri, kelompoknya, atau pendapat dan
fikirannya. Juga tidak dengan niat untuk mengumpulkan harta, meraih jabatan,
mencari suara, atau tujuan dunia lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ
يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ إِلاَّ
مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا
وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ “
Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis
amalan kecuali yang murni (ikhlas) untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR
Nasa-i, no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm.
63].
Oleh karena itulah,
Allah k memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan,
bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meminta upah dalam
menyampaikan Al Qur`an kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُل لآ أَسْئَلُكُمْ
عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ
إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Al Qur`an)”. Al Qur`an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk
segala umat.” [Al An’am : 90].
Karena, jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta
upah, maka hal itu akan menyebabkan umat menjadi keberatan dan menjauh. Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di t berkata di dalam tafsirnya: “Yaitu: Aku tidak
meminta pajak atau harta dari kamu sebagai upah tablighku dan dakwahku kepada
kamu; karena itu akan menjadi sebab-sebab penolakan kamu. Tidaklah upahku,
kecuali atas tanggungan Allah”. [Taisir Karimir Rahman, surat Al An’am : 90].
Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَمْ تَسْئَلُهُمْ أَجْرًا فَهُم مِّن
مَّغْرَمٍ مُّثْقَلُونَ
“Ataukah engkau meminta upah kepada mereka sehingga mereka
dibebani dengan hutang”. [Ath Thur : 40].
Dakwah dengan tanpa meminta upah, itu merupakan bukti
kebenaran dakwah tersebut. Allah Azza wa Jalla mengisahkan tiga rasulNya yang
diutus bersama-sama, kemudian semuanya diingkari oleh kaum mereka. Selanjutnya:
وَجَآءَ مِنْ أَقْصَا
الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ
يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ
اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْئَلُكُمْ
أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota dengan bersegera,
ia berkata: “Hai kaumku ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tidak
meminta upah (balasan) kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk”. [Yasin : 20-21].
Nabi-nabi zaman dahulu juga tidak meminta upah kepada kaum
mereka. Allah Azza wa Jalla memberitakan bahwa Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih,
Nabi Luth, Nabi Syu’aib -‘alaihimus salam- berkata kepada kaumnya
masing-masing:
وَمَآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ
مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ
إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas
ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam”. [Asy
Syu’ara’ ayat 109, 127, 145, 164, 180].
Maka fenomena pada zaman ini, yang sebagian “mubaligh”
membuat tarif untuk tablighnya, merupakan perkara yang menyelisihi syari’at.
Sebagian ada yang memasang tarif untuk berceramah di kota yang dekat dengan Rp.
500.000,00 setiap jamnya. Jika bersama group musiknya (rebana!) tarifnya
meningkat menjadi 1.500.000,00. Semakin jauh tempat yang dituju untuk
berceramah, semakin tinggi pula tarifnya! Seandainya yang disampaikan oleh para
mubaligh itu merupakan kebenaran, maka memasang tarif dalam dakwah itu
merupakan kesalahan, apalagi jika yang disampaikan di dalam ceramah-ceramah itu
ternyata dongeng-dongeng, lelucon-lelucon dan nyanyian-nyanyian yang dibumbui
dengan nasihat-nasihat agama, maka itu merupakan kemungkaran, walaupun
dinamakan dengan nama yang indah.
Karena hal itu bertentangan dengan jalan para nabi dalam
berdakwah. Namun, jika seseorang berdakwah dengan benar dan ikhlas, kemudian
dia diberi harta, sedangkan dia tidak mengharapkannya dan tidak memintanya,
tujuannya hanyalah berdakwah, baik dia mendapatkan harta itu atau tidak, maka
–insya Allah- menerimanya tidak mengapa. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ
إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ
إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا
الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ
مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ
وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ
نَفْسَكَ
Baca Juga Pelajaran Dari Umat Terdahulu (1) “Dahulu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pemberian kepadaku,
kemudian aku mengatakan: “Berikan kepada orang yang lebih miskin daripadaku,”
maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Ambillah itu! Jika datang
kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak memperhatikan (yakni
mengharapkan, Pen) dan tidak meminta, maka ambillah itu! Dan yang tidak, maka
janganlah engkau mengikuti hawa-nafsumu terhadapnya!” [HR Bukhari, no. 14734].
Dengan demikian maka
sepantasnya seorang da’i juga memiliki pekerjaan dan usaha untuk mencukupi
kebutuhannya, sehingga dia tidak menggantungkan kepada umat. Karena
sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang ialah hasil
keringatnya sendiri. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ
طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ
أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ
عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ
عَمَلِ يَدِهِ “
Tidaklah seorangpun memakan makanan sama sekali yang lebih
baik daripada dia makan dari pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Allah,
Dawud Alaihissallam, dia makan dari pekerjaan tangannya” [HR Bukhari, no.
2072].
Selain ikhlas, di dalam berdakwah wajib mengikuti Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga seseorang berdakwah berdasarkan
ilmu, hikmah dan kesabaran. Tidak berdakwah dengan bid’ah dan kemaksiatan.
Karena memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan panutan
terbaik bagi umat Islam dalam segala perkara, termasuk di dalam berdakwah
menuju agama Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا
اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagi kamu (umat Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (pahala) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. [Al
Ahzab:21].
DAKWAH, TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Setelah kita mengetahui keutamaan dakwah menuju agama Allah,
kemudian apakah hukum dakwah ini dan siapakah yang bertanggung jawab
terhadapnya? Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa dakwah menuju agama Allah
hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan perintah Allah untuk berdakwah sebagaimana
terdapat di beberapa tempat di dalam Al Qur`an.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah
orang-orang yang beruntung”. [Ali Imran:104].
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. [An
Nahl:125].
وَلاَ يَصُدَّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللهِ
بَعْدَ إِذْ أُنزِلَتْ إِلَيْكَ
وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلاَ
تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari
(menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan
serulah mereka ke (jalan) Rabb-mu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Rabb”. [Al Qashshash:87].
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah”. [Ali Imran:110].
Ayat-ayat di atas
secara tegas memerintahkan berdakwah, oleh karenanya para ulama sepakat tentang
kewajiban dakwah ini. Akan tetapi, kemudian mereka berselisih menjadi dua
pendapat:
1). Hukum dakwah adalah fardhu kifayah.
2). Hukum dakwah adalah fardhu ‘ain,
sesuai dengan kemampuan setiap orang. Perbedaan pendapat
ini, antara lain disebabkan oleh pemahaman terhadap firman Allah Azza wa Jalla
surat Ali Imran ayat 104, artinya : Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini:
1). Bahwa مِنْ
di dalam firman Allah مِنْكُمْ
(dari kamu) untuk menjelaskan jenis. Yaitu, “jadilah kamu semua demikian”,
bukan satu orang tanpa yang lain. Dan yang sama semisal ayat ini ialah firman
Allah Ta’ala: وَإِن مِّنكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا كَانَ
عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا
“Dan tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu
bagi Rabb-mu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan”. [Maryam:71].
Ayat di atas tidak membedakan antara manusia satu dengan
lainnya, tetapi ditujukan kepada umat semuanya, masing-masing orang sesuai
dengan kemampuan dan kesanggupannya.
2). Bahwa مِنْ di sini untuk menunjukkan
sebagian. Maknanya ialah, bahwa orang-orang yang menyuruh (kepada yang ma’ruf)
wajib menjadi ulama, dan tidak setiap orang itu ulama.[1] Syaikh Bakr Abu Zaid
berkata: “Umat di sini (pada ayat 104 surat Ali Imran) adalah umat ulama,
orang-orang yang Allah menjadikan baik kebanyakan umat dengan mereka (ulama
itu)”.[2]
Di antara ulama yang berpendapat hukum berdakwah fardhu
kifayah ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau rahimahullah menyatakan:
“Dan dengan ini telah menjadi jelas, dakwah menuju (agama) Allah wajib atas
setiap muslim. Akan tetapi kewajiban itu adalah fardhu kifayah. Dan
sesungguhnya, hal itu menjadi wajib ‘ain atas seseorang yang dia mampu, jika
tidak ada orang lain yang melakukannya. Inilah urusan amar ma’ruf
(memerintahkan kebaikan), nahi mungkar (melarang kemungkaran), tabligh
(menyampaikan) yang dibawa oleh Rasul, jihad fi sabililah, mengajarkan iman dan
Al Qur`an”.[3] Baca Juga Beretika Dan Bermodal Demikian juga Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz, beliau rahimahullah berkata: “Para ulama telah
menerangkan, bahwa dakwah menuju (agama) Allah Azza wa Jalla (hukumnya) fardhu
kifayah berkaitan dengan daerah-daerah yang para da’i tinggal padanya. Karena
sesungguhnya setiap daerah dan penjuru membutuhkan dakwah dan kegiatan padanya.
Maka hukumnya adalah fardgu kifayah. Jika orang yang telah mencukupi telah
melakukan dakwah, kewajiban itu gugur dari orang-orang yang lain.
Dan jadilah hukum dakwah atas orang-orang yang lain itu menjadi
sunnah muakaddah (sunnah yang ditekankan) dan sebuah amalan shalih yang agung”.
[4] Adapun di antara ulama yang berpendapat hukum dakwah fardhu ‘ain, sesuai
dengan kemampuan setiap orang, yaitu Imam Ibnu Katsir.
Dalam tafsirnya, beliau rahimahullah berkata: Allah Ta’ala
berfirman, hendaklah ada dari kamu satu umat yang bangkit untuk melaksanakan
perintah Allah di dalam dakwah (mengajak) menuju kebaikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Adh Dhahhak mengatakan, mereka adalah para sahabat Nabi yang khusus, dan para
perawi (hadits) yang khusus, yakni para mujahidin dan ulama…
Dan maksud dari ayat ini (ialah), hendaklah ada sekelompok
dari umat ini yang mengurusi perkara ini, walaupun itu merupakan kewajiban atas
setiap pribadi dari umat ini sesuai dengan (keadaan atau kemampuan) nya.
Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu [5], dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di
antara kamu melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika dia tidak
mampu, maka dengan lidahnya, jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu
selemah-lemah iman. Dalam satu riwayat disebutkan :
وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ
الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Dan tidak ada di belakang itu keimanan seberat sebiji
sawi”. [6] Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ
لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ
عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهُ ثُمَّ
لَتَدْعُنَّهُ فَلَا يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
“Demi (Allah) Yang jiwaku di tanganNya, sungguh benar-benar
kamu memerintahkan yang ma’ruf dan sungguh benar-benar kamu melarang yang
mungkar, atau sungguh benar-benar Allah hampir akan mengirimkan siksaan kepada
kamu dari sisiNya, kemudian kamu sungguh-sungguh akan berdoa kepadaNya, namun
Dia tidak mengabulkan bagi kamu”. Juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu
Majah dari hadits Amr bin Abi Amr dengan hadits ini. Tirmidzi mengatakan:
“Hasan”.[7]
Dan hadits-hadits dalam masalah ini banyak, serta ayat-ayat
yang mulia sebagaimana akan datang tafsirnya pada tempat-tempatnya. Lihat
Tafsir Al Qur’anil Azhim, surat Ali Imran ayat 104.
KAPAN DAKWAH MENJADI
FARDHU ‘AIN?
Kemudian hukum dakwah
yang asalnya fardhu kifayah, (atau fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap
orang, sebagaimana telah dijelaskan di atas) menjadi fardhu ‘ain dalam
keadaan-keadaan tertentu.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata:
“Dan terkadang kewajiban (dakwah) itu menjadi fardhu ‘ain, jika engkau berada
di suatu tempat yang di sana tidak ada orang yang menunaikannya selainmu”.[9]
Beliau rahimahullah juga menjelaskan: “Di saat sedikitnya da’i, di saat
banyaknya kemungkaran-kemungkaran, di saat dominannya kebodohan, seperti
keadaan kita hari ini, dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai
dengan kemampuannya”. Jika keadaan kita pada zaman ini demikian, sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah, maka siapakah yang akan ikut
berlomba di dalam kebaikan, berdakwah menuju agama Allah, dengan ilmu, ikhlas
dan mengikuti Sunnah?
Hanya Allah tempat mohon pertolongan. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat Ad Dakwah Ila Allah, hlm. 115-116, Syaikh Ali bin
Hasan Al Halabi Al Atsari.
[2]. Hukmul Intima’,
hlm. 132.
[3]. Majmu’ Fatawa (15/166).
[4]. Wujubu Dakwah
Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hlm. 16, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
Penerbit Darul Wathan.
[5]. Beginilah yang tertulis di dalam Tafsir Ibnu Katsir,
namun yang benar ialah dari Abu Sa’id Al Khudri sebagaimana tersebut di dalam
Shahih Muslim, no. 49, Pen.
[6]. Hadits ini bukan lafazh lain dari hadits di atas,
tetapi hadits lain riwayat Muslim, no. 50, dari Abdullah bin Mas’ud, Pen.
[7]. Syaikh Salim Al Hilali menyatakan, hadits ini
berderajat hasan dengan seluruh penguatnya. Lihat Bahjatun Nazhirin Syarh
Riyadhush Shalihin (1/283), no. Hadits 193.
[8]. Yakni dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan
fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap orang, Pen.
No comments:
Post a Comment