Tafsir Surat Al Maidah ayat 44

  Firman Allah:

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44)
Al-Barra ibnu Azib, Huzaifah ibnul Yaman, Ibnu Abbas Abu Mijlaz, Abu Raja Al-Utaridi, Ikrimah, Ubaidillah Ibnu Abdullah, Al-Hasan Al-Basri, dan lain-lainnya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ahli Kitab. Al-Hasan Al-Basri menambahkan, ayat ini hukumnya wajib bagi kita (kaum muslim).
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Sufyan As-Sauri, dari Mansur, dari Ibrahim yang telah mengatakan bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Israil, sekaligus merupakan ungkapan rida dari Allah kepada umat yang telah menjalankan ayat ini; menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Salamah ibnu Kahil, dari Alqamari dan Masruq, bahwa keduanya pernah bertanya kepada sahabat Ibnu Mas'ud tentang masalah suap (risywah). Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa risywah termasuk perbuatan yang diharamkan. Salamah ibnu Kahil mengatakan, "Alqamah dan Masruq bertanya, 'Bagaimanakah dalam masalah hukum?'." Ibnu Mas'ud menjawab, "Itu merupakan suatu kekufuran." Kemudian sahabat Ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44)
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44); Bahwa barangsiapa yang memutuskan hukum bukan dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, dan ia meninggalkannya dengan sengaja atau melampaui batas, sedangkan dia mengetahui, maka dia termasuk orang-orang kafir.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44); Bahwa barangsiapa yang ingkar terhadap apa yang diturunkan oleh Allah, sesungguhnya dia telah kafir; dan barang siapa yang mengakuinya, tetapi tidak mau memutuskan hukum dengannya, maka dia adalah orang yang aniaya lagi fasik. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah Ahli Kitab atau orang yang mengingkari hukum Allah yang diturunkan melalui Kitab-Nya.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari As-Sauri, dari Zakaria, dari Asy-Sya'bi sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah (Al-Maidah: 44); Menurutnya makna ayat ini ditujukan kepada orang-orang muslim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menmenceritakan kepada kami Syu'bah, dari Ibnu Abus Safar dari Asy-Sya'bi sehubungan dengan firman-Nya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44); Menurutnya ayat ini berkenaan dengan orang-orang muslim. Dan firman-Nya yang mengatakan: Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim (Al-Maidah: 45) berkenaan dengan orang-orang Yahudi. Sedangkan firman-Nya yang mengatakan: Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, mana mereka itu adalah orang-orang yang fasik (Al-Maidah: 47). Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Nasrani.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Hasyim dan As-Sauri, dari Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Asy-Sya'bi.
Abdur Razzaq mengatakan juga, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya yang menyatakan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai firman-Nya: Barangsiapa yang tidak memutuskan. (Al-Maidah: 44), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas menjawab, orang tersebut menyandang sifat kafir.
IbnuTawus mengatakan, yang dimaksud dengan kafir dalam ayat ini bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Ata yang telah mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan kafir ialah masih di bawah kekafiran (bukan kafir sungguhan), dan zalim ialah masih di bawah kezaliman, serta fasik ialah masih di bawah kefasikan. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Waki' telah meriwayatkan dari Sa'id Al-Makki, dari Tawus sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44); Yang dimaksud dengan "kafir" dalam ayat ini bukan kafir yang mengeluarkan orang yang bersangkutan dari Islam.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Hisyam ibnu Hujair, dari Tawus, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44); Makna yang dimaksud ialah bukan kufur seperti apa yang biasa kalian pahami (melainkan kufur kepada nikmat Allah).
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah, dan Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahnya.

SUMBER: TAFSIR IBNU KATSIR
 
Sumber :  https://penfighters95.blogspot.com/2016/06/tafsir-ibnu-katsir-al-maidah-ayat-44.html
Share:

TUGAS DAKWAH

 Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

 Mengajak manusia menuju agama Allah merupakan salah satu ibadah yang agung, manfaatnya menyangkut orang lain. Bahkan dakwah menuju agama Allah merupakan perkataan yang paling baik. Allah Azza wa Jalla berfirman:

 وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat:33].

Dakwah mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para nabi, maka cukuplah sebagai kemuliaan bahwa para da’i mengemban tugas para nabi. Allah Azza wa Jalla memerintahkan RasulNya untuk mengatakan, dakwah merupakan jalan Beliau, dengan firmanNya:

 قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَ مَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu dan keyakinan). Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yusuf:108].

Karena dakwah merupakan ibadah, maka harus dilakukan dengan keikhlasan dan mengikuti Sunnah Nabi. Sebagaimana telah maklum, dua perkara ini merupakan syarat diterimanya ibadah.

 IKHLAS DALAM DAKWAH

 Seorang da’i harus memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama Allah, semata-mata mencari ridhaNya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri, kelompoknya, atau pendapat dan fikirannya. Juga tidak dengan niat untuk mengumpulkan harta, meraih jabatan, mencari suara, atau tujuan dunia lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni (ikhlas) untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasa-i, no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63].

 Oleh karena itulah, Allah k memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meminta upah dalam menyampaikan Al Qur`an kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

 قُل لآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ

“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur`an)”. Al Qur`an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat.” [Al An’am : 90].

Karena, jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta upah, maka hal itu akan menyebabkan umat menjadi keberatan dan menjauh. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di t berkata di dalam tafsirnya: “Yaitu: Aku tidak meminta pajak atau harta dari kamu sebagai upah tablighku dan dakwahku kepada kamu; karena itu akan menjadi sebab-sebab penolakan kamu. Tidaklah upahku, kecuali atas tanggungan Allah”. [Taisir Karimir Rahman, surat Al An’am : 90].

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَمْ تَسْئَلُهُمْ أَجْرًا فَهُم مِّن مَّغْرَمٍ مُّثْقَلُونَ

“Ataukah engkau meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang”. [Ath Thur : 40].

Dakwah dengan tanpa meminta upah, itu merupakan bukti kebenaran dakwah tersebut. Allah Azza wa Jalla mengisahkan tiga rasulNya yang diutus bersama-sama, kemudian semuanya diingkari oleh kaum mereka. Selanjutnya:

 وَجَآءَ مِنْ أَقْصَا الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْئَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota dengan bersegera, ia berkata: “Hai kaumku ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tidak meminta upah (balasan) kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. [Yasin : 20-21].

Nabi-nabi zaman dahulu juga tidak meminta upah kepada kaum mereka. Allah Azza wa Jalla memberitakan bahwa Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Luth, Nabi Syu’aib -‘alaihimus salam- berkata kepada kaumnya masing-masing:

 وَمَآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam”. [Asy Syu’ara’ ayat 109, 127, 145, 164, 180].

Maka fenomena pada zaman ini, yang sebagian “mubaligh” membuat tarif untuk tablighnya, merupakan perkara yang menyelisihi syari’at. Sebagian ada yang memasang tarif untuk berceramah di kota yang dekat dengan Rp. 500.000,00 setiap jamnya. Jika bersama group musiknya (rebana!) tarifnya meningkat menjadi 1.500.000,00. Semakin jauh tempat yang dituju untuk berceramah, semakin tinggi pula tarifnya! Seandainya yang disampaikan oleh para mubaligh itu merupakan kebenaran, maka memasang tarif dalam dakwah itu merupakan kesalahan, apalagi jika yang disampaikan di dalam ceramah-ceramah itu ternyata dongeng-dongeng, lelucon-lelucon dan nyanyian-nyanyian yang dibumbui dengan nasihat-nasihat agama, maka itu merupakan kemungkaran, walaupun dinamakan dengan nama yang indah.

Karena hal itu bertentangan dengan jalan para nabi dalam berdakwah. Namun, jika seseorang berdakwah dengan benar dan ikhlas, kemudian dia diberi harta, sedangkan dia tidak mengharapkannya dan tidak memintanya, tujuannya hanyalah berdakwah, baik dia mendapatkan harta itu atau tidak, maka –insya Allah- menerimanya tidak mengapa. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata :

 كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ

Baca Juga  Pelajaran Dari Umat Terdahulu (1) “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pemberian kepadaku, kemudian aku mengatakan: “Berikan kepada orang yang lebih miskin daripadaku,” maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Ambillah itu! Jika datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak memperhatikan (yakni mengharapkan, Pen) dan tidak meminta, maka ambillah itu! Dan yang tidak, maka janganlah engkau mengikuti hawa-nafsumu terhadapnya!” [HR Bukhari, no. 14734].

 Dengan demikian maka sepantasnya seorang da’i juga memiliki pekerjaan dan usaha untuk mencukupi kebutuhannya, sehingga dia tidak menggantungkan kepada umat. Karena sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang ialah hasil keringatnya sendiri. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Tidaklah seorangpun memakan makanan sama sekali yang lebih baik daripada dia makan dari pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Allah, Dawud Alaihissallam, dia makan dari pekerjaan tangannya” [HR Bukhari, no. 2072].

Selain ikhlas, di dalam berdakwah wajib mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga seseorang berdakwah berdasarkan ilmu, hikmah dan kesabaran. Tidak berdakwah dengan bid’ah dan kemaksiatan. Karena memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan panutan terbaik bagi umat Islam dalam segala perkara, termasuk di dalam berdakwah menuju agama Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

 لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kamu (umat Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (pahala) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. [Al Ahzab:21].

DAKWAH, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Setelah kita mengetahui keutamaan dakwah menuju agama Allah, kemudian apakah hukum dakwah ini dan siapakah yang bertanggung jawab terhadapnya? Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa dakwah menuju agama Allah hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan perintah Allah untuk berdakwah sebagaimana terdapat di beberapa tempat di dalam Al Qur`an.

 وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung”. [Ali Imran:104].

 اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. [An Nahl:125].

وَلاَ يَصُدَّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللهِ بَعْدَ إِذْ أُنزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka ke (jalan) Rabb-mu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb”. [Al Qashshash:87].

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. [Ali Imran:110].

 Ayat-ayat di atas secara tegas memerintahkan berdakwah, oleh karenanya para ulama sepakat tentang kewajiban dakwah ini. Akan tetapi, kemudian mereka berselisih menjadi dua pendapat:

1). Hukum dakwah adalah fardhu kifayah.

2). Hukum dakwah adalah fardhu ‘ain,

sesuai dengan kemampuan setiap orang. Perbedaan pendapat ini, antara lain disebabkan oleh pemahaman terhadap firman Allah Azza wa Jalla surat Ali Imran ayat 104, artinya : Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.

Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini:

1). Bahwa مِنْ di dalam firman Allah مِنْكُمْ (dari kamu) untuk menjelaskan jenis. Yaitu, “jadilah kamu semua demikian”, bukan satu orang tanpa yang lain. Dan yang sama semisal ayat ini ialah firman Allah Ta’ala: وَإِن مِّنكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا “Dan tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb-mu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan”. [Maryam:71].

Ayat di atas tidak membedakan antara manusia satu dengan lainnya, tetapi ditujukan kepada umat semuanya, masing-masing orang sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya.

 2). Bahwa مِنْ di sini untuk menunjukkan sebagian. Maknanya ialah, bahwa orang-orang yang menyuruh (kepada yang ma’ruf) wajib menjadi ulama, dan tidak setiap orang itu ulama.[1] Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Umat di sini (pada ayat 104 surat Ali Imran) adalah umat ulama, orang-orang yang Allah menjadikan baik kebanyakan umat dengan mereka (ulama itu)”.[2]

Di antara ulama yang berpendapat hukum berdakwah fardhu kifayah ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau rahimahullah menyatakan: “Dan dengan ini telah menjadi jelas, dakwah menuju (agama) Allah wajib atas setiap muslim. Akan tetapi kewajiban itu adalah fardhu kifayah. Dan sesungguhnya, hal itu menjadi wajib ‘ain atas seseorang yang dia mampu, jika tidak ada orang lain yang melakukannya. Inilah urusan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), nahi mungkar (melarang kemungkaran), tabligh (menyampaikan) yang dibawa oleh Rasul, jihad fi sabililah, mengajarkan iman dan Al Qur`an”.[3] Baca Juga  Beretika Dan Bermodal Demikian juga Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, beliau rahimahullah berkata: “Para ulama telah menerangkan, bahwa dakwah menuju (agama) Allah Azza wa Jalla (hukumnya) fardhu kifayah berkaitan dengan daerah-daerah yang para da’i tinggal padanya. Karena sesungguhnya setiap daerah dan penjuru membutuhkan dakwah dan kegiatan padanya. Maka hukumnya adalah fardgu kifayah. Jika orang yang telah mencukupi telah melakukan dakwah, kewajiban itu gugur dari orang-orang yang lain.

Dan jadilah hukum dakwah atas orang-orang yang lain itu menjadi sunnah muakaddah (sunnah yang ditekankan) dan sebuah amalan shalih yang agung”. [4] Adapun di antara ulama yang berpendapat hukum dakwah fardhu ‘ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang, yaitu Imam Ibnu Katsir.

Dalam tafsirnya, beliau rahimahullah berkata: Allah Ta’ala berfirman, hendaklah ada dari kamu satu umat yang bangkit untuk melaksanakan perintah Allah di dalam dakwah (mengajak) menuju kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. Adh Dhahhak mengatakan, mereka adalah para sahabat Nabi yang khusus, dan para perawi (hadits) yang khusus, yakni para mujahidin dan ulama…

Dan maksud dari ayat ini (ialah), hendaklah ada sekelompok dari umat ini yang mengurusi perkara ini, walaupun itu merupakan kewajiban atas setiap pribadi dari umat ini sesuai dengan (keadaan atau kemampuan) nya. Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu [5], dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

 “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman. Dalam satu riwayat disebutkan :

 وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

“Dan tidak ada di belakang itu keimanan seberat sebiji sawi”. [6] Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهُ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلَا يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

“Demi (Allah) Yang jiwaku di tanganNya, sungguh benar-benar kamu memerintahkan yang ma’ruf dan sungguh benar-benar kamu melarang yang mungkar, atau sungguh benar-benar Allah hampir akan mengirimkan siksaan kepada kamu dari sisiNya, kemudian kamu sungguh-sungguh akan berdoa kepadaNya, namun Dia tidak mengabulkan bagi kamu”. Juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Amr bin Abi Amr dengan hadits ini. Tirmidzi mengatakan: “Hasan”.[7]

Dan hadits-hadits dalam masalah ini banyak, serta ayat-ayat yang mulia sebagaimana akan datang tafsirnya pada tempat-tempatnya. Lihat Tafsir Al Qur’anil Azhim, surat Ali Imran ayat 104.

 KAPAN DAKWAH MENJADI FARDHU ‘AIN?

 Kemudian hukum dakwah yang asalnya fardhu kifayah, (atau fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap orang, sebagaimana telah dijelaskan di atas) menjadi fardhu ‘ain dalam keadaan-keadaan tertentu.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Dan terkadang kewajiban (dakwah) itu menjadi fardhu ‘ain, jika engkau berada di suatu tempat yang di sana tidak ada orang yang menunaikannya selainmu”.[9] Beliau rahimahullah juga menjelaskan: “Di saat sedikitnya da’i, di saat banyaknya kemungkaran-kemungkaran, di saat dominannya kebodohan, seperti keadaan kita hari ini, dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya”. Jika keadaan kita pada zaman ini demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah, maka siapakah yang akan ikut berlomba di dalam kebaikan, berdakwah menuju agama Allah, dengan ilmu, ikhlas dan mengikuti Sunnah?

Hanya Allah tempat mohon pertolongan. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] 


________

Footnote

[1]. Lihat Ad Dakwah Ila Allah, hlm. 115-116, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi Al Atsari.

 [2]. Hukmul Intima’, hlm. 132.

[3]. Majmu’ Fatawa (15/166).

 [4]. Wujubu Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hlm. 16, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerbit Darul Wathan.

[5]. Beginilah yang tertulis di dalam Tafsir Ibnu Katsir, namun yang benar ialah dari Abu Sa’id Al Khudri sebagaimana tersebut di dalam Shahih Muslim, no. 49, Pen.

[6]. Hadits ini bukan lafazh lain dari hadits di atas, tetapi hadits lain riwayat Muslim, no. 50, dari Abdullah bin Mas’ud, Pen.

[7]. Syaikh Salim Al Hilali menyatakan, hadits ini berderajat hasan dengan seluruh penguatnya. Lihat Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin (1/283), no. Hadits 193.

[8]. Yakni dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap orang, Pen.

[9]. Wujubu Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hlm. 17, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerbit: Darul Wathan. Home /Dakwah/Tugas Dakwah

Referensi: https://almanhaj.or.id/2713-tugas-dakwah.html

Share:

Menjadi Umat Terbaik dengan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Pembahasan berikut adalah risalah ringkas dari Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai amar ma’ruf nahi munkar. Berikut penjelasan beliau rahimahullah:

Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Mereka bisa menjadi umat terbaik jika mereka memenuhi syarat (yang disebutkan dalam ayat di atas). Siapa saja yang tidak memenuhi syarat di atas, maka dia bukanlah umat terbaik.”

Para salaf mengatakan, telah disepakati bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu wajib bagi insan. Namun wajibnya adalah fardhu kifayah, hal ini sebagaimana jihad dan mempelajari ilmu tertentu serta yang lainnya. Yang dimaksud fardhu kifayah adalah jika sebagian telah memenuhi kewajiban ini, maka yang lain gugur kewajibannya. Walaupun pahalanya akan diraih oleh orang yang mengerjakannya, begitu pula oleh orang yang asalnya mampu namun saat itu tidak bisa untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar yang diwajibkan. Jika ada orang yang ingin beramar ma’ruf nahi mungkar, wajib bagi yang lain untuk membantunya hingga maksudnya yang Allah dan Rasulnya perintahkan tercapai. Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 2)

Setiap rasul yang Allah utus dan setiap kitab yang Allah turunkan, semuanya mengajarkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Yang dimaksud ma’ruf adalah segala istilah yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhoi oleh Allah.

Yang dimaksud munkar adalah segala istilah yang mencakup segala hal yang dibenci dan dimurkai oleh Allah.

Meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah sebab datangnya hukuman dunia sebelum hukuman di akhirat. Janganlah menyangka bahwa hukuman meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya menimpa orang yang zholim dan pelaku maksiat, namun boleh jadi juga menimpa manusia secara keseluruhan.

Orang yang melakukan amar ma’ruf hendaklah orang yang faqih (paham) terhadap yang diperintahkan dan faqih (paham) terhadap yang dilarang. Begitu pula hendaklah dia halim (santun) terhadap yang diperintahkan, begitu pula terhadap yang dilarang. Hendaklah orang tersebut orang yang ‘alim terhadap apa yang ia perintahkan dan larang. Ketika dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar, hendaklah ia bersikap lemah lembut terhadap apa yang ia perintahkan dan ia larang. Lalu ia harus halim dan bersabar setelah ia beramar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana Allah berfirman dalam kisah Luqman,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

Ketahuilah bahwa orang yang memerintahkan pada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar termasuk mujahid di jalan Allah. Jika dirinya disakiti atau hartanya dizholimi, hendaklah ia bersabar dan mengharap pahala di sisi Allah. Sebagaimana hal inilah yang harus dilakukan seorang mujahid pada jiwa dan hartanya. Hendaklah ia melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam rangka ibadah dan taat kepada Allah serta mengharap keselamatan dari siksa Allah, juga ingin menjadikan orang lain baik. Janganlah ia melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk tujuan mencari kedudukan mulia atau kekuasaan. Janganlah ia melakukannya karena bermusuhan atau benci di hatinya pada orang yang diajak amar ma’ruf nahi munkar. Janganlah ia melakukannya dengan tujuan-tujuan semacam ini.

Kadang memerintahkan pada yang kebaikan itu dengan cara yang baik dan tidak membawa dampak jelek. Kadang pula mencegah kemungkaran dilakukan dengan baik tanpa membawa dampak jelek. Sebaliknya jika menghilangkan kemungkaran malah dengan cara yang mungkar pula (bukan dengan cara yang baik), maka itu sama saja seseorang ingin mensucikan khomr (yang najis kata sebagian ulama, pen), dengan air kencing (yang najis pula, pen). Siapa yang melarang kemungkaran namun malah dengan yang mungkar, maka itu hanya membawa banyak kerusakan daripada  mendapatkan keuntungan. Kadang kerugian itu sedikit atau banyak. Wallahu a’lam.

***

Diterjemahkan dari risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, penjelasan firman Allah: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnaas dalam Al Majmu’atul ‘Aliyyah min Kutub wa Rosail wa Fatawa Syaikhul Islam Ibni Taimiyah, Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama,, Muharram, 1422, hal. 62-65.

 King Khalid Airport, Riyadh, KSA, 17th Shafar 1432 H (21/1/2011)

www.rumaysho.com

Sumber https://rumaysho.com/1530-menjadi-umat-terbaik-dengan-amar-maruf-nahi-mungkar.html

Share:

Ayat 67-68 Surat Ali Imran

Allah berfirman,

ما كانَ إِبْراهِيمُ يَهودِيًّا ولا نَصْرانِيًّا وَلكِنْ كانَ حَنِيفا مُسْلِمًا وَمَا كانَ مِنَ المُشْرِكِينَ إِنَّ أَوْلىَ النَّاسِ بِإبراهِيمَ لَلّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهذا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللهُ وَلِيُّ المُؤمِنِين

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus dan berserah diri kepada Allah, dan dia bukan termasuk orang-orang musyrikin. Sesungguhnya orang yang paling patut dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya, Nabi ini dan orang-orang yang beriman. Dan Allah adalah pelindung orang-orang beriman.”

1241141013ali_jaber_03“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani.” Karena dia hadir sebelum keduanya hadir, yang hadir lebih dulu tidak dinisbatkan kepada yang hadir kemudian.

“Akan tetapi dia adalah seorang yang lurus.” Di atas Tauhid dan menjauhi syirik, Ibrahim adalah imam ahli Tauhid.

“Dan berserah diri kepada Allah.” Sebagai Muslim dengan agama Islam.

“Dan dia bukan termasuk orang-orang musyrikin.” Justru dia berlepas diri dari syirik dan orang-orangnya, termasuk bapaknya dan kaumnya.

“Sesungguhnya orang yang paling patut dengan Ibrahim.” untuk mengikutinya,”Adalah orang-orang yang mengikutinya.” Agamanya, yaitu agama Tauhid.

“Nabi ini.” Muhammad shallahu alaihi wa sallam.

“Dan orang-orang yang beriman.” Yang mengikuti Muhammad di setiap waktu dan tempat.

Dalam ayat pertama Allah menepis bila Ibrahim adalah Yahudi atau Nasrani, Ibrahim bukan Yahudi dan bukan Nasrani, seperti yang diklaim oleh orang-orang yang mengakui Yahudi dan Nasrani, karena Ibrahim hadir sebelum keduanya, di samping itu Ibrahim adalah bapak ahli Tauhid, sementara kedua agama tersebut saat al-Qur`an al-Karim turun sudah tersisipi kesyirikan, jadi bagaimana bisa dikatakan Ibrahim adalah Yahudi dan Nasrani? Sebaliknya Ibrahim adalah seorang laki-laki yang menjauhi syirik dengan condong kepada Tauhid dan berserah diri kepada Allah.

Dalam ayat kedua Allah menjelaskan siapa yang berhak menisbatkan diri kepada agama Islam, yaitu para pengikutnya di atas Tauhid, Nabi Muhammad yang merupakan anak Ibrahim sekaligus penerusnya dan orang-orang yang beriman. Siapa pun yang bersifat demikian, dia berhak mengklaim pengikut Ibrahim, sebaliknya sebaliknya.

1. Keterangan tentang siapa Ibrahim.

2. Keterangan tentang siapa yang berhak atas Ibrahim.

3. Barangsiapa beriman, bertauhid, dia berhak mengaku sebagai pengikut Ibrahim. Wallahu a’lam.


Read more https://alsofwa.com/ayat-67-68-surat-ali-imran/

Share:

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

LISTEN QURAN

Listen to Quran

Popular Posts

Blog Archive

Recent Posts

Pages