ROSULULLAHPUN MENANGIS

Wisata Padang Pasir Bernuansa Timur Tengah di Indonesia

Tafsir Surat Ali Imron 190-194

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan Siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS. Ali ‘Imraan: 190). (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa Neraka. (QS. Ali ‘Imraan: 191). Ya Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam Neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zhalim seorang penolong pun. (QS. Ali ‘Imraan: 192). Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): ‘Berimanlah kamu kepada Rabb-mu.’; maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosakami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. (QS. Ali ‘Imraan: 193). Ya Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan Rasul-Rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (QS. Ali ‘Imraan: 194)

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari ‘Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah sambil duduk, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah sambil berbaring.”

Maksudnya, mereka tidak putus-putus berdzikir dalam semua keadaan, baik dengan hati maupun dengan lisan mereka. Wa yatafakkaruuna fii khalqis samaawaati wal ardli (“Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.”) Maksudnya, mereka memahami apa yang terdapat pada keduanya (langit dan bumi) dari kandungan hikmah yang menunjukkan keagungan “al-Khaliq” (Allah), ke-kuasaan-Nya, keluasan ilmu-Nya, hikmah-Nya, pilihan-Nya, juga rahmat-Nya.

Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Sesungguhnya aku keluar dari rumahku, lalu setiap sesuatu yang aku lihat, merupakan nikmat Allah dan ada pelajaran bagi diriku.” Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dun-ya dalam “Kitab at-Tawakkul wal I’tibar.”

Al-Hasan al-Bashri berkata: “Berfikir sejenak lebih baik dari bangun shalat malam.”

Al-Fudhail mengatakan bahwa al-Hasan berkata, “Berfikir adalah cermin yang menunjukkan kebaikan dan kejelekan-kejelekanmu.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Berfikir (tentang kekuasaan Allah,”) adalah cahaya yang masuk ke dalam hatimu.”

Nabi ‘Isa as. berkata: “Berbahagialah bagi orang yang lisannya selalu berdzikir, diamnya selalu berfikir (tentang kekuasaan Allah), dan pandangannya mempunyai ‘ibrah (pelajaran).”

Luqman al-Hakim berkata: “Sesungguhnya lama menyendiri akan mengilhamkan untuk berfikir dan lama berfikir (tentang kekuasaan Allah,) adalah jalan-jalan menuju pintu Surga.”

Sungguh Allah mencela orang yang tidak mengambil pelajaran tentang makhluk-makhluk-Nya yang menunjukkan kepada dzat-Nya, sifat-Nya, syari’at-Nya, kekuasaan-Nya dan tanda-tanda (kekuasan)-Nya, “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya. Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 105-106)

 qiyaamati (“Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat.”) , di hadapan pemuka para makhluk. Innaka laa tukhliful mii-‘aad (“Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.”) Maksud-nya, keharusan akan janji yang telah disampaikan oleh Rasul-Rasul-Mu, yaitu bangkitnya umat manusia pada hari Kiamat kelak di hadapan-Mu. Dalam sebuah hadits telah ditegaskan bahwa Rasulullah membaca sepuluh ayat terakhir dari Surat Ali-`Imran ini jika beliau bangun malam untuk mengerjakan shalat tahajud.

Imam al-Bukhari pernah meriwayatkan dari Kuraib, bahwa Ibnu ‘Abbas memberitahukan kepadanya, ia pernah menginap di rumah Maimunah isteri Nabi, sekaligus bibinya (Ibnu ‘Abbas) sendiri, ia berkata, lalu aku membaringkan diri di bagian pinggir tempat tidur, sedangkan Rasulullah saw. dan keluarganya membaringkan diri di bagian tengahnya. Maka beliau pun tidur. Dan pada pertengahan malam, tak lama sebelum atau sesudah pertengahan malam, Rasulullah bangun dari tidurnya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan tangan beliau. Kemudian beliau membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali-‘Imran. Selanjutnya beliau menuju ke tempat air yang tergantung didinding dan beliau berwudhu’ dan menyempurnakannya. Setelah itu beliau mengerjakan shalat.

Lebih lanjut Ibnu ‘Abbas berkata, kemudian aku bangun dan melakukan hal yang sama seperti yang dikerjakan beliau, lalu aku berjalan dan berdiri di sisi beliau. Kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku dan memegang telingaku. Seusai itu beliau mengerjakan shalat dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat, dua rakaat, kemudian mengerjakan shalat witir. Lalu beliau berbaring hingga datang muadzin, maka beliau bangun dan mengerjakan shalat dua rakaat ringan (shalat sunnah Subuh), selanjutnya
beliau pergi ke masjid untuk mengerjakan shalat Subuh.

Hal senada juga diriwayatkan oleh perawi lain yang diriwayatkan oleh iman-iman ahli hadits lain melalui beberapa sumber dari Malik. Juga diriwayatkan Imam Muslim, Abu Dawud (melalui jalan yang lain). Serta diriwayatkan Ibnu Mardawaih dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Rasulullah keluar rumah pada suatu malam, dan ketika malam berlalu, beliau menatap ke langit dan membaca ayat ini: inna fii khalqis samaawaati wal ardli wakh-tilaafil laili wan naHaari la aayaatil li ulil albaab (“Sungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”) Sampai terakhir dari surah Ali ‘Imraan.

Setelah itu beliau berdo’a: “Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam pendengaranku, cahaya dalam pandanganku, cahaya pada sebelah kananku, cahaya pada sebelah kiriku, cahaya pada bagian depanku, cahaya pada belakangku, cahaya pada bagian atasku, dan cahaya pada bagian bawahku, serta besarkanlah cahaya bagiku pada hari Kiamat.”

Do’a ini telah ditegaskan dalam beberapa jalan hadits shahih yang di-riwayatkan dari Kuraib dari Ibnu ‘Abbas ra.

Dalam tafsirnya, Abdu bin Humaid meriwayatkan dari Ja’far bin Aun al-Kalby, dari Abu Hubab ‘Atha’, ia berkata, bersama ‘Abdullah bin ‘Umar dan ‘Ubaid bin ‘Umair, aku masuk menemui Ummul Mukminin, ‘Aisyah dalam biliknya. Kemudian kami mengucapkan salam kepadanya. Maka ‘Aisyah bertanya: “Siapa mereka?” Kami pun menjawab: “Ini ‘Abdullah bin ‘Umar dan `Ubaid bin `Umair.” Lalu ‘Aisyah berkata: “Wahai ‘Ubaid bin ‘Umair, apa yang menghalangimu mengunjungi kami?” Ubaid menjawab: “Karena orang terdahulu pernah berkata: “Berkunjunglah jarang-jarang, niscaya engkau akan bertambah dekat.” Setelah itu ‘Aisyah berkata: “Sesungguhnya kami menyukai kunjungan dan kedatanganmu.” Lalu ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “Biarkanlah kita mengalihkan pembicaraan lain dan beritahukanlah kepada kami mengenai sesuatu yang mengagumkanmu dari apa yang pernah engkau saksikan dari Rasulullah.” Maka ia (‘Aisyah) pun menangis dan kemudian berkata: “Semua perkara yang dilakukannya sungguh mengagumkan. Pada malam giliranku, beliau pernah mendatangiku, lalu beliau masuk dan tidur bersamaku di tempat tidurku sehingga kulitnya menyentuh kulitku, kemudian beliau bersabda: “Ya Aisyah, izinkan aku beribadah kepada Rabb-ku,” Maka ‘Aisyah pun berkata: “Sesungguhnya aku senang sekali berada di sisimu, tetapi aku pun menyukai keinginanmu itu (beribadah kepada Allah).”

Lebih lanjut ‘Aisyah menceritakan, setelah itu Rasulullah berjalan menuju ke tempat air yang terdapat di dalam rumah dan berwudhu dengan tidak memboroskan air. Seusai berwudhu’ beliau membaca al-Qur’an dan kemudian menangis hingga aku melihat bahwa air matanya membasahi janggutnya. Selanjutnya beliau duduk, lalu memanjatkan pujian kepada Allah. Setelah itu beliau menangis hingga aku melihat air matanya jatuh sampai ditenggorokannya. Kemudian beliau membaringkan diri pada lambung sebelah kanan dan meletakkan tangannya di bawah pipinya, lalu beliau menangis hingga aku melihat air matanya jatuh ke lantai.

Setelah itu Bilal masuk menemuinya, lalu ia mengumandangkan adzan shalat Subuh, dan kemudian ia mengatakan: “Shalat, ya Rasulullah.” Ketika melihatnya sedang menangis, Bilal mengatakan: “Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis sedang Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa yang telah engkau kerjakan maupun yang belum engkau kerjakan.” Maka beliau bersabda: “Wahai Bilal, tidakkah aku boleh menjadi hamba yang bersyukur?” Dan bagaimana aku tidak menangis sedang pada malam ini telah turun ayat, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bum, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa Neraka.” Selanjutnya beliau bersabda: “Celaka bagi orang yang membaca ayat-ayat ini lalu ia tidak memikirkan apa yang ada di dalamnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya. 

Waallahu a'lam

Share:

Apa Itu Kursi Allah?

 Kunjungi Padang Pasir: Terbaik di Padang Pasir, Travel Dubai 2023 | Expedia  Tourism

Pendapat terkuat –wallahu a’lam– makna kursi Allah adalah tempat diletakkan kedua kaki Allah. Sebagaimana riwayat dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas

Sebagai seorang muslim, kita sangat familiar dengan “ayat kursi” yang di dalam ayat tersebut terdapat lafaz “Kursi Allah”.

Ayat kursi terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 255:

ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﺤَﻲُّ ﺍﻟْﻘَﻴُّﻮﻡُ ﻟَﺎ ﺗَﺄْﺧُﺬُﻩُ ﺳِﻨَﺔٌ ﻭَﻟَﺎ ﻧَﻮْﻡٌ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻣَﻦْ ﺫَﺍ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺸْﻔَﻊُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻪِ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ ﻭَﻣَﺎ ﺧَﻠْﻔَﻬُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺤِﻴﻄُﻮﻥَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻣِﻦْ ﻋِﻠْﻤِﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﻤَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﻭَﺳِﻊَ ﻛُﺮْﺳِﻴُّﻪُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺌُﻮﺩُﻩُ ﺣِﻔْﻈُﻬُﻤَﺎ ﻭَﻫُﻮَ

ﺍﻟْﻌَﻠِﻲُّ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢُ

 

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Apa itu makna dari “kursi Allah”? Perlu diketahui  ada beberapa pendapat mengenai makna “kursi Allah”. Dalam Fatwa Lajnah Daimah dijelaskan beberapa pendapat:

ﻛُﺮْﺳِﻴّﻪُ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ : ﻫﻮ ﻣﻮﺿﻊ ﻗﺪﻣﻲ ﺍﻟﺮﺏ – ﻋﺰ ﻭﺟﻞ – ﻭﻫﻮ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻱ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻛﺎﻟﻤﻘﺪﻣﺔ ﻟﻪ .
ﻭﻗﺪ ﻗﻴﻞ ﻓﻲ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﻣﻨﻬﺎ
– ﻣﺎ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﺣﺒﺮ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ – ﺃﻥ ﻣﻌﻨﻰ ﻛُﺮْﺳِﻴّﻪُ ﺃﻱ ﻋﻠﻤﻪ .
– ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ : ﻣﻨﻪ ﻗﻴﻞ ﻟﻠﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻜﺮﺍﺳﻲ، ﻭﻓﻴﻪ ﺍﻟﻜﺮﺍﺳﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺠﻤﻊ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ .
– ﻭﺭﺟﺢ ﺍﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﺍﻟﻄﺒﺮﻱ – ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ – ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﻮﻝ .
– ﻭﻗﻴﻞ ﻛُﺮْﺳِﻴّﻪُ ﻗﺪﺭﺗﻪ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﻤﺴﻚ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﺴﻤﺎﻭﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ .
– ﻭﻗﻴﻞ ﻛُﺮْﺳِﻴّﻪُ ﻋﺮﺷﻪ .
– ﻭﻗﻴﻞ ﻛُﺮْﺳِﻴّﻪُ ﺗﺼﻮﻳﺮ ﻟﻌﻈﻤﺘﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ

Makna kursi Allah adalah tempat diletakkannya kedua kaki Allah yang berada di hadapan ‘arsy, yaitu bagian depan (bawah) dari ‘arsy.

Ada beberapa pendapat lainnya:

1. Maknanya adalah ilmu Allah
Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas

2. Maknanya adalah “karrasah” yaitu tempat berkumpul ilmu tersebut
Ini pendapat sebagian ulama dan dirajihkan (dinilai kuat) oleh Ibnu Jarir At-Thabari

3. Maknanya adalah “qudrah” kemampuan Allah memegang/menggenggam langit dan bumi

4. Maknanya adalah ‘arsy

5. Maknanya adalah penggambaran kebesaran Allah Ta’ala

ﻣﺎ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺫﻛﺮ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ – ﻣﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﻫﻮ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻓﻬﻲ ﻻ ﺗﺼﺢ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺃﻥ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﻫﻮ ﺍﻟﻌﻠﻢ .

“Adapun riwayat dari Ibnu Abbas bahwa kursi Allah adalah “ilmu Allah” ini adalah riwayat yang tidak shahih, karena tidak ada dalam bahasa Arab makna kursi adalah ilmu.”[1]

Pendapat terkuat –wallahu a’lam– makna kursi Allah adalah tempat diletakkan kedua kaki Allah. Sebagaimana riwayat dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas,

Terkait tafsir dari ayat.

ﻭَﺳِﻊَ ﻛُﺮْﺳِﻴُّﻪُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi”

Ibnu Abbas berkata,

ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﻘﺪﻣﻴﻦ، ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻘﺪﺭ ﻗﺪﺭﻩ،
ﻗﺎﻝ : ﻭﻫﺬﻩ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺍﺗﻔﻖ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺻﺤﺘﻬﺎ، ﻗﺎﻝ : ﻭﻣﻦ ﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﺃﻧﻪ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻘﺪ ﺃﺑﻄﻞ

“Kursi adalah tempat diletakkan kedua kaki Allah, sedangkan ‘arsy tidak bisa diperkirakan ukurannya”.
(Riwayat ini disepakati keshahihannya oleh ahli ilmu dan riwayat bahwa kursi Allah adalah ilmu-Nya ini riwayat yang tidak shahih).[2]

Ibnu Hajar Al-Asqalani juga menshahihkan riwayat dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata:

ﻭﻟﻪ ﺷﺎﻫﺪ ﻋﻦ ﻣﺠﺎﻫﺪ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺑﺴﻨﺪ ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻨﻪ

“Riwayat ini mempunyai syahid (penguat) dari Mujahid diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur di dalam tafsirnya dengan sanad yang shahih.”[3]

Kursi Allah berbeda dengan ‘arsy Allah sebagaimana dalam riwayat berikut.

Abu Dzarr berkata: “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﻣَﺎ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕُ ﺍﻟﺴَّﺒْﻊُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜُﺮْﺳِﻲِّ ﺇِﻻَّ ﻛَﺤَﻠَﻘَﺔٍ ﻣُﻠْﻘَﺎﺓٍ ﺑِﺄَﺭْﺽِ ﻓَﻼَﺓٍ ﻭَﻓَﻀْﻞُ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜُﺮْﺳِﻲِّ ﻛَﻔَﻀْﻞِ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟْﻔَﻼَﺓِ ﻋَﻠَﻰ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟْﺤَﻠَﻘَﺔِ

“Tidaklah tujuh langit dibandingkan kursi (Allah) kecuali seperti cincin yang dilemparkan di tanah lapang dan besarnya ‘Arsy dibandingkan kursi adalah seperti tanah lapang dibandingkan dengan cincin “.[4]

Makna “wasi’a/وسع” yang diterjemahkan “meliputi” di dalam ayat tersebut adalah karena posisinya di atas dan lebih besar sehingga disebut “meliputi” sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim, beliau berkata,

ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻟﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻣﺤﻴﻄﺔ ﺑﺎﻷﺭﺽ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﺎﻟﻴﺔ ﻋﻠﻴﻬﺎ ، ﻭﻟﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﻣﺤﻴﻄﺎً ﺑﺎﻟﺴﻤﺎﻭﺍﺕ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﻟﻴﺎً ﻋﻠﻴﻬﺎ ، ﻭﻟﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻣﺤﻴﻄﺎً ﺑﺎﻟﻜﺮﺳﻲ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﻟﻴﺎً

“Oleh karena itu langit meliputi bumi karena berada di atasnya. Kursi meliputi langit karena berada di atasnya dan ‘Arsy meliputi kursi karena berada di atasnya.”[5]

Ada cukup banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah memiliki kaki. Sebagaimana hadits berikut yang menjelaskan tentang firman Allah,

ﻳَﻮْﻡَ ﻧَﻘُﻮﻝُ ﻟِﺠَﻬَﻨَّﻢَ ﻫَﻞِ ﺍﻣْﺘَﻸﺕِ ﻭَﺗَﻘُﻮﻝُ ﻫَﻞْ ﻣِﻦْ ﻣَﺰِﻳﺪٍ

“(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada jahannam: ‘Apakah kamu sudah penuh?’ Dia menjawab: ‘Masihkah ada tambahan?’” (QS. Qaaf: 30) .

Tatkala neraka meminta tambahan penghuni neraka, Allah meletakkan kaki ke neraka dan neraka menyempit.

Dan diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Dan setiap kalian merasa bahwa Neraka Jahanam penuh. Adapun Neraka Jahanam tidak akan penuh sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kedua kakinya hingga Neraka berkata, ‘Cukup, cukup, cukup’. Ketika itu penuhlah Neraka dan sebagian darinya menyempit dan penuhlah dia”.[6]

Syaikh Al-‘Utsaimin menjelaskan,

ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﻋﺜﻴﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﺍﻟﻮﺍﺳﻄﻴﺔ :
ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺃﻥ ﻧﺆﻣﻦ ﺑﺄﻥ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺪﻣﺎً، ﻭﺇﻥ ﺷﺌﻨﺎ ﻗﻠﻨﺎ ﺭﺟﻼً ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﻣﻊ ﻋﺪﻡ ﺍﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ، ﻭﻻ ﺗﻜﻴﻒ ﺍﻟﺮﺟﻞ

“Kesimpulannya adalah wajib bagi kita beriman bahwa Allah mempunyai telapak kaki atau kaki sebagaimana hakikatnya (tidak ditakwil makna lainnya) tanpa menggambarkan dan menyerupakan dengan kaki siapapun”.[7]

Demikian semoga bermanfaat

@Yogyakarta Tercinta

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Artikel Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 82/120

[2] HR. Hakim dalam mustadrak, ia berkata hadits shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Demikian juga Adz-Dzahabi berkata dalam Talkhis, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar Al-‘Uluw

[3] Lihat Fathul Baari

[4] HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/166), Abu Syaikh dalam Al-‘Adzamah (2/648-649), Al-Baihaqi dalam Al-Asmaa was Sifaat (2/300-301) dan lainnya, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah no. 109 dengan menggabungkan semua jalurnya.

[5] As-Shaqaiqul Mursalah 4/1308

[6] HR. Muslim

[7] Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah Syaikh Al-‘Utsaimin

__
Follow akun (klik):
Telegram: bit.ly/muslimafiyah

Share:

CARA MENAFSIRKAN AL QUR'AN YANG BENAR

Mengenal Macam-macam Tafsir Al-Qur'an Sejak Zaman Sahabat

Salah satu lagi cara menafsirkan Al Qur’an yang keliru adalah menafsirkan Al Qur’an dengan logika, akal pikiran, tanpa ilmu.

Ibnu Katsir mengatakan, “Menafsirkan Al Qur’an dengan logika semata, hukumnya haram.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 11).

Dalam hadits disebutkan,

وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).

Masruq berkata,

اتقوا التفسير، فإنما هو الرواية عن الله

“Hati-hati dalam menafsirkan (ayat Al Qur’an) karena tafsir adalah riwayat dari Allah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 16. Disebutkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil dengan sanad yang shahih)

Asy Sya’bi mengatakan,

والله ما من آية إلا وقد سألت عنها، ولكنها الرواية عن الله عز وجل

“Demi Allah, tidaklah satu pun melainkan telah kutanyakan, namun (berhati-hatilah dalam menafsirkan ayat Al Qur’an), karena ayat tersebut adalah riwayat dari Allah.” (Idem. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, sanadnya shahih).

Ibrahim An Nakho’i berkata,

كان أصحابنا يتقون التفسير ويهابونه

“Para sahabat kami begitu takut ketika menafsirkan suatu ayat, kami ditakut-takuti ketika menafsirkan.” (Idem. Diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil, Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, sanadnya shahih).

Cara Menafsirkan Al Qur’an yang Benar
Ibnu Katsir menunjukkan bagaimana cara terbaik menafsirkan Al Qur’an sebagai berikut:

1- Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Jika ada ayat yang mujmal (global), maka bisa ditemukan tafsirannya dalam ayat lainnya.

2- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits.

3- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan perkataan sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat, lebih-lebih ulama sahabat dan para senior dari sahabat Nabi seperti khulafaur rosyidin yang empat, juga termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.

4- Jika tidak didapati, barulah beralih pada perkataan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah (bekas budak Ibnu ‘Abbas), ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda’, Sa’id bin Al Musayyib, Abul ‘Aliyah, Ar Robi’ bin Anas, Qotadah, dan Adh Dhohak bin Muzahim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 1: 5-16)

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.



Disusun di pagi hari penuh berkah, 16 Rabi’uts Tsani 1435 H di Panggang, Gunungkidul

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

sumber:https://rumaysho.com/6575-menafsirkan-al-quran-dengan-logika.html

TAUSIYAH USTADZ MANHAJ SALAF
👇
https://www.facebook.com/groups/868927257389336/?ref=share

Share:

HADITS PALSU TENTANG KEUTAMAAN SHALAWAT KEPADA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

 Hadis-Hadis Palsu di Sekitar Kita | Republika Online Mobile

Pertanyaan

Hadits ini saya dapatkan dari salah satu buku keagamaan, yang berbunyi:

 من صلى علي مرة واحدة صلى الله عليه عشر مرات ، ومن صلى علي عشر مرات صلى الله عليه مائة مرة ، ومن صلى علي مائة مرة صلى الله عليه ألف مرة، ومن صلى علي ألف مرة حرم الله جسده على النار، وثبته بالقول الثابت في الحياة الدنيا، وفي الآخرة عند المسألة، وأدخله الجنة، وجاءته صلاته علي نور يوم القيامة على الصراط مسيرة خمسمائة عام ، وأعطاه الله بكل صلاة صلاها قصرا في الجنة قل ذلك أو كثر

 “Barang siapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali, dan barang siapa yang bershalawat kepadaku 10 kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 100 kali, dan barang siapa yang bershalawat kepadaku 100 kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 1000 kali, dan barang siapa yang bershalawat kepadaku 1000 kali, maka Allah akan mengharamkan tubuhnya dari api neraka, dan akan menetapkan ucapan yang kuat pada kehidupan dunia dan pada kehidupan akhirat pada saat ada masalah, dan Dia akan memasukkannya ke dalam surga, dan shalawatnya akan datang kepadanya berupa cahaya pada hari kiamat pada saat berada di atas shirat yang ditempuh selama 500 tahun perjalanan, dan Allah telah memberikan kepadanya bagi setiap shalawat yang diucapkan sebuah istana di dalam surga, baik dengan jumlah sedikit ataupun banyak“.

 Setelah lama mencari saya tidak menemukan hadits ini, maka sejauh mana keshahihan hadits ini ?

 Jawaban

Alhamdulillah.

 Hadits ini tidak ada dasarnya dengan redaksi lengkap tersebut.

 Akan tetapi redaksi berikut ini:

  مَنْ صَلَّى عَليَّ مرة وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرً مرات  

 “Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali”.

 Radaksi ini adalah hadits yang ada riwayatnya dan sudah dikenal.

 Imam Muslim (408) telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى الله عَلَيْهِ عَشْرًا  

 “Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershawalat kepadanya 10 kali”.

 Sabda beliau yang lainnya:

 ومن صلى علي عشر مرات صلى الله عليه مائة مرة

 روى نحوا منه الطبراني في “المعجم الأوسط” (7235) ، والصغير” (899)

 “Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershawalat kepadanya 100 kali”. [HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Ausath: 7235 dan As Shaghir: 899].

 Dari Anas bin Malik berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا، وَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ عَشْرًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ مِائَةً، وَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ مِائَةً كَتَبَ اللَّهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ: بَرَاءَةً مِنَ النِّفَاقِ، وَبَرَاءَةً مِنَ النَّارِ، وأَسْكَنَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الشُّهَدَاءِ 

 “Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali, dan barang siapa yang bershalawat kepadaku 10 kali maka Allah akan bershalawat kepadanya 100 kali, dan barang siapa yang bershalawat kepadaku 100 kali, maka akan Allah akan menuliskan di antara kedua matanya: terbebas dari kemunafikan, terbebas dari neraka, dan Allah akan menempatkannya pada hari kiamat bersama para syuhada”.

 Hadits ini telah disebutkan oleh Albani di dalam Adh Dha’ifah: 6852 dan berkata: “Hadits mungkar tanpa kalimat pertama”.

 Adapun sabda beliau:

 ( ومن صلى علي ألف مرة حرم الله جسده على النار … ) إلخ :

 “Dan barang siapa yang bershalawat kepadaku 1000 kali, maka Allah akan mengharamkan jasadnya dari api neraka…..”.

 Maka kami tidak mengetahui ada dasarnya, As Sakhawi –rahimahullah- telah menyebutkan di dalam Al Qaul Al Badi’: 115 satu hadits dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- dari para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mereka berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 من صلى علي صلاة واحدة صلى الله عليه عشراً، ومن صلى علي عشراً صلى الله عليه مائة، ومن صلى علي مائة صلى الله عليه ألفا، ومن صلى علي ألفا زاحمت كتفه كتفي على باب الجنة

 “Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali, dan barang siapa yang bershalawat kepadaku 10 kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 100 kali, dan barang siapa yang bershalawat kepadaku 100 kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 1000 kali, dan barang siapa yang bershalawat kepadaku 1000 kali, maka pundaknya akan berdampingan dengan pundakku di dalam pintu surga”.

 Baca Juga  Shalawat Para Malaikat Bagi Orang yang Bershalawat

As Sakhawi berkata setelahnya : Disebutkan oleh penulis Ad Durr Al Munadzam, akan tetapi saya belum mengetahui dasarnya sampai sekarang, saya kira itu adalah hadits palsu.

 Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata di dalam Jala’ Al Afham (67): “Dan ‘Isyari telah meriwayatkan dari hadits Al Hakam bin ‘Athiyah dari Tsabit bin Anas berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

   من صلى على فِي يَوْم ألف مرّة لم يمت حَتَّى يرى مَقْعَده من الْجنَّة

 “Barang siapa yang bershalawat kepadaku dalam satu hari 1000 kali, ia tidak akan meninggal dunia sampai melihat tempat duduknya dari surga”.

 Al Hafidz Abu Abdillah Al Maqdisi berkata : “Saya tidak mengetahui kecuali dari hadits Al Hakam bin ‘Athiyyah. Ad Daruquthni berkata: “Ia meriwayatkan dari Tsabit beberapa hadits yang tidak bisa diikuti”. Imam Ahmad berkata: “Tidak masalah, hanya saja Abu Daud At Thayalisi telah meriwayatkan darinya beberapa hadits mungkar”.

 Imam Bukhori berkata : “Abu Al Walid telah mendha’ifkannya, dan An Nasa’i berkata: “Tidak kuat”. Ibnu Hibban berkata: “Abu Al Walid banyak menghafalnya, dan Al Hakam tidak mengetahui apa yang diriwayatkannya, bisa jadi meragukan pada riwayat ini hingga muncul seperti hadits palsu, maka berhak untuk ditinggalkan”. [Tahdzib At Tahdzib: 2/374]

 Telah diriwayatkan tentang keutamaan bershalawat kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- banyak hadits yang shahih dan tidak lagi membutuhkan hadits yang tersebut di atas, maka simaklah pada:

 Kitab “Fadhlu As Shalati ‘Ala An Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- disusun oleh Isma’il Al Jahdhami, ditahqiq oleh Albani

###

Jala’ul Al Afham disusun oleh Ibnu Qayyim.

Disalin dari islamqa

Referensi : https://almanhaj.or.id/4684-hadits-palsu-tentang-keutamaan-shalawat-kepada-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html

Share:

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

LISTEN QURAN

Listen to Quran

Popular Posts

Blog Archive

Recent Posts

Pages