TAFSIR BASMALAH

Hasil gambar untuk pemandangan gunungOleh :Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Firman Allah
Bismillahirrahmaanirrahiim
“Artinya : Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Jar majrur (bi ismi) di awal ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya sesuai dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda membaca basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah : “Dengan menyebut nama Allah aku makan”.
Kita katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.
Ada dua fungsi mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang.
Pertama : Tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah Azza wa Jalla.
Kedua : Pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil dibelakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata : “Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Azza wa Jalla”.
Kata tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal (dalam istilah nahwu) itu pada asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itulah kata benda tidak bisa menjadi ‘ami’l kecuali apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Lalu mengapa kita katakan : “Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan”, karena lebih tepat kepada yang dimaksud. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah “[1] Atau : “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah” [2]
Kata kerja, yakni ‘menyembelih’, disebutkan secara khusus disitu.
Lafzhul Jalalah (Allah).
Merupakan nama bagi Allah Rabbul Alamin, selain Allah tidak boleh diberi nama denganNya. Nama ‘Allah’ merupakan asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang darinya).
Ar-Rahmaan
Yakni yang memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.
Ar-Rahiim
Yakni yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’iil, yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih saying tersebut. Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’. Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.
Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diriNya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu dan akal sehat. Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi Allah, dan itu banyak sekali. Adapun dalil akal sehat, seluruh nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari kita merupakan salah satu bukti curahan kasih sayang Allah kepada kita.
Sebagian orang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau kehendak memberi nikmat. Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat kasih sayang. Mereka berkata : “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu tidak layak bagi Allah”.
Bantahan terhadap mereka dari dua sisi.
Pertama : Kasih sayang itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.
Kedua : Kalaupun hal-hal tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq Subhanahu wa Ta’ala adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasanNya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negative dan cela sama sekali.
Kemudian kita katakan kepada mereka : Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna. Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Lucunya, orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah. Mereka berkata : “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”. Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar disbanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah. Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar. Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam : “Berkat siapakah turunnya hujan tadi malam ?” Ia pasti menjawab : “berkat karunia Allah dan rahmatNya”
MASALAH
Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah ataukah bukan ?
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr (dikeraskan bacaannya) dalam shalat dan berpendapat tidak sah shalat tanpa membaca basmalah, sebab masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Sebagian ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah. Namun ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur’an.
Inilah pendapat yang benar. Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian ayat dalam surat ini.
Adapun dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca : “Segala puji bagi Allah”. Maka Allah menjawab : “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Apabila ia membaca : “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Apabila ia membaca : “Penguasa hari pembalasan”. Maka Allah menjawab : “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Apabila ia membaca : “ Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Maka Allah menjawab : “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”. Apabila ia membaca : “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus”. Maka Allah menjawab : “Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” [3]
Ini semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat Al-Fatihah. Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyalahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah shalat malam bermakmum di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua membuka shalat dengan membaca : “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca ; ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya. [4]
Maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.
[Disalin dari kitab Tafsir Juz ‘Amma, edisi Indonesia Tafsir Juz ‘Amma, penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari, penerbit At-Tibyan – Solo]
________
Foot Note
[1]. Hadits riwayat Al-Bukhari, dalam kitab Al-Idain, bab : Ucapan Imam dan makmum ketika khutbah ‘ied, no. (985). Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Al-Adhahi, bab : Waktu Udhiyah no. (1), (1960)
[2]. Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab Adz-Dzabaih wa Ash-Shaid, bab : Sabda Nabi, “Sembelihlah dengan menyebut asma Allah”. no. (5500). Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Al-Adhahi, bab : waktu Udhhiyah, no. (2). (1960)
[3]. Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shalat, bab : Kewajiban membaca Al-Fatihah di setiap raka’at no. (38) (395)
[4]. Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shalat, bab : Argumentasi orang-orang yang berpendapat bacaan basmalah tidak dikeraskan, no. (52) (399).
Sumber: https://almanhaj.or.id/1504-tafsir-basmalah.html

Share:

Asbabun Nuzul Surah Fushshilat

Hasil gambar untuk orang kafir
22. Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu* bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.
(Fushshilat: 22)

* mereka itu berbuat dosa dengan terang-terangan Karena mereka menyangka bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan mereka dan mereka tidak mengetahui bahwa pendengaran, penglihatan dan kulit mereka akan menjadi saksi di akhirat kelak atas perbuatan mereka.

Diriwayatkan oleh asy-Syaikhaan (al-Bukhari dan Muslim), at-Tirmidzi, Ahmad, dll, yang bersumber dari Ibnu Mas’ud bahwa dua orang Quraisy dan seorang Tsaqif berbantah-bantahan dekat Baitullah. Salah seorang dari mereka berkata: “Bagaimana pendapatmu, apakah Allah mendengar apa yang kita katakan?” Yang lainnya menjawab: “Jika kita berbicaranya nyaring, Ia akan mendengar. Tapi jika berbisik, tentu Ia tidak akan mendengar.” Tapi yang seorang lagi berkata: “Jika Ia dapat mendengar di waktu kita bicara nyaring, pasti Ia pun dapat mendengar bisikan kita.” Allah menurunkan Ayat ini (Fushshilat: 22) yang menegaskan bahwa penglihatan, pendengaran, dan kulit mereka akan menjadi saksi.

40. Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat kami, mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
(Fushshilat: 40)

Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Basyir bin Fath bahwa ayat ini (Fushshilat: 40) turun sebagai penjelasan tentang perbedaan antara Abu Jahl (seorang tokoh kafir Quraisy yang pasti masuk neraka) dan ‘Ammar bin Yasir (seorang ‘abid Muslim yang dijamin masuk syurga)

44. Dan Jikalau kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka**. mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh”.
45. Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Musa Taurat lalu diperselisihkan tentang Taurat itu. kalau tidak ada Keputusan yang Telah terdahulu dari Rabb-mu, tentulah orang-orang kafir itu sudah dibinasakan. dan Sesungguhnya mereka terhadap Al Quran benar-benar dalam keragu-raguan yang membingungkan.
(Fushshilat: 44-45)

** yang dimaksud Suatu kegelapan bagi mereka ialah tidak memberi petunjuk bagi mereka.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jabir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair bahwa orang-orang Quraisy berkata: “Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan dalam bahasa ‘ajam (asing) dan bahasa Arab?” Maka turunlah ayat ini (Fushshilat: 44) sebagai jawaban kepada mereka, bahwa walaupun al-Qur’an ini diturunkan bukan dalam bahasa Arab, pasti mereka akan menolak pula dengan meminta perincian lebih lanjut dengan bahasa ‘ajam dan bahasa Arab. Kemudian turunlah ayat selanjutnya (Fushshilat: 45) yang menegaskan bahwa apa pun yang diturunkan Allah, mereka tetap akan memperselisihkannya, sebagaimana terjadi pada Kitab Taurat Musa.

Sumber: Asbabun Nuzul, KHQ Shaleh dkk
Share:

Tafsir Surat Al-Ikhlas

Hasil gambar untuk pemandangan indah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Katakanlah, “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa.
Allâh adalah Rabb Ash-Shamad.
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

KEUTAMAAN SURAT AL-IKHLAS

Surat Al-Ikhlas memiliki banyak keutamaan, antara lain:

    Surat ini berisikan sifat Allâh Azza wa Jalla, orang yang mencintainya dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ فَسَأَلُوهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ

Dari ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang laki-laki memimpin sekelompok pasukan, (ketika mengimami shalat) dia biasa membaca di dalam shalat jama’ah mereka, lalu menutup dengan ”Qul huwallaahu ahad”. Ketika mereka telah kembali, mereka menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliau berkata:  “Tanyalah dia, kenapa dia melakukannya!” Lalu mereka bertanya kepadanya, dia menjawab: “Karena surat ini merupakan sifat Ar-Rahmaan (Allâh Yang Maha Pemurah), dan aku suka membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beritahukan kepadanya bahwa Allâh mencintainya”. [HR. Al-Bukhâri, no. 7375; Muslim, no. 813]

    Sebanding dengan sepertiga al-Qur’ân

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالُوا وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

Dari Abud Darda’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Apakah seseorang dari kamu tidak mampu membaca sepertiga al-Qur’ân di dalam satu malam?” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seseorang (mampu) membaca sepertiga al-Qur’ân (di dalam satu malam)?” Beliau bersabda: “Qul Huwallaahu Ahad sebanding dengan sepertiga al-Qur’ân.”  [HR. Muslim, no. 811]

Maknanya adalah bahwa kandungan al-Qur’ân ada tiga bagian :

1) hukum-hukum, 2) janji dan ancaman, 3) nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Dan surat ini semuanya berisi tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . [Majmu’ Fatawa 17/103]

SEBAB TURUN SURAT AL-IKHLAS

Sebab turun surat al-Ikhlâs ini adalah pertanyaan orang-orang kafir tentang Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana disebutkan di dalam hadits :

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ

Dari Ubayy bin Ka’ab Radhiyallahu anhu bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sebutkan nasab Rabbmu kepada kami!”, maka Allâh menurunkan: (Katakanlah: “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa). [HR. Tirmidzi, no: 3364; Ahmad, no: 20714; Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah 1/297. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani]

Hadits ini menunjukkan bahwa surat al-Ikhlâs termasuk surat Makiyyah, dan nampaknya termasuk surat yang awal turun di kota Makkah.

ARTI AYAT DAN TAFSIRNYA

    قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah: “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa”.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni: Dia Yang pertama dan Esa, tidak ada tandingan dan pembantu, tidak ada yang setara dan tidak ada yang menyerupai-Nya, dan tidak ada yang sebanding (dengan-Nya). Kata ini tidak digunakan untuk menetapkan pada siapapun selain pada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena Dia Maha Sempurna dalam seluruh sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya”. [Tafsir Ibnu Katsir]

Para Ulama penyusun Tafsir al-Muyassar berkata, “Katakanlah wahai Rasul, ‘Dia-lah Allâh Yang Esa dengan ulûhiyah (hak diibadahi), rubûbiyah (mengatur seluruh makhluk), asma’ was shifat (nama-nama dan sifat-sifat-Nya), tidak ada satupun yang menyekutui-Nya dalam perkara-perkara itu”. [Tafsir al-Muyassar, 11/96]

    اللَّهُ الصَّمَدُ

Allâh adalah ash-Shamad.

Ash-Shamad adalah satu nama di antara Asmaul Husna yang dimiliki Allâh Azza wa Jalla . Penjelasan para Ulama Salaf tentang makna ash-Shamad berbeda-beda, tetapi semua perbedaan itu bisa diterima, karena maknanya tidak kontradiksi, bahkan saling melengkapi. Oleh karena itu  semua arti itu dapat ditetapkan pada diri Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Inilah keterangan para Ulama tentang makna ash-Shamad:

    (Rabb) yang segala sesuatu menghadap kepada-Nya dalam memenuhi semua kebutuhan dan permintaan mereka. Ini pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu dari riwayat ‘Ikrimah.
    As-Sayyid (Penguasa) yang kekuasaan-Nya sempurna; as-Syarîf (Maha Mulia) yang kemuliaan-Nya sempurna; al-‘Azhîm (Maha Agung) yang keagungan-Nya sempurna; al-Halîm (Maha Sabar) yang kesabaran-Nya sempurna; al-‘Alîm (Mengetahui) yang ilmu-Nya sempurna; al-Hakîm (Yang Bijaksana) yang kebijaksanaan-Nya sempurna. Dia adalah Yang Maha Sempurna dalam seluruh sifat kemuliaan dan kekuasaan, dan Dia adalah Allâh Yang Maha Suci. Sifat-Nya ini tidak layak kecuali bagiNya, tidak ada bagi-Nya tandingan dan tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Maha Suci Allâh Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Ini pendapat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dari riwayat ‘Ali bin Abi Thalhah Radhiyallahu anhu.
    Yang Maha Kekal setelah semua makhluk-Nya binasa. Ini pendapat al-Hasan dan Qatâ
    Al-Hayyu al-Qayyûm (Yang Maha Hidup, Maha berdiri sendiri dan mengurusi yang lain), yang tidak akan binasa. Ini pendapat al-Hasan.
    Tidak ada sesuatupun yang keluar dari-Nya dan Dia tidak makan. Ini pendapat ‘Ikrimah.
    Ash-Shamad adalah yang tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Ini pendapat ar-Rabi’ bin Anas.
    Yang tidak berongga. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyib, Mujahid, Abdullah bin Buraidah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah, ‘Athiyah al-‘Aufi, adh-Dhahhak, dan as-Suddi.
    Yang tidak memakan makanan dan tidak minum minuman. Ini pendapat asy-Sya’bi.
    Cahaya yang bersinar. Ini pendapat Abdullah bin Buraidah

Imam Thabarani rahimahullah berkata, “Semua makna ini benar, dan ini semua merupakan sifat Penguasa kita ‘Azza wa Jalla. Dia adalah tempat menghadap di dalam memenuhi semua kebutuhan, Dia adalah yang kekuasaan-Nya sempurna, Dia adalah ash-Shamad, yang tidak berongga, dia tidak makan dan tidak minum,  Dia adalah Yang Maha Kekal setelah makhlukNya (binasa)“.

Dan imam al-Baihaqi juga berkata seperti ini. [Lihat semua keterangan di atas di dalam Tafsir Ibnu Katsir surat al-Ikhlas]

Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah menyebutkan lima makna ash-Shamad, lalu berkata, “Perselisihan ini termasuk ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan jenis) dalam ungkapan, bukan perselisihan dalam makna. Karena semua pendapat ini kembali kepada satu makna, yaitu sifat Allâh yang tidak membutuhkan perkara yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya, karena kesempurnaan kekuasaan-Nya. Dan janganlah merisaukanmu pengingkaran sebagian khalaf terhadap sebagian makna-makna yang diriwayatkan dari Salaf ini, demikian juga anggapan mereka (khalaf) bahwa perkataan-perkataan Salaf ini tidak didukung oleh lughah (bahasa Arab). Karena itu adalah perkataan orang yang tidak memahami (kedudukan-pen) tafsir Salaf, dan dia tidak mengambil faedah ketetapan makna-makna lafazh lughah (bahasa Arab) dari tafsir salaf, Wallahu a’lam.” [Tafsir Juz ‘Amma, 1/201, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr]

    لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah berkata, “Yaitu: (Allah) ini Yang berhak diibadahi, Dia tidak dilahirkan sehingga akan binasa. Dia juga bukan suatu yang baru yang didahului oleh tidak ada lalu menjadi ada. Bahkan Dia adalah al-Awwal yang tidak ada sesuatupun sebelum-Nya, dan al-Âkhir yang tidak ada sesuatupun setelah-Nya.” [Tafsir Juz ‘Amma, 1/77, Syaikh Musa’id ath-Thayyaar]

    وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada seorangpun yang menyamai-Nya dalam seluruh sifat-sifat-Nya”. [Syarh Aqîdah Wasitiyah, hlm. 114, penerbit. Dar Ibnu Haitsam]

Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah berkata, “Dan tidak ada tandingan yang menyamai-Nya dalam nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.” [Tafsir Juz ‘Amma, 1/77, Syaikh Musa’id ath-Thayyâr]

BANTAHAN ANGGAPAN “ALLAH MEMILIKI ANAK”

Banyak sekali bantahan Allâh Azza wa Jalla di dalam kitab suci-Nya terhadap orang-orang yang  beranggapan bahwa Allâh memiliki anak, antara lain firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.[Al-An’am/6: 101]

Maksudnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah pemilik dan pencipta segala sesuatu, maka bagaimana mungkin ada di antara makhluk-Nya yang menandingi-Nya. Allâh Maha Tinggi dan Maha Suci dari anggapan mereka itu.

Sesungguhnya beranggapan bahwa Allâh memiliki anak merupakan celaan manusia kepada Allâh Yang Maha Kuasa, padahal mereka sangat tidak pantas mencela-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ أَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ أَنْ يَقُولَ إِنِّي لَنْ أُعِيدَهُ كَمَا بَدَأْتُهُ وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ أَنْ يَقُولَ اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا وَأَنَا الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُؤًا أَحَدٌ

Allâh berkata: “Anak Adam mendustakanKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Dia juga mencelaKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Adapun pendustaannya kepadaKu adalah perkataannya bahwa Aku tidak akan menghidupkannya kembali sebagaimana Aku telah memulai penciptaannya. Sedangkan celaannya kepadaKu adalah perkataannya bahwa Aku memiliki anak, padahal Aku adalah Ash-Shamad, Aku tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara denganKu.” [HR. Bukhori, no. 4975]

Karena besarnya dosa keyakinan Allâh Azza wa Jalla memiliki anak, maka hampir-hampir dunia ini hancur karenanya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ﴿٨٨﴾ لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا ﴿٨٩﴾ تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾ أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا

Dan mereka berkata, “Rabb yang Maha Pemurah mempunyai anak”.  Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan bahwa Allâh yang Maha Pemurah mempunyai anak.  [Maryam/19: 88-91]

Namun walaupun demikian besar dosa manusia itu, tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Sabar. Bahkan Dia tetap memberikan rizqi dan kesehatan sementara di dunia ini kepada orang-orang yang sangat lancang tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ أَحَدٌ أَوْ لَيْسَ شَيْءٌ أَصْبَرَ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنْ اللَّهِ إِنَّهُمْ لَيَدْعُونَ لَهُ وَلَدًا وَإِنَّهُ لَيُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ

Tidak ada seorangpun yang lebih sabar daripada Allâh terhadap gangguan yang dia dengarkan. Sebagian manusia menganggap Allâh memiliki anak, namun Dia tetap memberikan keselamatan/kesehatan dan memberi rizqi kepada mereka. [HR. Al-Bukhâri, no. 6099; Muslim, no. 2804]

KANDUNGAN SURAT AL-IKHLAS

Surat ini memuat berbagai kandungan dan faedah yang agung, antara lain:

    Penetapan sifat ahadiyyah (keesaan) bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
    Penetapan sifat shamadiyyah bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Yaitu sifat Allâh yang tidak membutuhkan perkara yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya, karena kesempurnaan kekuasaan-Nya
    Mengenal Allâh dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya[1].
    Penetapan tauhid dan kenabian.
    Kedustaan orang yang menganggap Allâh Subhanahu wa Ta’ala memiliki anak.
    Kewajiban beribadah kepda Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata, karena hanya Dia yang memiliki hak untuk diibadahi.[2]

Inilah sedikit penjelasan tentang surat yang mulia ini, semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Lihat, kitab Aisarut Tafâsîr, surat al-Ikhlâs, 1-5, karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairi

[2]  Lihat, kitab Aisarut Tafâsîr, surat al-Ikhlâs, 1-5, karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairi

Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Sumber: https://almanhaj.or.id/5402-tafsir-surat-alikhlas.html

Share:

Tafsir Surat Al Zalzalah: Kebaikan dan Kejelekan Walau Sebesar Dzarrah akan Dibalas

Hasil gambar untuk pemandangan indahSetiap kebaikan yang dilakukan walau hanya sebesar dzarrah (kecil) akan dibalas, begitu pula yang beramal kejelekan walau kecil akan dibalas. Dan perlu diketahui bahwa kejadian pada hari kiamat begitu dahsyat, manusia akan terheran-heran kenapa bumi yang biasa tenang jadi bergoncang.
 Allah Ta’ala berfirman,
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5) يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ (6
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 1-8)
Dalam surat ini, Allah mengabarkan apa yang terjadi pada hari kiamat di mana saat itu bumi bergoncang begitu dahsyatnya dan meruntuhkan segala yang ada di atasnya. Juga akan diterangkan bagaimanakah setiap amalan baik dan jelek akan menuai balasannya.
Bumi Bergoncang
Ibnu ‘Abbas berkata mengenai ayat,
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat)“, maksudnya adalah bumi bergoncang dari bawahnya. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 627).
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat lainnya,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ
“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).” (QS. Al Hajj: 1).
Bumi Mengeluarkan Isinya
Dalam ayat selanjutnya disebutkan,
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
“Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya.“ Para ulama katakan bahwa ayat tersebut berarti bumi mengeluarkan mayit yang ada di dalamnya. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 9: 627.
Hal ini semisal dengan ayat,
وَإِذَا الْأَرْضُ مُدَّتْ (3) وَأَلْقَتْ مَا فِيهَا وَتَخَلَّتْ (4
“Dan apabila bumi diratakan, dan dilemparkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong.” (QS. Al Insyiqaq: 3-4).
Apa yang Sebenarnya Terjadi dengan Bumi?
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا
“Dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?“ Maksudnya di sini sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Katsir, bumi sebelumnya dalam keadaan tenang lalu berubah keadaannya menjadi bergoncang. Itu sudah jadi ketentuan Allah, tidak ada yang bisa menolaknya. Ketika bergoncang, keluarlah berbagai mayit dari orang terdahulu dan orang belakangan.
Bumi Berbicara …
Ketika itu bumi pun berbicara,
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.“
Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan, “Bumi menjadi saksi bagi setiap orang yang telah beramal dahulu di atasnya. Bumi dahulu telah menjadi saksi amalan setiap hamba. Dan Allah memerintahkan untuk memberitahukan amalan-amalan manusia, perintah ini harus dijalankan (jangan didurhakai).” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 932).
Bumi Menjadi Saksi bagi Orang yang Rajin Berdzikir
Ibnul Qayyim berkata, “Orang yang senantiasa berdzikir di jalan, di rumah, di lahan yang hijau, ketika safar, atau di berbagai tempat, itu akan membuatnya mendapatkan banyak saksi di hari kiamat. Karena tempat-tempat tadi, semisal gunung dan tanah, akan menjadi saksi baginya di hari kiamat. Kita dapat melihat hal ini pada firman Allah Ta’ala,
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?“, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Az Zalzalah: 1-5)”. Lihat Al Wabilush Shoyyib, hal. 197.
Manusia Keluar …
Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ
“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.” Maksudnya adalah pada hari kiamat, manusia dikeluarkan dari bumi dalam keadaan beraneka ragam lalu ditampakkan kebaikan dan kejelekan yang pernah mereka lakukan, kemudian mereka akan melihat balasannya.
Balasan bagi yang Berbuat Baik dan yang Berbuat Jelek
Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.“
Ini adalah balasan bagi yang berbuat baik dan jelek. Walau yang dilakukan adalah sebesar dzarrah (ukuran yang kecil atau sepele), maka itu akan dibalas. Tentu lebih pantas lagi jika ada yang beramal lebih dari itu dan akan dibalas. Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh.“ (QS. Ali Imran: 30).
وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis).” (QS. Al Kahfi: 49).
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah, “Ayat ini memotivasi untuk beramal baik walau sedikit. Begitu pula menunjukkan ancaman bagi yang beramal jelek walau itu kecil.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 932).
Hanya Allah yang memberi taufik untuk mengingat hari akhir dan memberi petunjuk beramal sholeh.

Referensi:
Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsiril Kalamil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Al Wabilush Shoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Dar ‘Alamil Fawaid, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Di sore hari menjelang berbuka @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 8 Ramadhan 1434 H
Artikel Rumaysho.Com
Sumber : https://rumaysho.com/3487-tafsir-surat-al-zalzalah-kebaikan-dan-kejelekan-walau-sebesar-dzarrah-akan-dibalas.html

Share:

TAFSIR SURAT AL QADR

Hasil gambar untuk al qadrبسم الله الرحمن الرحيم
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3} تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ {4} سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ {5}‏

1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur`an) pada malam kemuliaan.[1]
2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan.
5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

Sebagian besar ulama tafsir [2] berpendapat, surat Al Qadr adalah Makkiyah (yang diturunkan sebelum hijrah). Adapun penamaan surat ini dengan Al Qadr, karena surat ini menerangkan keutamaan dan tingginya kedudukan Al Qur`an, yang juga diturunkan pada malam yang sangat mulia. Dan dinamakan Lailatul Qadr, karena kedudukannya yang begitu agung dan mulia di sisi Allah [3]. Oleh karenanya malam itu penuh dengan keberkahan. Allah berfirman:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ

(Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi) [4].

Ibnu Katsir berkata,”(Malam yang diberkahi) itulah Lailatul Qadr, (yang terjadi) pada bulan Ramadhan, sebagaiman firman Allah Ta’ala

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

(Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an) [5].

Ibnu Abbas dan yang lainnya berkata: “Allah telah menurunkan Al Qur`an dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (di langit dunia) secara langsung (sekaligus), kemudian menurunkannya kepada Rasulullah secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa-peristiwa (yang terjadi semasa hidupnya) selama dua puluh tiga tahun” [6].

Adapun yang berkenaan dengan asbabun nuzul (sebab turunnya) surat ini, maka tidak ada satupun riwayat shahihah yang bisa dijadikan hujjah ataupun dalil [7].

At Tirmidzi pernah menyebutkan sebuah hadits yang masih erat kaitannya dengan sebab turunnya surat ini. Sengaja kami bawakan untuk menghapus persepsi buruk sebagian kaum muslimin [8] terhadap sejarah pemerintahan Bani Umayah. Apabila keyakinan semacam ini dibiarkan, maka akan mengakibatkan cacatnya aqidah dan manhaj kaum Muslimin, karena mengandung celaan terhadap salah satu sahabat Rasulullah yang mulia, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan masa pemerintahan Bani Umayah secara umum.

Di dalam Jami’nya [9], At Tirmidzi menyebutkan sebuah riwayat lemah dengan sanadnya dari Al Qasim bin Fadhl Al Huddani, dari Yusuf bin Sa’ad, ia berkata: “Seseorang berdiri menuju Al Hasan bin Ali setelah beliau membai’at Mu’awiyah, lalu berkata,’Engkau telah menghitamkan wajah-wajah kaum Mukminin’ atau ‘Wahai orang yang menghitamkan wajah-wajah kaum Mukminin!’, berkata (Al Hasan bin Ali): ‘Janganlah mencelaku rahimakallah. Sesungguhnya Nabi pernah diperlihatkan (keadaan) Bani Umayah di mimbarnya, dan hal itu membuatnya tidak senang, maka turunlah

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

(Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak), Wahai Muhammad, yaitu sebuah sungai di Surga, dan (juga) turun:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3

(masa) yang akan dikuasai Bani Umayah sepeninggalmu wahai Muhammad”.

Al Qasim berkata: “Maka kami hitung (masa khilafah Bani Umayah), dan (memang) tepat seribu bulan, tidak lebih atau kurang seharipun”.

Ibnu Katsir mengomentari hadits ini [10] dan berkata: Dan Al Hakim, di dalam kitab Al Mustadrak-nya [11] meriwayatkan hadits ini dari jalan Al Qasim bin Fadhl dari Yusuf bin Mazin,… Dan Ath Thabari[12] meriwayatkan dari jalan Al Qasim bin Fadhl dari ‘Isa bin Mazin [13] , demikian katanya, dan hal ini mengakibatkan hadits ini menjadi mudhtharib [14] , wallahu a’lam. Maka hadits ini munkarun jiddan (sangat mungkar), (sehingga) Syaikh kami, Al Imam Al Hafizh Al Hujjah Abul Hajjaj Al Mizzi berkata: “Ini hadits munkar”.[15]

Ibnu Katsir berkata: “Perkataan Al Qasim bin Fadhl Al Huddani bahwa ia telah menghitung masa kekuasaan Bani Umayah, lalu katanya ia dapatkan tepat seribu bulan tidak lebih dan tidak kurang seharipun, adalah tidak benar. Karena sesungguhnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu sudah berkuasa ketika Al Hasan bin Ali menyerahkan kuasa (dengan membai’atnya) pada tahun 40 H, dan seluruh kaum Muslimin membai’atnya pula, sehingga tahun itu dinamakan ‘Amul Jama’ah (tahun jamaah).

Adapun kaum Muslimin di Syam dan tempat lainnya, (mereka) tetap berada di bawah naungan khilafah Bani Umayah. Tidak ada yang keluar (dari kekuasaan Bani Umayah), kecuali pada masa Abdullah bin Az Zubair berkuasa di Haramain dan Al Ahwaz dan sebagian wilayah di sekitarnya, selama kurang lebih sembilan tahun. Akan tetapi, pemerintahan Abdullah bin Az Zubair masih tetap di bawah khilafah Bani Umayah, sampai akhirnya datang peristiwa perebutan khilafah Bani Al Abbas pada tahun 132 H. Dengan demikian, masa kekhilafahan Bani Umayah ialah sembilan puluh dua tahun, yang berarti melebihi seribu bulan, karena seribu bulan sama dengan delapan puluh tiga tahun empat bulan.

(Demikianlah) seolah-olah Al Qasim bin Fadhl tidak menganggap penghitungan bilangan tahun kekuasaan Abdullah bin Az Zubair, sehingga apabila memang demikian, maka apa yang dikatakannya adalah benar. Wallahu a’lam.

Dan di antara hal-hal yang menunjukkan dha’ifnya hadits ini ialah, hadits ini dibawakan untuk melakukan celaan terhadap Daulah Bani Umayah. Jika yang dimaksud seperti itu, maka tentu tidak (perlu) dibawakan dengan konteks semacam ini! Karena sesungguhnya, mengutamakan Lailatul Qadr di atas masa kekuasaan Bani Umayah, (sama sekali) tidak menunjukkan adanya pencelaan terhadap masa kekuasaan mereka. Karena sesungguhnya, (sebagaimana sudah kita ketahui dari penjelasan di atas, Pen), Lailatul Qadr adalah malam yang sangat mulia. Dan surat yang mulia ini diturunkan dalam konteks memuliakan Lailatul Qadr. Maka bagaimana (mungkin bisa difahami) Lailatul Qadr dimuliakan dengan pengutamaannya di atas masa khilafah Bani Umayah yang tercela sebagaimana kandungan hadits tersebut? Kemudian, adakah orang yang memahami, bahwa yang dimaksud dengan seribu bulan dalam ayat ini adalah masa khilafah Bani Umayah? Sedangkan surat ini adalah Makkiyah? Bagaimana (mungkin) makna alfi syahrin (seribu bulan) dipalingkan kepada masa khilafah Bani Umayah? Sedangkan lafazh ayat maupun maknanya, (sama sekali) tidak menunjukkan hal itu?! Lagi pula, mimbar Rasulullah (yang tercantum dalam hadits ini) baru dibuat di Madinah, (yaitu) setelah beberapa saat dari hijrahnya. Maka (jelaslah sudah), semuanya ini sebagai dalil (dan bukti) dha’if dan munkarnya hadits ini. Wallahu a’lam.” [16]

Pada ayat berikutnya Allah berfirman:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ

(Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?).

Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata [17] : “Pengulangan pertanyaan ini adalah sebagai pengagungan, seperti (juga) firman Allah:

الْقَارِعَةُ {1} مَا الْقَارِعَةُ {2} وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ {3

1) Hari Kiamat. (2) Apakah Hari Kiamat itu? (3) Tahukah kamu apakah Hari Kiamat itu? [18]

Kemudian Allah berfirman:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
(Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan).

Ada sejumlah hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat ini, di antaranya ialah:

عن أبي هريرة قال: لمَـَّا حَضَرَ رَمَضَانُ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ, شَهْرٌ مُبَارَكٌ, اِفْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ, تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ, وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ, وَتُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ, فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ, مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ)).

“Dari Abu Hurairah, ia berkata: Tatkala tiba bulan Ramadhan, Rasulullah bersabda: “Telah datang pada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah memerintahkan kalian untuk berpuasa padanya. Pada bulan itu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup, dan setan-setan diikat. Pada bulan itu terdapat Lailatul Qadr. Barangsiapa yang terhalang dari kemuliaan (keutamaannya), sungguh dia telah terhalang”.[19]

Ath Thabari dan Ibnu Katsir berkata [20]: Sufyan Ats Tsauri berkata: “Telah sampai kepadaku perkataan Mujahid لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ , ia berkata,’Amalan, puasa, dan shalat pada malam itu (Lailatul Qadr) lebih baik dari seribu bulan (seseorang melakukan ibadah, Pen)’.”

Adapun maksud para ulama tafsir, bahwa ibadah pada malam Lailatul Qadr lebih utama dari ibadah selama seribu bulan, yaitu (seribu bulan) yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadr.[21]

Syaikh Al Albani berkata: “Dan di antara masa, ada yang telah Allah jadikan seluruh amalan baik padanya lebih utama (dari waktu-waktu selainnya), seperti pada sepuluh Dzulhijjah dan malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu seluruh amalan pada malam itu lebih utama (baik) dari amalan selama seribu bulan tanpa Lailatul Qadr di dalamnya”.[22]

Kemudian pada ayat berikutnya Allah berfirman:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ

(Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan idzin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan).

Sebagian besar ulama menafsirkan (الرُّوحُ) adalah Jibril, dan sebagian yang lain menafsirkan dengan jenis malaikat lainnya [23].

Dan firman Allah بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ , maksudnya ialah, mereka (para malaikat) turun dengan idzin Rabb mereka, dengan segala sesuatu yang telah Allah tentukan pada tahun itu, dari masalah rezeki, ajal, dan perkara lainnya. [24]

Lalu di akhir surat Al Qadr ini, Allah berfirman:

سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

(Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar).

Maksudnya ialah, pada malam Lailatu Qadr penuh dengan kebaikan dan keberkahan seluruhnya, selamat dari segala kejahatan dan keburukan apapun, setan-setan tidak mampu berbuat kerusakan dan kejahatan sampai terbit fajar di pagi harinya.

Demikian ini adalah perkataan sebagian besar ulama, seperti Mujahid, Nafi’, Qatadah, Ibnu Zaid, Abdurrahman bin Abi Laila, dan lain-lainnya [25]. Adapun menurut Asy Sya’bi, dia berpendapat, pada malam itu para malaikat memberikan ucapan salam kepada para penghuni masjid-masjid (yang beribadah di dalamnya) sampai terbit fajar [26].

APAKAH LAILATUL QADR MERUPAKAN SALAH SATU KEKHUSUSAN UMAT ISLAM, ATAUKAH JUGA TERDAPAT PADA UMAT UMAT SEBELUMNYA?
As Suyuthi membawakan hadits yang dikeluarkan oleh Ad Dailami [27], dari Anas, beliau berkata:

إِنَّ اللهَ وَهَبَ لأُمَّتِيْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, وَلَمْ يُعْطِهَا مَنْ كَانَ قَبْلَهُمْ.

“Sesungguhnya Allah memberikan Lailatul Qadr untuk umatku, dan tidak memberikannya untuk (umat-umat) sebelumnya”.

Akan tetapi hadits ini maudhu`[28] , sehingga tidak bisa dijadikan hujjah atau sandaran.

Al Khathabi menyatakan adanya ijma’ para ulama, bahwa Lailatul Qadr juga terdapat pada umat-umat sebelum umat Islam [29]. Ibnu Katsir dan As Suyuthi, di dalam tafsir mereka [30] membawakan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Malik di Muwatha’nya [31] yang berkata:

إنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أُرِيَ أَعْمَارَ النَّاسِ قَبْلَهُ أَوْ ما شاءَ اللهُ مِنْ ذَلِكَ فَكَأَنَّهُ تَقَاصَرَ أعمارُ أُمَّتِهِ أَنْ لاَ يَبْلُغُوْا مِنَ الْعَمَلِ مِثْلَ الَّذِيْ بَلَغَ غَيْرُهُمْ فِيْ طُوْلِ الْعُمْرِ, فَأَعْطَاهُ اللهُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ خَيْرًا مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“(Sesungguhnya Rasulullah diperlihatkan umur-umur manusia sebelumnya -yang relatif panjang- sesuai dengan kehendak Allah, sampai (akhirnya) usia-usia umatnya semakin pendek (sehingga) mereka tidak bisa beramal lebih lama sebagaimana umat-umat sebelum mereka beramal karena panjangnya usia mereka, maka Allah memberikan Rasulullah Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan)”. [32]

Lalu Ibnu Katsir mengomentari hadits ini dan berkata: “Yang diisyaratkan hadits ini ialah adanya Lailatul Qadr pada umat-umat terdahulu sebelum umat Islam”. Beliau juga membawakan hadits lain, yaitu dengan menukil riwayat Imam Ahmad di dalam Musnad-nya [33], dari Abu Dzar yang berkata:

يَا رَسُوْلَ الله, أخْبِرْنِي عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ, أفِي رَمَضَانَ هِيَ أَوْ فِيْ غَيْرِهِ؟ قَالَ: بَلْ هِيَ فِي رَمَضَانَ, قُلْتُ: تَكُوْنُ مَعَ الأنْبِياَءِ ماَكَانُوْا, فَإذَا قُبِضُوْا رُفِعَتْ؟ أمْ هِيَ إلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ؟ قاَلَ: بَلْ هِيَ إلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ …

“Wahai Rasulullah, beritahu aku tentang Lailatul Qadr, apakah malam itu pada bulan Ramadhan ataukah pada selainnya?” Beliau berkata: “Pada bulan Ramadhan”. (Abu Dzar) berkata,”(Berarti sudah ada) bersama para nabi terdahulu? Lalu apakah setelah mereka wafat (malam Lailatul Qadr tersebut) diangkat? Ataukah malam tersebut akan tetap ada sampai hari Kiamat?” Nabi menjawab: “Akan tetap ada sampai hari kiamat…”

Kemudian Ibnu Katsir berkata: “Pada hadits ini spun ada isyarat seperti yang telah kami sebutkan (pada hadits pertama), bahwa Lailatul Qadr akan tetap terus berlangsung sampai hari Kiamat pada setiap tahunnya. Tidak seperti apa yang dikatakan oleh sebagian kaum Syi’ah bahwa Lailatul Qadr sudah diangkat (tidak akan terjadi lagi), disebabkan (mereka salah) memahami hadits yang akan kami bawakan sebentar lagi [34]. Karena, maksud (hadits) yang sesungguhnya ialah, diangkatnya pengetahuan saat terjadinya malam Lailatul Qadr [35]. Juga ada isyarat, bahwa Lailatul Qadr khusus terjadi pada bulan Ramadhan saja dan tidak terjadi pada bulan-bulan lainnya.” [36]

Pendapat inilah (bahwa Lailatul Qadr terdapat juga pada umat-umat sebelum umat Islam) yang didukung kuat oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya [37], karena banyaknya hadits-hadits yang menunjukkan hal itu.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Malam kemuliaan, dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr. Yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya Al Qur`an. (Lihat Al Qur`an dan terjemahnya).
[2]. Seperti Ibnu Jarir Ath Thabari (Tafsir Ath Thobari, 30/312), Ibnu Katsir (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/441), As Suyuthi (Ad Durr Al Mantsur, 8/567), As Sa’di (Taisir Al Karim Ar Rahman, 2/1184), dan yang lain-lainnya. Adapun Al Qurthubi, beliau berpendapat bahwa Surat Al Qadr adalah Madaniyah (Lihat Al Jami’ Li Ahkami Al Qur`an, 20/120).
[3]. Taisir Al Karim Ar Rahman, 2/1184 dengan ringkas. Dan Al Qurthubi telah membawakan beberapa perkataan ulama yang berkaitan dengan sebab penamaan malam itu dengan Lailatul Qadr. (Lihat Al Jami’ Li Ahkami Al Qur`an, 20/120-121). Demikian pula Asy Syinqithi (Lihat Adhwa’ Al Bayan, 9/34).
[4]. Ad Dukhan ayat 3.
[5]. Al Baqarah ayat 185.
[6]. Tafsir Al Qur`an Al ‘Azhim ((8/441).
[7]. Ath Thabari di dalam tafsirnya (30/314) membawakan atsar Mujahid yang mursal (yang tidak ada atau tidak diketahui perawinya antara dia dan Rasulullah), dari Al Mutsanna bin Ash Shabbaah, dari Mujahid, yang maknanya: “Konon ada seorang dari Bani Israil yang melalukan Qiyamul Lail (shalat malam) hingga pagi, kemudian berjihad di siang harinya hingga sore hari, dan (dia) melakukan hal itu selama seribu bulan, maka Allah menurunkan ayat: إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ , (maka) menghidupkan malam (Lailatul Qadr) itu (dengan ibadah) lebih baik dari amalan seorang tersebut”.

Abdurrazzaq Al Mahdi (muhaqqiq kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an, 20/122) berkata (yang artinya): “Khabar ini wahin (lemah)”.

Hal yang serupa juga telah dibawakan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (8/442) dengan sedikit perbedaan lafazh, yang maknanya: “Nabi telah menyebutkan seorang dari Bani Israil yang (selalu) mengenakan persenjataan untuk berjihad di jalan Allah selama seribu bulan”, berkata (Mujahid): “Maka kaum Muslimin (para sahabat) terheran-heran kagum dari hal itu, maka Allahpun menurunkan:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3

Satu malam (yang sama dengan) amalan orang yang (selalu) mengenakan persenjataan untuk berjihad di jalan Allah selama seribu bulan tersebut”.

Sami` bin Muhammad As Salamah (muhaqqiq kitab Tafsir Al Qur`an Al ‘Azhim, 8/443) berkata: “Dan (juga) diriwayatkan oleh Ats Tsa’labi di dalam tafsirnya, dan Al Wahidi di dalam Asbabun Nuzul sebagaimana di dalam Takhrij Al Kasyaf oleh Az Zaila’i (4/253), dari jalan Muslim bin Khalid, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid secara mursal”.

Demikian pula atsar yang telah dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam tafsirnya (10/3452) dan Al Qurtubi di dalam tafsirnya (20/122) dan Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (8/443) dan As Suyuthi di dalam tafsirnya (Ad Durr Al Mantsur, 8/568) dari jalan Maslamah bin ‘Ulay, dari Ali bin ‘Urwah secara mursal, yang maknanya: “Rasulullah (pada suatu hari) menyebutkan empat orang dari Bani Israil yang beribadah kepada Allah selama delapan puluh tahun, tidak pernah bermaksiat sedikitpun. Mereka adalah Ayyub, Zakariya, Hizqil bin Al ‘Ajuz dan Yusya’ bin Nun”. Ali bin ‘Urwah berkata: “Maka para sahabat Rasulullah terheran-heran kagum dengan hal itu, hingga Jibrilpun mendatanginya seraya berkata,’Umatmu telah terheran-heran kagum dengan ibadah mereka selama delapan puluh tahun. Mereka tidak pernah bermaksiat sedikitpun. Sungguh Allah telah menurunkan sesuatu yang lebih baik dari itu’. Lantas Jibrilpun membacakan kepadanya:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3}

Ini (Lailatul Qadr) lebih baik dari apa yang membuatmu dan umatmu terheran-heran kagum”. Maka bergembiralah Rasulullah dan para sahabatnya.

Abdurrazzaq Al Mahdi (muhaqqiq kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an, 20/122) berkata mengomentari atsar ini (yang artinya): “Dha’ifun jiddan (lemah sekali)…, dari jalan Maslamah bin ‘Ulay dari Ali bin ‘Urwah secara mursal. Dan bersamaan dengan itu, Maslamah bin ‘Ulay adalah (perawi) matruk (yang ditinggalkan haditsnya). Dia adalah Al Khusyani. Demikian pula syaikhnya (Ali bin ‘Urwah) adalah matruk. Maka khabar ini lemah sekali, tidak bisa dijadikan hujjah. (Penghukuman) yang lebih tepat (terhadap) khabar ini adalah israiliyaat (khabar tentang Bani Israil yang tanpa dasar)”. Lihat pula biografi Maslamah bin ‘Ulay Al Khusyani dan syaikhnya Ali bin ‘Urwah di dalam Taqrib At Tahdzib (hlm. 701 & 943), karangan Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.

[8]. Yang terkontaminasi dengan sebagian aqidah Syi’ah atau Rafidhah yang membenci Mu’awiyah bin Abi Sufyan, atau bahkan membenci Bani Umayah secara umum. Wallahul musta’an.
[9]. Jami’ At Tirmidzi (5/445 no.3350).
[10]. Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/441-442). Al Albani menghukumi hadits ini: “Sanadnya dha’if, mudhtharib, dan matannya munkar”. (Lihat Dhaif Sunan Tirmidzi).
[11]. Al Mustadrak ‘Ala Ash Shahihain (3/186 no.4796).
[12]. Tafsir Ath Thabari (30/314).
[13]. Abdurrazzaq Al Mahdi (muhaqqiq kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an, 20/123) berkata: “Ini (penamaan ‘Isa bin Mazin) adalah tashif (kesalahan dalam penamaan)”.
[14]. Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari jalan yang banyak yang sama kuatnya, sehingga tidak mungkin untuk digabungkan atau ditarjih. (Lihat Taisir Mushthalah Al Hadits, hlm. 112). Dan hadits mudhtharib salah satu hadits yang dha’if (lemah).
[15]. Hadits munkar ialah, hadits yang di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang fasiq, buruk hafalannya, dan banyak lalainya. Atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dha’if, dan dia menyelisihi riwayat perawi tsiqah (kuat). (Lihat Taisir Mushthalah Al Hadits, hlm. 95).
[16]. Lihat pula Al Bidayah wa An Nihayah (6/243-244). Ibnu Katsir juga membicarakan hadits ini secara panjang lebar.
[17]. Di dalam kitab tafsirnya, Adhwa’ Al Bayan (9/34).
[18]. Al Qari’ah ayat 1-3.
[19]. HR An Nasa-i (4/129), Ahmad (2/230,385 & 425).Hadits ini dishahihkan Al Albani di dalam Shahih Al Jami’ (no.55), Shahih Sunan An Nasa-i, Shahih At Targhib Wa At Tarhib (1/ ), Tamam Al Minnah (hlm.395).
[20]. Tafsir Ath Thabari (30/314) dan Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/443).
[21]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/314-315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (20/121), Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/443), Ad Durr Al Mantsur (8/568), dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1185).
[22]. Ats Tsamru Al Mustathab (2/576).
[23]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/444), Ad Durr Al Mantsur (8/569), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (20/123-124). Al Qurthubi juga membawakan beberapa penafsiran ulama lainnya. Di antara mereka ada yang menafsirkan dengan bala tentara Allah yang bukan malaikat, ada pula yang menafsirkan dengan makhluk besar, dan ada pula yang menafsirkan dengan rahmat yang turun bersama Jibril. Wallahu a’lam.
[24]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (20/124), dan Al Qurthubi berkata, bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas.
[25]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (20/1َ24), dan Al Qurthubi berkata, bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas.
[26]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an (20/124), Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/444), Ad Durr Al Mantsur (8/568), dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1185).
[27]. Di dalam kitabnya, Al Firdaus Bi Ma’tsur Al Khithab (1/173, no.647).
[28]. Syaikh Al Albani berkata,”Maudhu’.” Lihat Dha’if Al Jami’, no. 1669 dan Silsilah Adh Dha’ifah, Jilid 7. Hadits maudhu’ adalah hadits yang palsu, dusta, dan dibuat-buat yang disandarkan kepada Nabi. (Lihat Taisir Mushthalah Al Hadits, hlm. 89).
[29]. Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/446).
[30]. Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/445), Ad Durr Al Mantsur (8/568).
[31]. Al Muwatha` (1/321).
[32]. Akan tetapi Syaikh Al Albani menghukumi hadits ini dan berkata: “Dha’ifun mu’dhal (lemah dan terputus sanadnya dengan jatuhnya dua perawa hadits secara berurutan)”. Lihat Dha’if At Targhib Wa At Tarhib.
[33]. Musnad Imam Ahmad (5/171). Juga terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban (8/438 no.3683), Shahih Ibnu Khuzaimah (3/320-321 no.2169-2170), Al Mustadrak (1/603 no.1596), Sunan Al Baihaqi (4/307 no.8308), Musnad Al Bazzar (9/456 no.4067-4068) dan yang lain-lainnya.
[34]. Lihat Tafsir Al Qur`an Al ‘Azhim (8/446). Adapun hadits yang akan beliau bawakan, yang kaum Syi’ah salah dalam memahaminya, yaitu hadits yang dikeluarkan Al Bukhari dalam Shahih-nya (2/711 no.1919 & 5/2248 no.5705) dari Ubadah bin Shamit berkata:

خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ, فَتَلاَحَى رَجُلاَنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ, فَقَاَلَ: خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ؟ فَرُفِعَتْ, وَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْراً لَكُمْ, فَالْتَمِسُوْهَا فِيْ التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

Rasulullah keluar untuk memberitahu kami (kapan terjadinya) Lailatul Qadr, tiba-tiba ada dua orang dari muslimin saling mencela (berselisih), beliaupun bersabda: “Aku keluar untuk mengabarkan kepada kalian (kapan) Lailatul Qadr, lalu si Fulan dan Fulan berselisih? Sudah diangkat, dan mudah-mudahan hal itu lebih baik untuk kalian, maka carilah pada ke sembilan, ke tujuh, dan ke lima (dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan)”.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya (8/450-451) berkata: “Dan maksud dari (فَرُفِعَتْ) adalah diangkatnya ilmu (untuk para sahabat) akan kapan terjadinya Lailatul Qadr itu. Bukan diangkatnya Lailatul Qadr secara keseluruhan (sehingga tidak ada wujudnya lagi) -sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang bodoh dari kaum Syi’ah- karena Rasulullah bersabda setelahnya: “Maka carilah pada ke sembilan, ke tujuh, dan ke lima (dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan)”.”

Demikian juga yang telah dinukilkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di kitab Fathul Bari (4/263), bahwa pendapat Lailatul Qadr telah diangkat secara keseluruhan sehingga tidak ada wujudnya lagi sama sekali, adalah pandapat Syi’ah, seraya membawakan perkataan Abu Hurairah, ketika ditanya apakah Lailatul Qadr telah tiada (sudah diangkat)? Lalu menjawab: “Sungguh telah berdusta orang yang berkata demikian”. Lihat pula Adhwa’ Al Bayan (9/32).
[35]. Demikianlah sehingga Imam Al Bukhari memberi tarjamah (judul bab) hadits ini di Shahih-nya tersebut dengan judul (بَابُ رَفْعِ مَعْرِفَةِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ لِتَلاَحِي النَّاسِ), yaitu: Bab: Diangkatnya pengetahuan (kapan terjadinya) Lailatul Qadr, disebabkan (adanya) perselisihan antara dua orang muslim. Ibnu Katsir pun berkata ketika mengomentari sabdanya: (فَتَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ؟ فَرُفِعَتْ), “Ini sesuai dengan sebuah perumpamaan: Perdebatan (akan) memutuskan faidah, dan ilmu yang bermanfaat.”
[36]. Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya (8/446) membawakan beberapa pendapat ulama, di antaranya pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Lailatul Qadr (bisa) terjadi pada satu tahun penuh, yang bisa diharapkan terjadinya pada setiap bulan dalam setahun. Juga yang dihikayatkan dari Abu Hanifah bahwa Lailatul Qadr bisa diharapkan terjadinya pada satu bulan Ramadhan penuh. Dan ada juga pendapat-pendapat lainnya yang kebanyakan dari pendapat-pendapat tersebut tidak berdasarkan pada dalil yang shahih.
Lihat pula pendapat-pendapat ulama yang dibawakan Al Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Bari (4/262-266).
[37]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/445-446).

Oleh
Ustadz Arief Budiman bin Usman Rozali

Sumber: https://almanhaj.or.id/3961-tafsir-surat-alqadr.html

Share:

Surat Al Maidah Ayat 51 : Jangan Memilih Pemimpin Non-Muslim

Hasil gambar untuk al maidah 51Benarkah Islam melarang memilih pemimpin non-muslim? Apa benar surat Al-Maidah ayat 51 melarang demikian?

 Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Maidah: 51)

 
Apa itu Awliya’ atau Wali?

Ada berbagai macam pengertian dari wali atau awliya’. Di antara pengertiannya, wali adalah pemimpin. Istilah wali lainnya adalah untuk wali yatim, wali dari orang yang terbunuh, wali wanita. Wali yang dimaksud di sini adalah yang bertanggung jawab pada urusan-urusan mereka tadi. Semacam pemimpin negeri juga adalah yang mengepalai mengurus kaumnya dan mengatur dalam hal memerintah dan melarang. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 45: 135.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyebutkan bahwa wali (disebut pula: al-wilayah) dalam bahasa Arab punya makna berbagai macam. Lantas apa yang dimaksud wali atau awliya yang tidak boleh diambil dari seorang Yahudi dan Nashrani?

Yang dimaksud adalah saling tolong menolong, yaitu yang dimaksud adalah menolong mereka, baik menolongnya di sini adalah untuk mengalahkan kaum muslimin, atau menolongnya untuk mengalahkan sesama kafir. Tetap tidak boleh bagi kita membela mereka untuk mengalahkan sesama kafir. Selama pertolongan kita pada mereka tidak bermasalahat untuk Islam, maka tidak boleh. Namun jika punya maslahat bagi kaum muslimin, misal orang kafir yang saling bermusuhan ada yang sering menyakiti kaum muslimin, maka kita menolong yang tidak sering menyengsarakan kaum muslimin, seperti itu tidak mengapa karena ada maslahat. (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surat Al-Maidah, 2: 9)

 
Penjelasan Ibnu Katsir

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Moga kebinasaan dari Allah untuk mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mukmin yang melanggar larangan ini, “Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3: 417).

 
Pecat Dia …

Makna lain dari awliya’ atau wali adalah pemimpin atau yang diberi tanggung jawab dalam urusan penting seperti dalam kisah Umar berikut.

Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab. Umar bin Khathab pernah memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintahan dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tersebut. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya.

Umar berkata, “Hasil kerja orang ini bagus.”

Umar melanjutkan, “Bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami di masjid?”

Abu Musa menjawab, “Ia tidak bisa masuk masjid.”

Umar bertanya, “Kenapa? Apa karena ia junub?”

Abu Musa menjawab, “Bukan. Ia tidak bisa karena ia seorang Nashrani.”

Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata, “Pecat dia.”

Umar lalu membacakan ayat (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dengan sanad dan matan darinya. Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3: 417-418)

Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin.

     Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.


@ DS, Panggang, Gunungkidul, 14 Muharram 1436 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/14628-surat-al-maidah-ayat-51-jangan-memilih-pemimpin-non-muslim.html

Share:

Tafsir Surat Fathir ayat 32


Hasil gambar untuk amal kebaikan yang pahalanya selalu mengalirُثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32)

Tiga golongan yang disebutkan dalam firman Allah tersebut adalah:
(1). Dzalimun linafsihi adalah orang yang menganiaya dirinya sendiri, yaitu orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya.

 (2). Muqtashid adalah pertengahan, yaitu orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya.

(3). Sabiqun bil khairat adalah Golongan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan, yaitu orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan tentang tiga golongan tersebut bahwa:
(1). “Dzalimun linafsihi atau orang-orang yang menganiaya diri sendiri adalah orang-orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan banyak maksiat.”


(2). “Muqtashid atau pertengahan adalah orang-orang yang hanya melakukan perbuatan wajib saja dan menghindarkan diri dai perbuatan maksiat, mereka meninggalkan perbuatan-perbuatan baik dan melakukan perbuatan-perbuatan makruh (tercela).”

(3). “Sabiqun bilkhairat atau orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan adalah orang-orang yang melaksanakan kewajiban dan kebaikan-kebaikan lainnya, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang haram dan makruh, bahkan juga meninggalkan perbuatan yang mubah.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Orang-orang dalam golongan pertama tersebut adalah orang-orang yang tidak memperhatikan kewajiban yang harus mereka lakukan. Mereka meninggalkan dengan sengaja kewajiban-kewajiban seperti shalat, Puasa, dan kewajiban-kewajiban lain. Lebih parah lagi, mereka bukan hanya meninggalkan kewajiban, akan tetapi mereka justru melakukan perbuatan-perbuatan yang haram. Jadilah mereka orang-orang yang menganiaya diri sendiri karena meninggalkan kewajiban, dan pada saat yang sama mereka juga menganiaya diri sendiri dengan melakukan perbuatan yang diharamkan.

Golongan muqtashid, mereka merasa cukup hanya dengan melakukan kewajiban saja, sehingga meremehkan perbuatan-perbuatan baik lainnya (sunnah). Mereka mendirikan shalat wajib, melaksanakan puasa wajib, membayar shadaqah wajib (zakat), akan tetapi mereka meninggalkan shalat-shalat sunnah, puasa-puasa sunnah, dan tidak bershadaqah selain zakat. Disamping itu, meskipun mereka telah meninggalkan perbuatan-perbuatan haram, akan tetapi meraka masih melakukan perbuatan-perbuatan makruh (tercela)

Sabiqun bilkhairat, inilah golongan tertinggi. Mereka tidak berhenti dengan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang diwajibkan. Akan tetapi mereka menambah kebaikan mereka dengan kebaikan-kebaikan lainnya (amalan-amalan sunnah). Shalat misalnya, mereka mendirikan shalat-shalat wajib dan menambah kebaikan dengan shalat-shalat sunnah rawatib, dan shalat-shalat sunnah lainnya. Begitu pula dengan puasa, mereka tidak hanya berpuasa di bulan Ramadhan, mereka juga berpuasa pada hari-hari yang di sunnahkan; Puasa ‘Arafah, ‘Asyura’, 6 hari Syawwal, shaumul bidh (tgl 13, 14, 15 bulan qamariyah), dan hari-hari lain yang disunnahkan untuk berpuasa, sampai pada puasa Daud. Demikian halnya dengan shadaqah. Orang-orang dalam golongan ini, disamping mereka meninggalkan perbuatan-perbuatan haram, mereka juga menjauhkan diri dari perbuatan yang makruh, bahkan perbuatan mubah (yang sebenarnya boleh) tetapi kurang bermanfaat juga mereka tinggalkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Di antara tanda bagusnya islam seseorang adalah meninggalkan segala yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Mujahid, Al-Hasan, dan Qatadah menyebutkan tentang tiga golongan tersebut bahwa: (1). Dzalimun linafsihi (orang yang mendzalimi diri sendiri) adalah ash-habul masy’amah (golongan kiri). (2).Muqtashid (pertengahan) adalah ash-habul maimanah (golongan kanan). (3). Sabiqun bilkhairat (lebih dahulu berbuat kebaikan) adalah al-muqarrabun. (Tafsir Al-Baghawi)

وَكُنتُمْ أَزْوَاجاً ثَلَاثَةً ◌ فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ ◌ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ ◌ وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ ◌ وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ ◌ أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ ◌ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ

Allah berfirman dalam surat Al-Waqi’ah: 7-12: “Dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, Mereka Itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan.”


Sumber: muhsyams
Share:

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

LISTEN QURAN

Listen to Quran

Popular Posts

Blog Archive

Recent Posts

Pages