Tafsir Surat Al Bayyinah (3): Balasan bagi Orang Beriman dan Orang Kafir

Tafsir Al-Qur'an - Posts | Facebook
Bagi mereka yang beriman tentu akan mendapatkan tempat kembali yang baik dan merekalah yang disebut sebaik-baiknya makhluk. Orang beriman inilah yang mendapati surga, di mana surga tersebut disifati ‘adn, yaitu penghuninya kekal di dalamnya dan tidak keluar-keluar, bahkan mereka mendapatkan kenikmatan yang lebih besar dari itu yaitu meraih ridho Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan bagi mereka yang kafir, mereka mendapatkan tempat kembali yang jelek dan mereka dicap sebagai sejelek-jeleknya makhluk di sisi Allah sehingga Allah berlepas diri dari mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ (6) إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ (7) جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ (8)

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.”(QS. Al Bayyinah: 6-8).

Tempat Orang Kafir dan Mereka Sejelek-Jelek Makhluk

Mengenai tempat orang kafir yaitu bagi ahli kitab dan non-muslim lainnya kelak adalah di neraka. Mereka akan kekal di dalamnya. Sebagaimana diterangkan dalam surat ini,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk “.

Jika dikatakan mereka kekal di dalamnya, berarti mereka terus menerus di dalamnya dan tidak berpindah dari tempat tersebut.

Mereka pun disebut sejelek-jeleknya makhluk yang Allah berlepas diri dari mereka.

Kata Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah, “Ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) serta orang-orang musyrik adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah. Jika mereka adalah sejelek-jelek makhluk, maka berarti dipastikan pada mereka kejelekan. Karena yang dimaksud kejelekan di sini adalah nampak pada mereka kejelekan yang tidak mungkin kita berhusnuzhon (berprasangka baik) pada mereka. Kecuali ada beberapa orang yang dipersaksikan langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara orang musyrik seperti ‘Abdullah bin Ariqoth. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyewanya untuk menunjukkan jalan ketika hijrah. Akan tetapi selain dia, yaitu mayoritas orang musyrik adalah tidak bisa kita menaruh percaya pada mereka. Karena mereka adalah sejelek-jeleknya makhluk.” (Tafsir Juz ‘Amma Syaikh Utsaimin, hal. 284).

Balasan bagi Mereka yang Beriman

Kemudian setelah itu Allah menerangkan mengenai balasan bagi orang yang beriman. Mereka yang beriman di sini adalah yang beriman dengan hati mereka dan melakukan amalan sholeh dengan badan mereka. Mereka yang beriman seperti inilah yang disebut sebaik-baik makhluk.

Firman Allah Ta’ala,

أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

“mereka itu adalah sebaik-baik makhluk “. Dari ayat ini, Abu Hurairah dan ulama lainnya berpendapat bahwa orang beriman tetap lebih utama dari para malaikat berdasarkan ayat yang mulia ini.

Pada hari kiamat balasan bagi orang beriman adalah,

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ

“Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn“, yang dimaksud ‘Adn di sini adalah mereka terus berada dalam surga (tidak keluar) dan tidak ada masa berakhir mereka di dalamnya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah.  Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa memasuki surga ‘adn maksudnya adalah ketika seseorang memasuki surga maka ia akan terus di dalamnya, tidak berpindah bahkan ia pun tidak ingin meminta lebih dari itu (karena sudah merasa tentram di dalamnya). 

Merekalah yang dapat ridho Allah,

رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ

“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” Dari ayat ini, Ibnu Katsir berkata bahwa ridho Allah pada orang beriman itu sudah lebih mulia dari segala nikmat abadi yang Allah berikan.

Itulah balasan bagi orang-orang yang takut pada Allah. Ibnu Katsir berkata, “Itulah balasan bagi mereka yang takut pada Allah dan yang bertakwa dengan benar pada-Nya. Itu juga balasan untuk orang yang beribadah pada Allah seakan-akan ia melihat-Nya. Jika ia tidak melihat-Nya, maka ia yakin bahwa Allah selalu memperhatikan dirinya.” Balasan bagi mereka ini disebutkan dalam ayat yang kita kaji,

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

“Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga yang mereka terus di dalamnya yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya“.

Semoga kita dijadikan sebaik-baik makhluk dengan keimanan dan dijauhkan dari sifat makhluk yang durhaka karena kekafiran. Moga Allah pun memberi taufik pada kita untuk menjadi orang-orang yang terus takut pada Allah.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Tafsir Al Qur’anul Karim (Juz ‘Amma), Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Daruts Tsaroya, cetakan ketiga, tahun 1424 H.

Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsiril Kalamil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.


Diselesaikan Ahad sore @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 12 Ramadhan 1434 H

Artikel Rumaysho.Com

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/3493-tafsir-surat-al-bayyinah-3-balasan-bagi-orang-beriman-dan-orang-kafir.html

Share:

Surat Al Falaq Terjemahan, Tafsir dan Asbabun Nuzul

Surat Al Falaq : Asbabun Nuzul, Arab, Arti, dan KeutamaanSurat Al Falaq merupakan surat ke-113 dalam Al Quran. Namun dalam urutan turunnya, ia merupakan surat ke-20. Berikut ini terjemahan Surat Al Falaq, asbabun nuzul dan tafsirnya dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah.

Artikel ini bukanlah tafsir baru. Kami berusaha mensarikan dari lima tafsir di atas agar ringkas dan mudah dipahami, bukan membuat tafsir tersendiri yang kami sangat jauh dari maqam tersebut.

Terjemahan Surat Al Falaq

Berikut ini Surat Al Falaq dalam tulisan Arab, tulisan latin dan terjemahan bahasa Indonesia:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ . مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ . وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ . وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ . وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

(Qul a’uudzu birobbil falaq. Min syarri maa kholaq. Wa min syarri ghoosiqin idzaa waqob. Wa min syarrin naffaatsaati fil ‘uqod. Wa min syarri haasidin idzaa hasad)

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”.
Asbabun Nuzul Surat Al Falaq

Surat Al Falaq terdiri dari lima ayat. Kata Al Falaq yang berarti “yang terbelah” diambil dari ayat pertama. Ia disebut pula surat Qul a’udzu birabbil falaq.

Bersama surat An Nas, keduanya disebut al mu’awwidzatain. Yakni dua surat yang menuntun pembacanya menuju tempat perlindungan. Surat Al Falaq disebut al mu’awwidzah al ‘ula. Sedangkan Surat An Nas disebut al mu’awwidzah ats tsaaniyah.

Surat Al Falaq dan Surat An Nas juga disebut al muqasyqisyatain. Yaitu dua surat yang membebaskan manusia dari kemunafikan.

Surat ini turun satu paket dengan surat An Nas. Menurut pendapat Hasan, Atha’, Ikrimah dan Jabir, keduanya adalah surat makkiyah. Ini merupakan pendapat mayoritas. Namun ada juga yang berpendapat keduanya adalah madaniyah berdasarkan riwayat Ibnu Abbas dan Qatadah.

Asbabun nuzul surat Al Falaq ini, kafir Quraisy Makkah berupaya mencederai Rasulullah dengan ‘ain. Yakni pandangan mata yang merusak atau membinasakan. Ada kepercayaan tertentu bahwa mata melalui pandangannya bisa membinasakan. Dan memang ada orang-orang tertentu yang matanya demikian.

Maka Allah menurunkan dan mengajarkan Surat Al Falaq dan Surat An Nas kepada Rasulullah untuk menangkalnya. Ini asbabun nuzul yang menjadi tumpuan pendapat bahwa Surat Al Falaq adalah makkiyah.

Asbabun nuzul yang menjadi dasar pendapat ayat ini Madaniyah, surat ini diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saat seorang Yahudi Madinah bernama Lubaid bin A’sham menyihir beliau. (Baca: Kisah Rasulullah Disihir)

Lubaid bin A’sham menyihir Rasulullah dengan media pelepah kurma berisi rambut beliau yang rontoh ketika bersisir, beberapa gigi sisir beliau serta benang yang terdapat 11 ikatan yang ditusuk jarum. Lalu Allah menurunkan Surat Al Falaq dan An Nas.

Setiap satu ayat dibacakan, terlepaslah satu ikatan hingga Rasulullah merasa lebih ringan. Ketika seluruh ayat telah dibacakan, terlepaslah seluruh ikatan tersebut. Namun riwayat ini ditolak oleh Ibnu Katsir. Beliau menguatkan pendapat bahwa surat Al Falaq dan An Nas adalah surat makkiyah.
Surat Al Falaq ayat 1

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh”

Kata qul (قل) artinya katakanlah. Yakni “katakanlah wahai Muhammad dan ajarkanlah juga kepada umatmu.”

A’uudzu (أعوذ) terambil dari kata ‘audz (عوذ) yakni menuju kepada sesuatu untuk menghindar dari sesuatu yang ditakuti.

Rabb (رب) mengandung makna kepemilikan dan kepemeliharaan serta pendidikan yang melahirkan pembelaan serta kasih sayang. Dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran disebutkan, Ar Rabb adalah Tuhan yang memelihara, Yang mengarahkan, Yang menjaga dan Yang melindungi.

Al Falaq (الفلق) berasal dari kata falaqa (فلق) yang artinya membelah. Kata ini dapat berarti subjek sehingga maknanya “pembelah” juga bisa berarti objek yang maknanya “yang dibelah.”

Sebagian ulama menafsirkan al falaq sebagai pagi atau subuh. Sebab malam itu tertutup dan kehadiran cahaya pagi dari celah-celah kegelapan malam menjadikannya bagai terbelah. Dengan demikian Rabbul Falaq tidak lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Dialah yang menjadikan pagi, membawa terang muncul di tengah kegelapan.

Jabir dan Ibnu Abbas juga mengatakan al falaq (الفلق) artinya subuh. Demikian pula Mujahid, Sa’id bin Jubair, Qatadah dan mufassirin lainnya. Dalam riwayat lainnya, Ibnu Abbas mengatakan al falaq artinya makhluk. Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari memilih pendapat pertama.

Dengan menyadari bahwa Allah mampu membelah kegelapan malam dengan terangnya pagi, seseorang akan yakin bahwa Allah juga kuasa menyingkirkan kejahatan dan kesulitan dengan menurunkan pertolongan.

Sebagian ulama lainnya menafsirkan al falaq dalam pengertian luas. Yakni segala sesuatu yang terbelah; tanah dibelah oleh tumbuhan, tanah terbelah oleh mata air, biji-bijian juga terbelah, dan masih banyak lagi. Allah mensifati diriNya faaliqu al habb wa an nawa (فالق الحب والنوى) “pembelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan” dalam Surat Al An’am ayat 95. Allah juga mensifati diriNya faliqu al isbah (فالق الأصباح) “pembelah kegelapan malam dengan cahaya pagi” dalam Surat Al An’am ayat 96.

Surat Al Falaq ayat 2

مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

dari kejahatan makhluk-Nya

Kata syar (شر) pada mulanya berarti buruk atau mudharat. Lawan dari khair (خير) yang berarti baik. Ibnu Qayyim Al Jauziyah menjelaskan, syar mencakup dua hal yaitu sakit (pedih) dan yang mengantar kepada sakit (pedih). Penyakit, kebakaran, tenggelam adalah sakit. Sedangkan kekufuran, maksiat dan sebagainya mengantar kepada sakit atau kepedihan siksa Ilahi.

Kata maa (ما) berarti apa. Sedangkan khalaq (خلق) adalah bentuk kerja masa lampau (madhi) dalam arti yang telah diciptakan. Sehingga maa khalaq (ما خلق) berarti makhluk ciptaanNya.

Ketika menafsirkan Surat Al Falaq ayat 2 ini, Ibnu Katsir mengatakan: “yakni dari kejahatan semua makhluk.”
Surat Al Falaq ayat 3

وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ

dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita

Kata ghaasiq (غاسق) artinya adalah malam, berasal dari kata ghasaqa (غسق) yang berarti penuh. Malam dinamai ghaasiq karena kegelapannya memenuhi angkasa.

Kata waqaba (وقب) berasal dari kata al waqb (الوقب) yaitu lubang yang terdapat pada batu sehingga air masuk ke dalam lubang itu. Sehingga ayat ini bermakna malam yang telah masuk ke dalam kegelapan sehingga ia menjadi sangat kelam.

Sering kali kejahatan direncanakan dan terjadi pada waktu malam. Mulai dari pencuri, perampok, pembunuh, hingga binatang buas dan penjaja maksiat.

Namun malam tidak selalu identik dengan kejahatan karena waktu terbaik mendekat kepada Allah juga pada malam hari. Maka ayat ini tidak mengajarkan berlindung dari malam tetapi berlindung dari kejahatan yang terjadi di waktu malam.

Mujahid mengatakan bahwa maksud Surat Al Falaq ayat 3 ini adalah bila matahari telah tenggelam. Abu Hurairah mengatakan maksudnya adalah bintang, sedangkan hadits dari Aisyah mengisyaratkan artinya adalah rembulan.

Ibnu Katsir memadukan ketiganya dan menyimpulkan bahwa artinya tidak bertentangan. Karena rembulan adalah tanda malam, demikian pula dengan bintang.
Surat Al Falaq ayat 4

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ

dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul

Kata an naffaatsaat (النفاثات) merupakan bentuk jamak dari an naffaatsah (النفاثة). Berasal dari kata nafatsa (نفث) yang artinya meniup sambil menggerakkan lidah namun tidak mengeluarkan ludah.

Sebagian ulama berpendapat ta’ marbuthah pada kata ini menunjukkan arti muannats (perempuan). Namun sebagian ulama berpendapat ta’ marbuthah pada kata ini sebagai mubalaghah sehingga bisa laki-laki maupun perempuan.

Kata al ‘uqad (العقد) merupakan bentuk jamak dari ‘uqdah (عقدة) berasal dari kata ‘aqada (عقد) yang artinya mengikat. Kata ini bisa bermakna hakiki yang berarti tali yang mengikat. Bisa pula bermakna majazi yang berarti kesungguhan dan tekad untuk mempertahankan isi kesepakatan.

Makna majazi terdapat pada Surat Al Baqarah ayat 235 dan Surat Al Baqarah ayat 237, yakni uqdatun nikah. Serta pada surat Thaha ayat 27 yakni uqdatan min lisaanii.

Mayoritas ulama memilih makna hakiki, sehingga artinya adalah perempuan-perempuan tukang sihir yang meniup-niup pada buhul-buhul dalam rangka menyihir. Mujahid, Ikrimah, Al Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah wanita-wanita penyihir.

Ketika menafsirkan Surat Al Falaq ayat 4 ini, Sayyid Qutb mengatakan, an naffaatsaat fil uqad artinya adalah wanita-wanita tukang sihir yang berusaha mengganggu dan menyakiti dengan jalan menipu indra, menipu saraf dan memberi kesan pada jiwa dan perasaan.

Surat Al Falaq ayat 5

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki

Kata hasad (حسد) artinya iri hati atas nikmat yang dimiliki orang lain disertai harapan kiranya nikmat itu hilang darinya, baik diperoleh yang iri atau tidak.

Permohonan perlindungan terhadap kejahatan orang-orang yang hasad dikaitkan dengan idzaa hasad (إذا حسد). Saat masih berada dalam hati, yang hasad disebut haasid, tapi kejahatannya belum menimpa orang lain. Namun begitu dicetuskan dalam bentuk ucapan atau perbuatan, inilah yang digambarkan dalam Surat Al Falaq ayat 5 ini. Demikian Tafsir Al Misbah.

Sedangkan Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menjelaskan, bahkan kalaupun orang yang hasad itu belum mengeluarkan dalam ucapan atau perbuatan, sikap jiwanya bisa mengakibatkan keburukan. Hal seperti getaran dari jauh akibat hasad ini merupakan misteri, maka untuk menangkalnya harus meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Penutup Tafsir Surat Al Falaq

Surat Al Falaq dan Surat An Nas merupakan pengarahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada NabiNya dan seluruh kaum muslimin agar berlindung di bawah perlindungan Allah.

Dialah Rabb yang menguasai subuh dan seluruh makhluk. Maka orang yang beriman harus memohon perlindunganNya dari kejahatan seluruh makhluk. Surat Al Falaq ayat 2 ini sebenarnya telah merangkum segala bentuk kejahatan yang kita minta perlindungan kepadaNya.

Namun disebutkan tiga kejahatan yang lebih detil agar menjadi perhatian. Yakni kejahatan yang terjadi di waktu malam. Kejahatan wanita-wanita tukang sihir. Serta kejahatan pendengki bila ia dengki.

Untuk menangkal kejahatan makhluk, penyakit ‘ain dan sihir hingga was-was dari setan, Allah mengajarkan Surat Al Falaq dan Surat An Nas. Rasulullah pun mengajarkan kepada sahabatnya.

يَا ابْنَ عَابِسٍ أَلَا أَدُلُّكَ أَوْ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ مَا يَتَعَوَّذُ بِهِ الْمُتَعَوِّذُونَ قَالَ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ هَاتَيْنِ السُّورَتَيْنِ

“Wahai Ibnu Abbas, maukah kamu aku tunjukkan –atau maukah kamu aku beritahu- sesuatu yang paling baik digunakan untuk berlindung?” Ibnu Abbas menjawab, “Iya wahai Rasulullah.” Beliapun bersabda: “Qul a’udzu birabbil falaq dan Qul a’udzu birabbin nas, dua surat ini.” (HR. An Nasa’i; shahih)

Demikian Surat Al Falaq mulai dari terjemahan, asbabun nuzul hingga tafsir yang disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

Sumber : https://bersamadakwah.net/surat-al-falaq/
Share:

Surat Al Lahab dan Artinya, Tafsir dan Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul Surah Al-Lahab | ZIBINUMASurat Al Lahab adalah surat ke-111 dalam Al Quran. Berikut ini terjemahan, asbabun nuzul, dan tafsir Surat Al Lahab.

Surat ini terdiri dari lima ayat dan merupakan Surat Makkiyah. Dinamakan surat Al Lahab karena surat ini membicarakan Abu Lahab yang suka menyakiti Rasulullah dan balasan baginya berupa neraka yang apinya bergejolak (al lahab). Kata lahab (لهب) yang merupakan azab bagi Abu Lahab disebutkan di ayat tiga.

Ia disebut juga Surat Al Masad. Diambil dari ayat terakhir pada surat ini, ketika mensifati istri Abu Lahab. Juga dinamakan Surat Tabbat karena firman Allah ini diawali dengan kata tersebut.

Surat Al Lahab dan Artinya

Berikut ini Surat Al Lahab dalam tulisan Arab, tulisan latin dan artinya dalam bahasa Indonesia:

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ . مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ . سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ . وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ . فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ

(Tabbat yadaa abii lahabiw watabb. Maa aghnaa ‘anhu maaluhuu wamaa kasab. Sayashlaa naaron dzaata lahab. Wamroatuhuu hammaalatal hathob. Fii jiidihaa hablum mim masad)

Artinya:
Binasalah kedua tangan Abu lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta benda dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang dilehernya ada tali dari sabut.
Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul surat Al Lahab diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahih-nya. Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam naik ke bukit Shafa, mengumpulkan orang-orang Quraisy lalu menyeru mereka.

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ يُصَبِّحُكُمْ أَوْ يُمَسِّيكُمْ أَمَا كُنْتُمْ تُصَدِّقُونِى

“Bagaimana pendapat kalian jika aku sampaikan kepada kalian bahwa musuh akan menyerang di pagi hari atau petang hari, apakah kalian percaya?”

Mereka menjawab, “kami percaya.” Lalu Rasulullah mengatakan,

فَإِنِّى نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَىْ عَذَابٍ شَدِيدٍ

“Maka sesungguhnya aku memperingatkan kepada kalian akan datangnya adzab yang keras.”

Tiba-tiba Abu Lahab menyela, “tabbal laka alihaadzaa. Celakalah kamu ini, karena inikah engkau mengumpulkan kami?”

Maka Allah pun menurunkan Surat Al Lahab.

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

Binasalah kedua tangan Abu lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.. (hingga akhir surat)

Abu Lahab yang nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muthallib sebenarnya masih paman Rasulullah. Namun orang yang memiliki nama kuniyah Abu Utaibah itu adalah orang yang paling sengit menyakiti Rasulullah.

Orang yang memiliki julukan (laqab) Abu Lahab karena wajahnya mengkilap ini sering mengikuti Rasulullah dari belakang lalu mendustakan beliau. Ia mempengaruhi orang-orang untuk menolak dakwah beliau.

Imam Ahmad meriwayatkan, suatu ketika Rasulullah sedang mendakwahi orang-orang untuk masuk Islam. Dari belakang, ada laki-laki berwajah cerah, bermata juling dan rambutnya berkepang yang tidak lain adalah Abu Lahab mengatakan, “Sesungguhnya dia adalah pemeluk agama baru lagi pendusta.”

Surat Al Lahab ini merupakan ancaman balasan dari Allah untuk Abu Lahab dan istrinya yang juga tak kalah sengit menyakiti Rasulullah. Bahwa kelak, Abu Lahab akan masuk neraka dengan siksa yang sangat pedih.

Tafsir Surat Al Lahab

Tafsir surat Al Lahab ini bukanlah tafsir baru. Kami berusaha mensarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah. Agar ringkas dan mudah dipahami.
Surat Al Lahab ayat 1

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

Binasalah kedua tangan Abu lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

Kata tabbat (تبت) atau tabba (تب) terdiri dari dua hufur yaitu ta’ (ت) dan ba’ (ب). Penggabungan dua huruf ini, manapun yang didahulukan, mengandung arti keputusan atau kepastian yang pada umumnya berakhir dengan kebinasaan.

Yadaa (يدا) artinya adalah kedua tangan. Namun yang binasa dari Abu Lahab bukan hanya tangannya namun keseluruhan dirinya. Ini adalah bentuk majazi.

Awalnya ia dijuluki Abu Lahab karena wajahnya cerah atau mengkilap. Namun kata lahab (لهب) juga berarti kobaran api yang menyala dan sudah tidak memiliki asap lagi. Setelah Rasulullah diutus dan dia menyakiti beliau, nama lahab mengisyaratkan bahwa ia akan dibakar api bergejolak di neraka.

Ada juga yang berpendapat, nama Abu Lahab mengisyaratkan bahwa gejolak api selalu menyertainya. Yakni api permusuhannya kepada Rasulullah.

Menurut Ibnu Katsir, ayat pertama Surat Al Lahab ini menunjukkan bahwa Abu Lahab celaka, telah nyata merugi dan binasa.

Kebinasaan Abu Lahab di dunia bisa disaksikan orang-orang yang melihat kematiannya. Setelah perang badar, Abu Lahab ditimpa penyakit lepra hingga akhirnya meninggal. Teman-temannya tidak ada yang yang mau menguburkannya karena takut kalau menyentuhnya akan tertular. Hingga tiga hari jasadnya dibiarkan. Akhirnya digali lubang di bawah tempat tidurnya dan ia dijatuhkan ke lubang itu sebagai kuburnya.
Surat Al Lahab ayat 2

مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

Tidaklah berfaedah kepadanya harta benda dan apa yang ia usahakan.

Kata aghna (أغنى) merupakan bentuk lampau. Seakan-akan tidak bergunanya harta dan usahanya di masa datang sudah tidak berguna bagi Abu Lahab.

Maa kasab (ما كسب) dalam ayat ini menurut menurut Ibnu Abbas dan Aisyah adalah anak.

Abu Lahab begitu membanggakan harta dan anak-anaknya. Ia pernah mengatakan, “Jika apa yang dikatakan oleh keponakanku ini benar, maka sesungguhnya aku di hari kiamat kelak akan menebus diriku dari azab dengan harta dan anak-anakku.”

Apa yang dikatakan Abu Lahab hanyalah angan-angannya. Harta dan anak-anak serta apa yang ia usahakan setelah turunnya ayat ini sama sekali tidak bermanfaat baginya. Sama sekali tidak akan bisa menyelamatkannya dari kebinasaan.

Baca juga: Surat Yasin
Surat Al Lahab ayat 3

سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.

Kata lahab (لهب) ini artinya kobaran api yang menyala dan sudah tidak memiliki asap lagi. Dan dengan itulah Abu Lahab akan diazab.

Ayat ini menjelaskan kebinasaan yang akan dialami Abu Lahab di akhirat kelak. Bahwa ia akan dimasukkan ke dalam neraka. Yang apinya, menurut Ibnu Katsir, menyala dengan hebatnya dan sangat membakar.
Surat Al Lahab ayat 4

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.

Istri Abu Lahab bernama Ummu Jamil. Nama aslinya adalah Arwah binti Harb bin Umayyah, saudara perempuan Abu Sufyan. Seperti suaminya, Ummu Jamil juga sangat sengit menyakiti Rasulullah.

Ia disebut Al Qur’an sebagai hammaalatal hathab (حمالة الحطب) yang artinya adalah pembawa kayu bakar. Ia pernah meletakkan ranting-ranting berduri di jalan yang dilalui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kalimat hammaalatal hathab (حمالة الحطب) juga berarti pembawa isu dan fitnah. Ummu Jamil suka mengejek Rasulullah sebagai orang fakir.
Surat Al Lahab ayat 5

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ

Yang dilehernya ada tali dari sabut.

Kata jiid (جيد) artinya adalah leher. Kata ini biasanya digunakan untuk menggambarkan keindahan leher wanita yang dihiasi dengan kalung.

Kata masad (مسد) adalah sejenis tali yang berasal dari pohon Al Masad yang tumbuh di Yaman dan dikenal sangat kuat. Masad juga berarti tali yang terbuat dari sabut.

Ayat ini menggambarkan betapa hinanya dia. Bagian tubuh yang seharusnya indah justru terjerat dengan tali yang terbuat dari sabut.

Ibnu Jarir menuturkan, istri Abu Lahab memiliki sebuah kalung mewah yang sangat mahal. Ia mengatakan, “Sesungguhnya aku akan menjual kalung ini untuk (biaya) memusuhi Muhammad.” Maka Allah menghukumnya dengan tali dari api neraka yang dikalungkan di lehernya.

Ketika menafsirkan ayat ini, Mujahid mengatakan bahwa maknanya adalah pasung leher yang terbuat dari besi.

Baca juga: Isi Kandungan Surat Al Lahab
Penutup

Surat ini menunjukkan betapa luar biasanya ilmu Allah. Bahwa Al Quran dan Rasulullah selalu benar meskipun Abu Lahab mendustakannya. Seandainya Abu Lahab pura-pura masuk Islam, ia mungkin punya amunisi untuk menuduh bahwa Al Quran keliru. Tapi Abu Lahab benar-benar selalu menentang Rasulullah dan pada akhirnya binasa seperti firman Allah di surat ini.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili mengatakan, surat Al Lahab ini menjelaskan bentuk siksa Abu Lahab dan istrinya Ummu Jamil serta balasan mereka berdua di dunia dan akhirat. Karena memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Demikian Surat Al Lahab mulai dari terjemahan, asbabun nuzul, hingga tafsir. Semoga kita termasuk umat Rasulullah yang selalu siap membela beliau dari orang-orang yang memusuhinya. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah] 

Sumber : https://bersamadakwah.net/surat-al-lahab/
Share:

Surat Al Ikhlas Terjemahan, Tafsir dan Asbabun Nuzul

Sebab Turunnya Surat Al Ikhlas - Ust. Oemar Mita, Lc. - YouTubeSurat Al Ikhlas merupakan surat ke-112 dalam Al Quran. Berikut ini terjemahan Surat Al Ikhlas, asbabun nuzul dan tafsirnya.

Artikel ini bukanlah tafsir baru. Kami berusaha mensarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah. Agar ringkas dan mudah dipahami.

Terjemahan Surat Al Ikhlas

Berikut ini Surat Al Ikhlas dalam tulisan Arab, tulisan latin dan terjemahan bahasa Indonesia:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ . اللَّهُ الصَّمَدُ . لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ . وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

(Qul huwalloohu ahad. Alloohush shomad. Lam yalid walam yuulad. Walam yakul lahuu kufuwan ahad)

Katakanlah: “Dialah Allah Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Asbabun Nuzul Surat Al Ikhlas

Surat yang terdiri dari empat ayat ini termasuk surat Makkiyah. Mengapa dinamakan Surat Al Ikhlas padahal di dalamnya tidak ada kata al ikhlas? Karena al ikhlas adalah tauhid, beribadah hanya kepadaNya. Dan surat ini berisi tentang pokok-pokok tauhid.

Surat yang diturunkan di Makkah setelah Surat Al Falaq dan Annas ini juga dinamakan Surat Qul huwallaahu ahad. Diambil dari ayat pertama dari surat ini.

Menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili, surat ini juga dinamakan pula dengan Surat at Tafrid, at Tajrid, at Tauhid, an Najah dan al Wilaayah. Dinamakan pula dengan Surat al Ma’rifah dan al Asas.

Ibnu Katsir mengutip riwayat Imam Ahmad dari Ubay bin Ka’ab mengenai asbabun nuzul Surat Al Ikhlas. Bahwa ada orang-orang musyrik yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Hai Muhammad, gambarkanlah kepada kami tentang Tuhanmu.” Maka Allah menurunkan surat Al Ikhlas.

Riwayat lain menyebutkan, ada orang yang Badui yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia bertanya, “Gambarkanlah kepada kami tentang Tuhanmu.” Maka turunlah surat ini.

Keutamaan Surat Al Ikhlas

Surat Al Ikhlas memiliki banyak fadhilah atau keutamaan. Di antaranya adalah tiga keutamaan berikut ini:
1. Dicintai Allah

Rasulullah pernah mengangkat seorang laki-laki menjadi pemimpin pasukan khusus untuk menyelesaikan suatu tugas. Ketika menjadi imam sholat bagi pasukannya, laki-laki itu selalu membaca Surat Al Ikhlas.

Setelah pasukan pulang, mereka menceritakan kepada Rasulullah. Mendapati laporan itu, Rasulullah menyuruh mereka untuk menanyakan kepada laki-laki tersebut, apa alasannya selalu membaca surat ini dalam sholatnya.

“Karena di dalamnya ada sifat Tuhan Yang Maha Pemurah dan aku suka membacanya dalam sholatku,” jawab laki-laki itu.

Setelah jawaban itu disampaikan kepada Rasulullah, beliau pun bersabda:

أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ

“Sampaikan kepadanya, bahwa Allah menyukainya.” (HR. Bukhari)
2. Wasilah masuk surga

Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Imam Bukhari, pernah ada seorang laki-laki menjadi imam Masjid Quba. Setiap kali telah membaca surat lain dari Al Quran, ia menutupnya dengan surat Al Ikhlas.

Sahabat yang lain pun mengingatkannya, “Engkau telah membaca surat ini, tetapi kelihatannya engkau merasa tidak cukup dengannya. Lalu engkau membaca surat Al Ikhlas.”

“Aku tidak akan meninggalkan surat ini. Jika engkau mau menjadikanku imam kalian, maka aku akan tetap melakukannya. Dan jika kalian tidak suka, maka aku tidak mau menjadi imam kalian.”

Hal itu kemudian diceritakan kepada Rasulullah saat beliau mengunjungi Masjid Quba. “Hai Fulan, apa yang mencegahmu hingga tidak mau melakukan apa yang diminta oleh teman-temanmu, mengapa engkau selalu membaca Surat Al Ikhlas dalam sholatmu?” tanya Rasulullah.

“Aku menyukainya,” jawab laki-laki tersebut.

Mendengar jawaban itu, Rasulullah lantas bersabda:

حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ

“Kecintaanmu kepada surat ini dapat memasukkanmu ke dalam surga.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Tirmidzi, ada seorang laki-laki yang berkata kepada Rasulullah bahwa dirinya menyukai surat ini. Maka Rasulullah pun bersabda:

إِنَّ حُبَّكَ إِيَّاهَا يُدْخِلُكَ الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya kecintaanmu kepada surat ini dapat memasukkanmu ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi)
3. Sepertiga Al Quran

Dalam Shahih Bukhari dikisahkan seorang laki-laki yang membaca Surat Al Ikhlas berulang-ulang dalam shalat sunnah. Orang yang mendengarnya lantas menceritakan kepada Rasulullah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

“Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman Tangan-Nya. Sesungguhnya ia benar-benar sebanding dengan sepertiga Al Quran.” (HR. Tirmidzi)

Baca juga: Bacaan Sholat
Surat Al Ikhlas ayat 1

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah: “Dialah Allah Yang Mahaesa.”

Ketika orang-orang Yahudi mengatakan, “Kami menyembah Uzair anak Allah.” Orang Nasrani mengatakan, “Kami menyembah Isa anak Allah.” Orang-orang musyrik mengatakan, “Kami menyembah berhala.” Maka Allah menegaskan bahwa Dia Mahaesa.

Dialah Allah Tuhan Yang Satu, Yang tiada tandingan-Nya, tiada lawan-Nya, tiada sekutu bagi-Nya.

Kata ahad (أحد) terambil dari akar kata wahdah (وحدة) yang artinya kesatuan. Juga kata waahid (واحد) yang berarti satu. Kata ahad dalam ayat ini berfungsi sebagai sifat Allah yang artinya Allah memiliki sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.

Menurut Sayyid Qutb, “qul huwallaahu ahad” merupakan lafal yang lebih halus dan lebih lembut daripada kata “ahad.” Sebab ia menyandarkan kepada makna “wahid” bahwa tidak ada sesuatu pun selain Dia bersama Dia dan bahwa tidak ada sesuatu pun yang sama denganNya.

“Ini adalah ahadiyyatul-wujud, keesaan wujud. Karena itu tidak ada hakikat kecuali hakikatNya dan tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujudNya. Segala maujud yang lain hanyalah berkembang atau muncul dari wujud yang hakiki itu dan berkembang dari wujud dzatiyah itu,” tulis Sayyid Qutb dalam Tafsir fi Zilalil Qur’an.
Surat Al Ikhlas ayat 2

اللَّهُ الصَّمَدُ

“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.”

Ibnu Abbas menjelaskan tafsir ayat ini. Maksudnya adalah, seluruh makhluk bergantung kepada Allah dalam kebutuhan dan sarana mereka. Dialah Tuhan yang mahasempurna dalam perilakuNya. Mahamulia yang mahasempurna dalam kemulianNya. Mahabesar yang mahasempurna dalam kebesaranNya.

Al Hasan mengatakan, arti ayat ini adalah Allah Mahahidup lagi terus menerus mengurus makhlukNya.

Menurut Tafsir Al Misbah, ash shamad (الصمد) terambil dari kata kerja shamada (صمد) yang artinya menuju. Ash shamad merupakan kata jadian yang artinya “yang dituju.”

Sedangkan menurut Sayyid Qutb, arti ash shamad (الصمد) secara bahasa adalah tuan yang dituju, yang suatu perkara tidak akan terlaksana kecuali dengan izinnya. Allah adalah Tuan yang tidak ada tuan sebenarnya selain Dia. Dialah satu-satunya yang dituju untuk memenuhi segala hajat makhluk.
Surat Al Ikhlas ayat 3

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

“Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.”

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna ayat ini adalah Allah tidak beranak, tidak diperanakkan dan tidak mempunyai istri.

Sayyid Qutb menjelaskan, hakikat Allah itu tetap, abadi, azali. Sifatnya adalah sempurna dan mutlak dalam semua keadaan. Kelahiran adalah suatu kemunculan dan pengembangan, wujud tambahan setelah kekurangan atau ketiadaan. Hal demikian mustahil bagi Allah. Kelahiran juga memerlukan perkawinan. Lagi-lagi, ini mustahil bagi Allah.
Surat Al Ikhlas ayat 4

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”

Kata kufuwan (كفوا) terambil dari kata kufu’ (كفؤ) yang artinya sama. Tidak ada seorang pun yang setara apalagi sama dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dialah yang memiliki segala sesuatu dan yang menciptakannya, maka mana mungkin Dia memiliki tandingan dari kalangan makhlukNya yang bisa mendekati atau menyamaiNya.

Menurut Sayyid Qutb, makna ayat ini adalah, tidak ada yang sebanding dan setara dengan Allah. Baik dalam hakikat wujudnya maupun dalam sifat dzatiyahnya.

Baca juga: Isi Kandungan Surat Al Ikhlas
Penutup Tafsir Surat Al Ikhlas

Surat ini berisi rukun-rukun aqidah dan dan syariat Islam paling penting. Yakni mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyifati Allah dengan sifat sempurna dan menafikan segala sekutu bagiNya.

Surat ini merupakan bantahan telak kepada orang-orang kafir baik dari kalangan kaum pagan (musyrik) maupun Yahudi dan Nasrani. Mereka semua telah menyekutukan Allah. Maka Allah menjelaskan tauhid yang benar, yang harus diimani oleh umat Islam. Dalam empat ayat yang padat dan sarat kandungan makna yang dalam.

Demikian Surat Al Ikhlas mulai dari terjemahan, asbabun nuzul, keutamaan hingga tafsirnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua, menambah kedekatan dengan Allah dan Dia berkenan menganugerahkan cintaNya kepada kita. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah] 

Sumber :https://bersamadakwah.net/surat-al-ikhlas/
Share:

Tafsir Surat Al ‘Ashr: Membebaskan Diri Dari Kerugian

Renungan Surat Al-AshrAllah ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ

”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].

Iman yang Dilandasi dengan Ilmu

Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu.  Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ

”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ

”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa  membuat dirinya mampu menegakkan agama.”  [Al Furu’ 1/525].

Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala  berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ  نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا

”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).

Mengamalkan Ilmu

Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya,  seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah

لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا

”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).

Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.

Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).

Berdakwah kepada Allah

Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)

“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).

Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.

Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.

Bersabar dalam Dakwah

Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai’ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].

Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)

”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),

”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).

Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]

”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id


Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/2535-tafsir-surat-al-ashr-membebaskan-diri-dari-kerugian.html
Share:

TAFSIR AS-SA’DIY SURAT AL-BAYYINAH

Tafsir Surat Al Bayyinah (Tafsir As Sa'di)Pengantar Penerjemah: Surat al-Bayyinah ini dinyatakan oleh para Ulama tafsir sebagai surat Madaniyyah, artinya: surat yang diturunkan saat Nabi berada di Madinah, atau saat periode Madinah (setelah Nabi berhijrah ke Madinah). Salah satu karakteristik surat Madaniyyah adalah di dalamnya ada penyebutan tentang Ahlul Kitab, Yahudi dan Nashara, sebagai bimbingan bagi kaum muslimin untuk meyakini bagaimana status mereka, atau bagaimana bermuamalah dengan mereka. Berikut ini akan disampaikan nukilan dan terjemahan tafsir as-Sa’diy (Taisiir Kariimir Rahman fii Tafsiri Kalaamil Mannaan karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy rahimahullah) terhadap surat tersebut, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufiq dan pertolongan-Nya kepada segenap kaum muslimin.

. ✅Ayat ke-1 sampai 6 Surat al-Bayyinah لَمۡ يَكُنِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأۡتِيَهُمُ ٱلۡبَيِّنَةُ ١ رَسُولٞ مِّنَ ٱللَّهِ يَتۡلُواْ صُحُفٗا مُّطَهَّرَةٗ ٢ فِيهَا كُتُبٞ قَيِّمَةٞ ٣ وَمَا تَفَرَّقَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَةُ ٤ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ شَرُّ ٱلۡبَرِيَّةِ ٦ 

Orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan kaum musyrikin tidak akan meninggalkan (agama mereka) hingga sampai kepada mereka bukti yang nyata (tanda yang telah dijanjikan pada kitab mereka terdahulu). (Yaitu) seorang Rasul dari Allah (Nabi Muhammad) yang membacakan kepada mereka lembaran-lembaran yang disucikan (alQuran). Di dalamnya terdapat (isi) kitab yang lurus. Dan tidaklah terpecah belah orang-orang Ahlul Kitab kecuali setelah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka hanyalah diperintah untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama, dan menegakkan sholat, serta menunaikan zakat. Itu adalah agama yang lurus. Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan kaum musyrikin berada di Neraka Jahannam kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk (Terjemahan Q.S al-Bayyinah ayat 1-6).

Penjelasan dalam Tafsir as-Sa’diy:

 Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) Tidaklah orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab, yaitu Yahudi dan Nashara, dan kaum musyrikin pada seluruh umat, melepaskan diri dari kekufuran dan kesesatan mereka. Artinya, mereka akan terus menerus berada dalam penyimpangan dan kesesatan mereka, tidaklah waktu berlalu bertahun-tahun selain menambah kekufuran mereka.

 “Hingga datangnya bukti yang jelas”, (yaitu) bukti yang terang benderang. Kemudian Allah menjelaskan apakah bukti tersebut. (Yaitu) Rasul yang Allah utus yang mengajak manusia kepada kebenaran, dan diturunkan kepada beliau kitab yang beliau baca, untuk mengajari manusia hikmah dan menyucikan mereka, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Karena itu Allah menyatakan (yang artinya) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan. Artinya, terjaga untuk tidak didekati Syaithan.Tidak ada yang menyentuhnya kecuali yang disucikan. Karena itulah Kalam (ucapan) yang tertinggi. 

Allah menyatakan tentangnya: di dalamnya, pada lembaran-lembaran itu, terdapat kitab-kitab yang lurus, yaitu berita-berita yang jujur, perintah-perintah yang adil, yang menunjukkan pada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. 

Jika telah datang kepada mereka bukti ini, saat itulah akan jelas siapa yang benar-benar mencari kebenaran dan siapa yang tidak demikian. Sehingga orang yang celaka, mengalami kecelakaan setelah disampaikan bukti, dan menjadi hidup (mulia) orang yang hidup (mulia) dengan adanya bukti. 

Kalau Ahlul Kitab tidak beriman dan tunduk kepada Rasul ini, itu bukanlah hal pertama dari kesesatan dan pembangkangan mereka. Mereka terpecah belah berselisih hingga menjadi kelompok-kelompok. 

“Kecuali setelah datang kepada mereka bukti”, yang mengharuskan orang-orang yang menerimanya untuk bersatu di dalamnya. Namun, karena kebusukan dan kerendahan mereka, tidaklah petunjuk yang datang kecuali semakin membuat mereka sesat (karena menentang, pent). Tidak ada lagi kecuali kebutaan.

 Padahal seluruh kitab berasal dari sumber yang sama, agama yang sama. Pada seluruh syariat (Nabi yang diutus, pent) tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah hanya kepada Allah mengikhlaskan agama. Artinya, mereka harus mempersembahkan seluruh ibadah yang lahiriah maupun batin hanya mengharap Wajah Allah (ikhlas) dan mencari kedekatan dengan Allah.Agama itu adalah yang hanif, artinya berpaling dari seluruh agama yang menyelisihi agama Tauhid. 

Pada ayat ini (ayat ke-5) terdapat pengkhususan penyebutan sholat dan zakat, padahal sudah masuk dalam pernyataan: beribadah kepada Allah dengan ikhlas, karena keduanya (sholat dan zakat) memiliki keutamaan dan kemuliaan tersendiri. Barangsiapa yang menegakkan dua ibadah tersebut (sholat dan zakat) ia bisa (dengan taufiq Allah, pent) menegakkan seluruh syariat agama. 

Yang demikian itu, tauhid dan keikhlasan dalam agama adalah agama yang lurus yang bisa menyampaikan seseorang kepada Surga yang penuh kenikmatan. Sedangkan agama selainnya akan menghantarkan pada Neraka. 

Kemudian Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang kafir setelah datangnya bukti yang jelas. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan kaum musyrik berada di Neraka Jahannam”. Adzabnya telah mengepung mereka, dan sungguh keras (pedih) siksaannya. “Mereka kekal di dalamnya”, tidak akan dikurangi adzab untuk mereka, dan mereka pun dalam keadaan putus asa di dalamnya. 

“Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” karena mereka mengenal kebenaran kemudian meninggalkannya. Kerugianlah bagi mereka di dunia dan di akhirat. Lafadz Asli dalam Tafsir as-Sa’diy (ayat 1-6 Surat al-Bayyinah):

 يقول تعالى: { لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ } أي: [من] اليهود والنصارى { وَالْمُشْرِكِينَ } من سائر أصناف الأمم. { مُنْفَكِّينَ } عن كفرهم وضلالهم الذي هم عليه، أي: لا يزالون في غيهم وضلالهم، لا يزيدهم مرور السنين إلا كفرًا. { حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ } الواضحة، والبرهان الساطع، ثم فسر تلك البينة فقال: { رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ } أي: أرسله الله، يدعو الناس إلى الحق، وأنزل عليه كتابًا يتلوه، ليعلم الناس الحكمة ويزكيهم، ويخرجهم من الظلمات إلى النور، ولهذا قال: { يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً } أي: محفوظة عن قربان الشياطين، لا يمسها إلا المطهرون، لأنها في أعلى ما يكون من الكلام. ولهذا قال عنها: { فِيهَا } أي: في تلك الصحف { كُتُبٌ قَيِّمَةٌ } أي: أخبار صادقة، وأوامر عادلة تهدي إلى الحق وإلى صراط مستقيم، فإذا جاءتهم هذه البينة، فحينئذ يتبين طالب الحق ممن ليس له مقصد في طلبه، فيهلك من هلك عن بينة، ويحيا من حي عن بينة. وإذا لم يؤمن أهل الكتاب لهذا الرسول وينقادوا له، فليس ذلك ببدع من ضلالهم وعنادهم، فإنهم ما تفرقوا واختلفوا وصاروا أحزابًا { إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ } التي توجب لأهلها الاجتماع والاتفاق، ولكنهم لرداءتهم ونذالتهم، لم يزدهم الهدى إلا ضلالا ولا البصيرة إلا عمى، مع أن الكتب كلها جاءت بأصل واحد، ودين واحد فما أمروا في سائر الشرائع إلا أن يعبدوا { اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ } أي: قاصدين بجميع عباداتهم الظاهرة والباطنة وجه الله، وطلب الزلفى لديه، { حُنَفَاءَ } أي: معرضين [مائلين] عن سائر الأديان المخالفة لدين التوحيد. وخص الصلاة والزكاة [بالذكر] مع أنهما داخلان في قوله { لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ } لفضلهما وشرفهما، وكونهما العبادتين اللتين من قام بهما قام بجميع شرائع الدين. { وَذَلِكَ } أي التوحيد والإخلاص في الدين، هو { دِينُ الْقَيِّمَةِ } أي: الدين المستقيم، الموصل إلى جنات النعيم، وما سواه فطرق موصلة إلى الجحيم. ثم ذكر جزاء الكافرين بعدما جاءتهم البينة، فقال: { إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ } قد أحاط بهم عذابها، واشتد عليهم عقابها، { خَالِدِينَ فِيهَا } لا يفتر عنهم العذاب، وهم فيها مبلسون، { أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ } لأنهم عرفوا الحق وتركوه، وخسروا الدنيا والآخرة.

 ✅Ayat ke-7 Surat al-Bayyinah 

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ خَيۡرُ ٱلۡبَرِيَّةِ ٧ 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk (Terjemah Q.S al-Bayyinah ayat 7) Penjelasan dalam Tafsir as-Sa’diy:

 لأنهم عبدوا الله وعرفوه، وفازوا بنعيم الدنيا والآخرة 

Karena mereka (orang beriman dan beramal sholih) beribadah kepada Allah dan mengenal-Nya, mereka beruntung dengan kenikmatan di dunia dan di akhirat ✅Ayat ke-8 Surat al-Bayyinah

 جَزَآؤُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ جَنَّٰتُ عَدۡنٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ ذَٰلِكَ لِمَنۡ خَشِيَ رَبَّهُۥ ٨ 

Balasan untuk mereka (orang beriman dan beramal sholih) di sisi Rabb mereka adalah Surga-Surga Adn yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selamanya. Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada Allah. Itu adalah (balasan) bagi yang takut kepada Rabbnya (Terjemah Q.S al-Bayyinah ayat 8) Penjelasan dalam Tafsir as-Sa’diy:

 جنات إقامة، لا ظعن فيها ولا رحيل، ولا طلب لغاية فوقها، { تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ } فرضي عنهم بما قاموا به من مراضيه، ورضوا عنه، بما أعد لهم من أنواع الكرامات وجزيل المثوبات { ذَلِكَ } الجزاء الحسن { لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ } أي: لمن خاف الله، فأحجم عن معاصيه، وقام بواجباته 

Surga-Surga sebagai tempat menetap. Tidak akan beranjak dan pergi lagi darinya. Tidak pula mencari yang di atasnya. “Mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selamanya, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah”. Allah ridha kepada mereka karena mereka melakukan hal-hal yang diridhainya. Mereka pun ridha kepada Allah karena berbagai kemuliaan dan balasan kebaikan yang berlimpah yang disediakan untuk mereka. Balasan yang baik itu adalah bagi yang takut kepada Allah, menahan diri meninggalkan hal-hal yang dilarangNya, dan menegakkan kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikannya.

Sumber Artikel: https://salafy.or.id/tafsir-as-sadiy-surat-al-bayyinah/ | Salafy.or.id
Share:

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

LISTEN QURAN

Listen to Quran

Popular Posts

Blog Archive

Recent Posts

Pages